Hamdan Mesti Bertanggung Jawab

Facebook
Twitter
WhatsApp
Dok. pribadi Muh. Nur Ardiansyah

Oleh: Muh. Nur Ardiansyah

Dalam kasus uang palsu di UIN Alauddin Makassar, Hamdan Juhannis bak dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia adalah Hamdan sebagai individu, manusia biasa dengan segala keterbatasannya, yang terikat pada hukum alam (sunnatullah) dan prinsip logika Aristotelian, khususnya Law of Identity. Di sisi lain, ia adalah Hamdan sebagai Rektor UIN Alauddin, seorang pejabat publik yang memikul tanggung jawab besar untuk kemaslahatan, kemanusiaan, peradaban, dan pengembangan ilmu pengetahuan, didukung oleh sistem dan sumber daya manusia. Meski berbeda peran, keduanya tetap merupakan satu entitas yang dapat dibedakan secara rasional.

Namun, tuntutan pertanggungjawaban kepada Hamdan tidak ditujukan pada sisi pribadinya, melainkan pada perannya sebagai Rektor UIN Alauddin. Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, rektor bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengembangan institusi. Hal ini juga ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2017 tentang Pendidikan Tinggi, yang menyatakan bahwa rektor bertanggung jawab atas kegiatan akademik dan non-akademik.

Bagi mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan yang kegiatannya dibatasi dengan larangan aktivitas di malam hari, muncul pertanyaan besar: bagaimana mungkin mesin percetakan sebesar itu bisa masuk tanpa sepengetahuan rektor? Dalam sebuah institusi, sekecil apa pun hal yang terjadi, haram hukumnya pemimpin tidak mengetahuinya.

Rektor begitu ketat mengatur mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan, lokasi untuk merokok hingga pada mekanisme menyampaikan aspirasi. Rektor juga tak segan memberikan sanksi skorsing kepada mahasiswa yang melakukan aksi penolakan tersebut, seperti yang dialami oleh 31 mahasiswa, sementara yang lain menghadapi intimidasi dan tekanan tertentu dari pihak-pihak terkait. Lagi-lagi muncul tanda tanya besar: di mana para petugas keamanan yang biasanya sigap menghadang dan bahkan memukul mahasiswa ketika mesin percetakan uang palsu itu dibawa ke perpustakaan pada malam hari?

Menurut Kapolres Gowa, mesin tersebut begitu berat hingga tidak mampu diangkat oleh belasan personelnya, artinya barang sebesar itu pasti mengundang perhatian. Bagaimana mungkin tidak ada laporan yang sampai ke telinga Hamdan sebagai rektor? Apakah beliau tidak curiga dengan rekaman CCTV, ataukah CCTV-nya sudah dihilangkan terlebih dahulu?

Pimpinan UIN Alauddin sering mengadakan Rapat Pimpinan (Rapim). Meskipun tidak semua hasil Rapim itu buruk—ada beberapa yang patut diakui dan diapresiasi—namun upaya mencampuri atau mengintervensi lembaga kemahasiswaan, serta menghambat proses demokrasi mahasiswa melalui surat edaran dan aturan-aturan lain, sangat disayangkan. Pertanyaannya, apakah dalam Rapim tidak pernah dibahas soal keamanan atau aktivitas mencurigakan di dalam kampus? Jika memang tidak pernah dibahas, hal ini menunjukkan kelalaian Rektor dalam menjalankan fungsi pengawasan dan tanggung jawabnya.

Sekali lagi, desakan ini bukan ditujukan kepada Hamdan secara pribadi, tetapi kepada beliau dalam kapasitasnya sebagai Rektor. Desakan ini juga bukan untuk menjadikan Hamdan sebagai tersangka—sama sekali tidak demikian. Ada banyak pertanyaan yang muncul di benak publik UIN Alauddin, dan sebagai Rektor, beliau harus siap menjawabnya, bukan menghindarinya dengan pernyataan yang tidak mencerminkan dirinya sebagai pemimpin utama di UIN Alauddin, begitu pula dengan para pendukungnya. Upaya ini bertujuan untuk memulihkan nama baik UIN Alauddin serta mengembalikan kepercayaan publik dan masyarakat terhadap institusi yang mulia dengan peradabannya tersebut.

*Penulis merupakan Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami