Testimoni KKN Paling Jujur

Facebook
Twitter
WhatsApp
Dok. pribadi | Rahmat Rizki

Oleh: Rahmat Rizki

Manusia selalu serupa, dari tak tahu, tahu, lalu tak tahu malu. Paling parah adalah menjadi tak menentu, seperti saat kau KKN. Awalnya menggebu, lalu pupus jadi debu.

Senang bisa berkuliah di “Kampus Peradaban”. Senang juga bisa menemukan banyak kelakuan tak beradab dari mahasiswa sampai pimpinan. Masa kuliahku melesat cepat dengan kejadian-kejadian tak masuk akal. Mulai dari kegaduhan tawuran antar mahasiswa, dosen cabul, dosen bodoh tapi masih dipercaya jadi dosen, pencurian motor, pungli, korupsi dan pimpinan yang tak tahu malu. Begitu kondisinya. Hingga saya menginjakkan kaki di semester 7. Hal yang kunanti akhirnya tiba, Kuliah Kerja Nyata (KKN). Bayanganku, KKN akan jadi sesuatu yang benar-benar berbeda dari sekadar kuliah di kampus.

Namun kenyataannya, tak seindah di kepala. Bagaimana tidak, pembekalan yang dilakukan kampus untuk persiapan KKN hanya 2 hari. Sebenarnya 3 hari, tapi 1 hari pertama hanya diisi nyanyian bikin sakit kepala. Apa yang bisa diharapkan dari pembekalan yang isinya cuma tendensi untuk menjaga nama baik kampus? Apa? Festival anak soleh, cih maenstreamnya minta ampun. Akhirnya, semua jadi serba seada-adanya. Hal itu ditambah dengan biaya living cost yang dipotong untuk kebutuhan program kerja. Uang UKT yang saya bayar untuk KKN lari ke mana? Ke dompetmu kah, wahai tuan?

Apa yang saya sebutkan sebelumnya adalah murni dari kepala saya yang barangkali bodoh ini. Meski begitu, saya merasa dipenuhi berkah bisa ditempatkan selama 45 hari di Desa Tellulimpoe, Kecamatan Marioriawa, Kabupaten Soppeng. Berkahnya ialah teman satu posko. Mereka baik, kalau lagi baik, tapi menyebalkan juga kadang-kadang. Apalagi saya, pasti lebih menyebalkan dari sembilan orang yang ada di posko. Kerja saya hanya tidur, bolos ke Samata, banyak berbual, mengeluh, berkomentar tanpa otak. Akhlak saya ketinggalan di rumah, lupa kuambil karena perintah berkumpul untuk pemberangkatan KKN waktu itu terlalu pagi—mirisnya, keberangkatannya tetap juga molor.

Selama sebulan ber-KKN, saya mendapati banyak hal yang ternyata sama kotornya dengan iklim di kampus. Mainannya orang dalam. Satu dari yang saya maksud ialah Korcam, yang tidak pernah dipilih secara mufakat. Tiba-tiba saja satu orang terdekat milik pembina KKN, melenggang naik jadi Korcam. Selain itu, ada juga kunjungan pimpinan yang mesti disambut dengan “wahhhhhh”. Disuruh kumpul uang saat dompet sedang tipis-tipisnya. Padahal, para pimpinan yang berkunjung bisa pakai konsep ‘grebek posko’. Kan lebih alami kalau seperti itu. Dibanding, kami dikumpulkan untuk melihat dan mendengar pimpinan kampus yang datang memberi kultum dan wejangan tentang “menjaga nama baik institusi”.

Meski banyak hal yang tak sepantasnya saya sebutkan ada dalam perjalanan ber-KKN, ada pula hal-hal menyenangkan yang membuat saya merasa diberkahi. Ada nenek Badde, selaku tuan rumah, tempat kami berposko KKN selama sebulan lebih. Aji Badde adalah seorang lansia sekaligus sepuh di Desa Tellulimpoe. Meski usia dan fisiknya sudah di fase senja, Aji Badde tetap fit menjalankan ibadahnya. Hampir setiap hari ia berjalan ke masjid yang hanya berjarak seratus meter dari kediamannya. Setiap waktu salat, zuhur, asar, magrib, isya dan subuh. Selain taat beribadah, nenek Badde juga masih aktif berjualan di pasar. Sungguh, nenek satu ini menolak jadi batu yang hanya diam dan meminta belas kasihan dari ke-empat anaknya yang semuanya sudah mapan.

Menurut nenek Badde, jika hidup yang ia jalanani hanya sekadar hidup, lantas untuk apa ia hidup. Lebih baik mati, katanya.

Selain nenek Badde, keberkahan lain yang saya maksud adalah masyarakat Tellulimpoe. Dari pak desa dan perangkatnya, para orangtua, serta bocah-bocah yang hampir setiap hari menyambangi posko kami. Para bocil itu gemar bermain di posko. Kami bersenda gurau sampai waktu tidur tiba, lalu mereka kembali ke rumah masing-masing.

Masyarakat Tellulimpoe adalah taman bunga. Kedatangan kami disambut dengan senyum yang merekah, mekar semerbak mawar merah.
Dari awal kedatangan hingga waktu beranjak tiba, kami disambut gembira, lalu diantar pulang dengan tangis yang pecah.

Apa yang bermakna? Mana pula yang nirmakna?

Saya tidak tahu, tanya teman poskoku saja. Mereka pintar dan bermanfaat. Atau saya perlu mengenalkan delapan manusia jenius itu? Namanya saja, ya! Saya malas menulis panjang-panjang. Bukan berarti mereka tak punya arti dalam hidup saya selama ber-KKN. Tapi saya menghindari tafsir bodoh, jikalau satu di antara teman yang saya deskripsikan menjadi teks pendek dan membosankan. Lebih baik tidak sama sekali. Seperti janji saya tadi, ini dia nama-nama mereka: Aril, sebagai Kordes. Suci Aulia Ramadani, sebagai Sekertaris. Andi Mufassiratul Muasirah, sebagai Bendahara. Sisanya, sebagai anggota, Nanda, Zahra Puja Kusuma, Sherly, Sakring, Ahmad Bilal dan Saya juga termasuk anggota. Terima kasih sudah sampai di akhir kalimat. Selamat ber-KKN. Semoga selalu menyenangkan!

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami