Washilah — “Setelah bertahun-tahun usaha dan kerja keras, menjadi Profesor adalah capaian yang tidak bisa saya deskripsikan dengan kata-kata”.
Di usia 42 tahun, Nur Hidayah berhasil meraih gelar Guru Besar pertama di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Alauddin Makassar.
“Perempuan Pemecah Telur,” sebab ‘pecah telur’ bukan hanya pada gelar Guru Besar di FKIK, melainkan sebelumnya pada 2013 silam, perempuan kelahiran Ujuang Pandang itu juga jadi orang pertama yang meraih gelar Doktoral di Fakultas Ilmu Kesehatan saat itu.
Gelar tersebut diraih bukan dengan jalan yang mudah, tapi dengan penuh dedikasi dan kerja keras.
Sebelum meraih gelar Doktoral hingga Guru Besar pertama FKIK, Nur Hidayah memulai jenjang pendidikan tingkat lanjutnya di Akademi Keperawatan (Akper) Dinas kesehatan (Dekpes) Banta-bantaeng Makassar. Ia mengambil jurusan Keperawatan dan lulus sebagai Diploma Tiga pada 2001. Kemudian ia melanjutkan Sarjana Keperawatannya di Universitas Hasanuddin (Unhas) dan lulus pada 2004. Lalu pada 2005, ia juga mendapatkan gelar Profesi Nersnya di kampus yang sama.
Pada tahun itu pula, Nur Hidayah telah menjadi dosen pengajar di Jurusan Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan, UIN Alauddin Makassar. Lalu pada tahun 2006, ia diangkat menjadi Sekertaris di Jurusan Keperawatan. Sembari mengemban amanah sebagai Sekertaris Jurusan, Nur Hidayah terus melanjutkan karir pendidikannya. Pada 2007, ia berhasil meraih gelar Magister pada bidang Administrasi RS di Unhas.
Setelah masa jabatannya sebagai Sekertaris Jurusan berakhir pada 2009, ia kemudian diangkat menjadi Ketua Jurusan. Pada tahap ini, Nur Hidayah telah mematangkan niatnya untuk mengikuti ujian masuk S3, namun harapan itu sempat kandas, sebab kala itu ia sedang dalam kondisi hamil.
Ibu empat anak itu tak lantas memupuskan niatnya untuk melanjutkan jenjang pendidikannya. Pada tahun 2013 silam, ia berhasil menyabet gelar Doktoral pertama di Fakultas Ilmu Kesehatan. Selang dua tahun, pada 2015, ia kemudian diangkat sebagai Wakil Dekan (Wadek I) Bidang Akademik FKIK UIN Alauddin Makassar.
Tak ada perjuangan yang instan untuk sampai pada tahap itu, banyak tantangan yang harus ia lalui, apalagi dengan gelar Professor. Waktu itu, pada tahun 2017, kala ia menjabat sebagai Wakil Dekan I, ia sudah merencanakan untuk mengajukan gelar Guru Besar.
“Walaupun pada saat itu saya sudah menjadi Wakil Dekan, saya juga mencoba untuk mengajukan jurnal scopus, tetapi ada beberapa hambatan, salah satunya perlu akreditasi kampus,” ujarnya.
Dalam meraih gelar Guru Besar, ia harus memenuhi beberapa persyaratan seperti injection scopus—untuk menulis jurnal scopus dan syarat dimana kampus harus berakreditasi A. Untuk memenuhi persyaratan itu, tidaklah mudah. Dalam menjadikan kampus berakreditasi A, ia ikut terlibat menjadi tim inti. Hal tersebut membuat langkahnya sempat terhenti untuk mencalonkan diri sebagai Guru Besar.
Setelah kampus terakreditasi A pada Desember 2018 lalu, dan jabatan Wakil Dekan yang diamanahkan padanya telah usai di tahun 2019, ia mengaku memiliki lebih banyak waktu untuk fokus pada pengajuan gelar Professor. Akan tetapi, persyaratan menjadi Guru Besar ikut bertambah. Tak hanya jurnal scopus, ada beberapa syarat khusus yang harus dipenuhi untuk pengajuan Professor.
Persyaratan khusus yang dibutuhkan yaitu, pernah menjadi promotor dan kopromotor, pernah menguji dan membimbing mahasiswa dengan jumlah paling sedikit 50 frekuensi, serta pernah mendapat hibah dengan nominal Rp100 juta.
Pada saat itu, Nur Hidayah belum memenuhi syarat. Namun, dengan tekad yang kuat, ia terus mencoba.
“Saya mulai mencoba mengajukan hibah-hibah, meskipun beberapa diantaranya nominalnya kecil sekitar Rp30-an juta,” ungkapnya.
“Pada tahun 2019, saya berhasil mendapatkan hibah dari Austria, yang membantu dalam proses ini,” lanjutnya.
Alhasil, pengajuan untuk menjadi Guru Besar pun lebih lapang terbuka. Namun, tantangan berikutnya lagi, yaitu proses review jurnal, ia beberapa kali harus melakukan tahapan revisi dan perbaikan bahkan empat hingga lima kali.
“Saya harus mengatasi beberapa tantangan dalam review artikel dan memastikan semuanya relevan. Saya juga berfokus pada penulisan jurnal yang memiliki tingkat indeks Q1,” ucapnya.
Pada akhirnya, usaha Nur Hidayah berbuah manis. Artikel yang ia tulis pun diterima dan diakui sebagai salah satu syarat utama dalam proses mendapatkan gelar profesor.
Selain bergelut dalam dunia pendidikan formal, Nur Hidayah juga banyak mengikuti pelatihan tingkat nasional, di antaranya yaitu, Peningkatan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI) yang diselenggarakan oleh UPSDM Kopertis Wilayah IX Sulawesi. Kemudian ia juga mengikuti “Pelatihan Pengisian Borang Akreditasi Sarjana Keperawatan dan Perijinan Online Program profesi ners” yang diadakan AIPNI (Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia) Jakarta, pada 2010 silam. Di tahun yang sama juga, ia mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional, untuk “Pengembangan Soal Ujian Tulis Perawat”.
Tidak hanya pelatihan nasional, Nur Hidayah juga beberapa kali mengikuti pelatihan tingkat Internasional. Seperti “Peace Education Conceptsand Approaches (PECA)”, yang diselenggarakan oleh Mindanao Peacebuilding Institute Philippines, pada tahun 2010 silam. Kemudian The International Dialogue Centre KAICIID, di Wina Austria pada 2016. Lalu International Interfaith Initive, di India pada 2017. Tak hanya itu, ia juga pernah mengikuti pelatihan di Korea Selatan, Taiwan dan beberapa lainnya lagi.
Rupanya, gelar yang saat ini ia emban telah lama ia tanamkan dalam benaknya. Nama beserta titel yang kini tercantum pernah ia tulis di secarik kertas saat masa kanak-kanaknya.
“Saya punya kepercayaan yang kuat bahwa saya memilih jalan ini itu tidak mudah, saya pasti punya cara dimana saya bisa memenuhi semua syarat-syarat itu. Kalau kita mau menginspirasi orang, harusnya tanya bagaimana dia bisa seperti itu, jangan ditanya kok bisa ya. Setiap kita mencapai di satu titik itu pasti punya perjalanan sendiri, perjalanan ini mungkin yang orang lain tidak tau,” tutupnya.
Liputan ini telah terbit pada Tabloid Washilah Edisi 122.
Penulis: Nadhilah Putri Hasir (magang)
Editor: Rahmat Rizki