Oleh: Rahmat Rizki
Wahai Tuan dan Puan!
Negeri yang permai ini telah busuk, kau memakannya, kau libas habis. Seperti seekor babi melumat apa saja. Kau klaim semuanya, tiap sudut dan tepi
Kau bilang, “ini milik negara”
Di atas sofa empuk dan ruang pendingin yang nyaman, kau bilang, “ini demi kepentingan bersama”
Lalu mereka berakhir di atas kolam penuh racun bekas tambangmu, tergusur, lapar hingga mengerang meminta bantuanmu.
Mereka hampir mati. Namun, kau acuhkan lagi. Kau bilang, “bodoh tak sekolah, tak bisa beradaptasi!”
Tuan dan Puan yang ber-kuasa?
Tuan dan Puan yang ber-kuasa!
Secarik kertas akan kukirimkan padamu. Di dalamnya berisi sejarah bangsa kita. Dengan prangko berbalut darah para pejuang, darah yang kau alamatkan timah panas kepadanya, darah mereka yang mati sebab kau acuhkan
Mereka bersimbah luka, dan kau tetap mengusiknya, kau membuat duka menga-nga
Secarik kertas ini adalah doa dan juga satu gugatan penuh luka untukmu, para Tuan dan Puan Penguasa Bangsa Kita—Negeri Bhoneka Thinggal Luka
Apapun caranya, surat kutukan ini akan kuadukan, kudendangkan, walau patah, walau berdarah dan walau detak nadiku tak lagi berirama
*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar