Washilah – Tujuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Nadiem Makarim, luncurkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), adalah untuk mewujudkan pembelajaran di perguruan tinggi yang otonom dan fleksibel. Sehingga tercipta kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
MBKM sendiri menghimpun empat kegiatan, yaitu; pembukaan program studi baru, perubahan sistem akreditasi perguruan tinggi, perguruan tinggi negeri berbadan hukum, dan hak belajar tiga semester di luar program studi.
Kendati demikian, program yang diluncurkan di tahun 2020 ini menuai kritikan.
Kritikan itu salah satunya datang dari Ketua Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Dhia Al Uyun. Ia menilai, secara teknis MBKM tak memerdekakan mahasiswa.
Selain itu, Dhia menganggap ada misi terselubung yang ingin dicapai melalui program ini, “MBKM itu memang nyata, tapi ada titipan lainnya. Yang paling jelas itu BHP (Badan Hukum Pendidikan)”, tegas Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tersebut.
Tidak hanya KIKA, kritikan juga datang dari Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Fakultas Adab dan Humaniora, Abdul Raviq R. Ia menilai, MBKM satu bentuk produk yang melegitimasi bahwa dunia pendidikan bukan lagi mencerdaskan anak bangsa, namun medium untuk dunia industri.
Program seperti ini, lanjut Raviq, hanya akan memunculkan dehumanisasi dan alienasi manusia (mahasiswa).
“Liberalisasi pendidikan itu nyata adanya, negara memudahkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk berbadan hukum agar pemerintah bebas dari pembiayaan pendidikan,” ucap Mahasiswa jurusan sejarah kebudayaan islam itu.
Program link and match, menurut Nadiem, bukan hanya dengan dunia industri dan dunia kerja tetapi juga dengan masa depan yang berubah dengan cepat.
Perguruan tinggi dituntut untuk dapat merancang dan melaksanakan proses pembelajaran yang inovatif agar mahasiswa dapat meraih capaian pembelajaran mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara optimal dan selalu relevan.
Tujuan MBKM yang selama ini dicanangkan pemerintah melalui Kemendikbud Ristek, pada dasarnya untuk memberikan hak merdeka belajar kepada mahasiswa dalam memilih perguruan tinggi, mereka diberikan kesempatan mengambil mata kuliah di luar program studi selama satu semester, dan melaksanakan aktivitas pembelajaran di luar perguruan tinggi selama dua semester.
Namun, kata Dhia dalam realitasnya, mahasiswa tidak benar-benar merdeka. Mereka terbatasi dalam memilih mata kuliah yang diinginkan. Hal itu Dhia beberkan saat menjadi narasumber dalam diskusi MBKM yang diselenggarakan oleh Washilah, Selasa 29 Maret 2022.
“Jika fakultas tidak ber MoU (nota kesepahaman) dengan kampus lain, tidak bisa bekerja sama dengan lembaga non badan hukum, serta tidak adanya perlindungan (hukum) dari eksploitasi di tempat magang,” katanya.
Salah satunya, seperti yang dilansir dari Project Multatuli dalam serial “Generasi Burnout”. Terkadang mahasiswa merasa diperlakukan sebagai buruh murah, mereka dibebani tanggung jawab pekerjaan yang sama, bahkan lebih banyak dari pekerja yang sudah berstatus tetap di perusahaan.
Bahkan, porsi jumlah peserta magang di perusahaan lebih banyak dari pekerja tetap. Sementara, dalam Peraturan Pemerintah Tentang Tenaga Kerja (Permenaker) No. 6 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan pemagangan di dalam negeri, diatur bahwa, “penyelenggara pemagangan hanya dapat menerima peserta pemagangan di dalam negeri paling banyak 20% dari jumlah pekerja di perusahaan.”
Menurut Dhia, seharusnya MBKM itu hadir untuk mempersingkat beban mahasiswa ketika menempuh pendidikan, agar punya banyak waktu untuk berkegiatan di luar.
“Misalnya dengan jalur magang gitu yah. Tapi kan sekarang pendekatanya serba sertifikat. Yang penting magang punya sertifikat itu yang justru jadi buruk. Mestinya tolak ukurnya itu yah tes kompetensi atau diuji praktek itu lebih konkrit,” jelasnya.
Progres MBKM di UIN Alauddin
Kendati program MBKM menuai banyak problematika, nyatanya beberapa perguruan tinggi tetap melaksanakan kebijakan ini, salah satunya UIN Alauddin Makassar.
Setelah dikeluarkannya keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 7290 Tahun 2020 tentang Panduan Implementasi MBKM dalam kurikulum Program Studi pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, kampus yang berjuluk peradaban ini, sementara menyesuaikan kurikulum. Dan rampung pada Desember 2021.
“Mulai angkatan 2021 itu sudah menggunakan kurikulum berbasis MBKM. Sekarang sudah dua semester berjalan,” jelas Wakil Rektor l Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga UIN Alauddin Makassar, Prof Mardan. Saat ditemui di ruang kerjanya lantai lll Rektorat, Jumat 13 Mei 2022.
Perubahan kurikulum berbasis MBKM di UIN Alauddin Makassar menuai masalah baru. Hal ini dikarenakan perubahannya yang tidak ditopang dengan sosialisasi yang masif.
Seperti yang dialami salah satu mahasiswa dari Program studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum, Rian (bukan nama sebenarnya). Ia terancam harus menambah masa studinya karena pemberlakuan kurikulum tersebut.
Mahasiswa yang saat ini duduk di semester VIII itu menambahkan, tidak ada informasi yang diterima mengenai perubahan mata kuliah. Karena tidak adanya sosialisasi secara menyeluruh sehingga hal tersebut bisa terjadi.
Saat diklarifikasi kepada Prof Mardan, ia juga mengeluhkan terkait program tersebut. Dia mengakui, pergantian kurikulum bukan pekerjaan ringan dengan banyaknya kebijakan menteri dan penyesuain di lingkup kampus.
“Sebanyak 19 kali kita bertemu (PTKIN) secara nasional, untuk tinjauan kurikulum prodi-prodi dalam satu tahun. Itupun masih ada belum ditandatangani oleh Rektor karena belum mendapatkan lampu hijau (izin) dari asosiasi keilmuannya, itu menjadi penentu. Kalau ada persetujuan darinya baru ditandatangani oleh Rektor,” tutur pria kelahiran Maros tersebut.
Lebih lanjut, untuk pelaksanaan pertukaran pelajar, menurut Prof Mardan, UIN Alauddin sudah melakukan MoU (nota kesepahaman) dengan 58 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), “jadi mahasiswa yang mau pertukaran itu tinggal menunggu waktu pelaksanaan di semester V, jadi lagi dua tahun,” katanya.
Dengan segala kesiapan kampus, Prof Mardan masih memiliki kebingungan mengenai kebijakan menteri mengenai kuliah di luar perguruan tinggi yang tidak sejalan dengan kompetensinya.
“Bagaimana orang bisa jadi ahli dengan 40 SKS di luar dari pada kompetensinya. Itu baru satu masalah,” ungkapnya.
Masalah kedua menurut Prof Mardan, yakni perbedaan besaran jumlah Uang Kuliah Tunggal (UKT) di setiap kampus.
“Jadi sebelum menjalankannya, mahasiswa harus berpikir dan memilih perguruan tinggi sesuai dari kemampuan finansialnya. Karena yang dibayarkan hanya sesuai UKT yang ada di sini (UIN). Selebihnya, dia (mahasiswa) yang tambah,” tutupnya.
Liputan ini telah terbit pada Tabloid Edisi 118 spesial magang
Penulis: Irham Sari dan Khusnul Fatimah
Editor: Nadia Hamrawati Hamzah