Washilah – Mahasiswa semester lima itu kesal. Ia kegerahan, keringatnya bercucuran membasahi keningnya, badannya lengket, bau asam. Bajunya dikibas berulang-ulang.Â
“Saya kesal dan cuma bisa menunggu,” Arwan kesal dengan mesin-mesin pendingin yang membisu terpajang terpampang, ia kesal dengan atap ompong yang menganga, ia kesal dengan fokus belajarnya yang buyar karena semua hal-hal itu.
Hari itu, 18 November 2022. Matahari terik menyengat Samata dan sekitarnya, beberapa orang berjalan cepat mencari tempat teduh, berlindung dalam bayang-bayang pohon yang rimbun, berteduh dalam bangunan-bangunan beton yang kokoh, beberapa lainnya berlindung pada Sang Kuasa dalam sholatnya di Masjid, beberapa lainnya sedang duduk pada kesunyian di sudut-sudut kampus tenggelam dalam belantara kata, beberapa lainnya lagi menuju ke kantin menjinakkan perut keroncongannya.Â
“Angin berembus tiada terasa,” ucap Arwan menggambarkan suasana Fakultasnya hari itu.Â
Sekitar pukul 13.30 WITA, ia dan motor merahnya baru saja tiba di parkiran Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Alauddin Makassar. Pria asal Bone itu lalu bergegas masuk ke Fakultas. Langkahnya gesit menanjaki 65 anak tangga untuk naik menuju kelas kuliahnya yang sudah lewat 30 menit. Nafasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran, degup jantungnya kencang berdetak. Sesekali ia berhenti menarik napas panjang memasok oksigen dalam paru-parunya, kemudian kembali menanjaki anak tangga menuju lantai puncak.
Sesampainya di lantai empat, Mahasiswa Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) disambut dengan pemandangan atap yang bocor, lebar lubang itu hampir dua meter dengan panjang sekitar tiga meter, loteng itu menganga seperti mulut goa. Arwan tidak lagi kaget dengan pemandangan itu, sebab sudah dari awal semester tiga, atap itu menganga tak pernah diperbaiki, atau bahkan ditambal seadanya. Ia lalu berjalan tenang mengabaikan atap bocor itu dan mengatur napasnya yang tak karuan, kemudian masuk ke dalam kelas 408.
Di dalam kelas itu, ia melihat teman-temannya sedang duduk berdiskusi membahas materi, namun ia tidak melihat ada Dosen di sana. Ternyata teman-temannya memulai kelas secara mandiri sebab Dosennya tak kunjung datang. Arwan pun merasa lega melihat hal itu bahwa bukan hanya ia yang terlambat. Perasaanya mulai tenang, namun, kegerahan masih saja melekat tak ingin hilang. Baju yang dikenakannya pun dikibas berulang-ulang. Mesin pendingin yang tepat berada di atas kepalanya aktif, namun tak berfungsi semestinya.
“Menyalaji itu AC kah?” Arwan bertanya pada teman-temannya, berharap mereka mungkin lupa menyalakan benda itu.
“Bah, menyalaji tapi nda berasa,” temannya menyahut. Arwan lupa bahwa memang mesin itu tidak aktif seyogianya.
Bukan hanya mesin pendingin, atap bocor yang mirip dengan yang ia lihat sebelumnya pun ada dalam kelas, tepat berada di atas meja Dosen. Kerangka besi penyangga dan kabel-kabel serta pipa melintang jelas di atas sana. Plafon berlubang itu berumur sekitar satu tahun, tidak berselang jauh dengan yang ia temui sebelumnya. Bukan hanya itu, pandangannya juga terganggu dengan kursi-kursi kuliah yang telah rusak. Beberapa kursi tak memiliki papan menulis, beberapa lainnya porak-poranda tertumpuk di sudut kelas menjadi pajangan bersaing dengan mesin pendingin.
Arwan dan teman-temannya hanya bisa pasrah dengan keadaan itu. Ia terus mengibaskan bajunya, sementara beberapa teman yang lain mengibaskan kertas ke badannya. Diskusi dalam kelas terus berlanjut, namun ia tak bisa dibuat paham dengan materi yang sedang berlangsung. Fokusnya dibuat buyar oleh panas, oleh capek, oleh kursi karatan yang ia duduki, dan oleh-oleh dari pimpinan berupa kabar renovasi agar ia dan teman-temannya dapat belajar dan berkuliah dengan nyaman.
“Semoga ada kabar baik dari atasan untuk fasilitas penunjang kuliah.”
Suaranya terdengar sayup-sayup di udara. Ia tak berharap lebih, balasan seperti apa yang nanti ia dapatkan dari pemangku kebijakan fakultas ataupun kampus. Ia dan teman-temannya tidak meminta UKT digratiskan, cukup fasilitas yang mendukung sudah lebih baik daripada mereka harus membayar UKT yang tinggi namun tak diberi fasilitas yang sesuai.Â
“UKT elit, fasilitas sulit,” mewakili perasaan Arwan dan keluhan Mahasiswa UIN Alauddin belakangan ini. Mungkin begitu adanya. Sebagai penanggung jawab fasilitas dan pengadaan di Fakultas Adab dan Humaniora, Dr Firdaus mengiyakan dan sadar bahwa kerusakan-kerusakan di Fakultas seperti, plafon bocor, meja dosen, kursi kuliah, tempat sampah, AC, Lcd, parkiran kendaraan, dan seterusnya memang butuh pembenaan khusus. Â
“Pembenaan itu sudah jadi prioritas, tapi kami juga memohon kepada mahasiswa untuk bisa membantu merawatnya, kalau sudah dipakai AC, ya dimatikan lagi.”
Kerusakan yang terjadi bukan hanya karena usia fasilitas yang terlampau tua, atau kualitas yang buruk, namun, hal itu juga disebabkan oleh kebiasaan beberapa Mahasiswa yang acuh tak acuh dengan perawatan dan penjagaan fasilitas.
Wakil Dekan II FAH itu mengaku sudah berusaha membenahi hal-hal tersebut, namun anggaran yang diperlukan untuk pembenahan dan perawatan fasilitas, kata dia lumayan besar.Â
“Kami sudah mencanangkan program pembenahan tahun 2023, tinggal menunggu anggaran turun dari rektorat,” ucap Dr Firdaus.
Arwan hanya bisa menanti kabar baik itu, berharap bahwa hari-hari kuliahnya akan berjalan semestinya.
Penulis : Rahmat Rizki (Magang)
Editor : Jushuatul Amriadi