Pelecehan Seksual di Gang Sempit: Bala yang Dibiarkan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Ilustrasi kekerasan seksual di Gang Sempit. | Ilustrasi: Washilah-Ismail HM

Peringatan: Tulisan di bawah ini mengandung konten eksplisit yang dapat memicu tekanan emosional dan mental bagi pembaca. Kami lebih menyarankan tulisan ini dibaca oleh jajaran pimpinan kampus UIN Alauddin Makassar. Kronologi kekerasan seksual, serta nama korban, dan saksi yang tertera dalam tulisan ini sudah mendapatkan persetujuan dari pihak terkait untuk dimuat.

***

Washilah – Pagi-pagi sekali, Pukul 07:16 Wita, Fitriani, Mahasiswi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Alauddin Makassar, bergegas dari indekosnya menuju kampus untuk melakukan bimbingan proposal di fakultasnya. Hari itu Senin, 4 April 2022.

Letak indekos mahasiswi yang akrab disapa Fitri ini, berada di belakang Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), orang-orang biasa menyebutnya Belanda, akronim dari belakang Dakwah. Dari indekosnya menuju kampus, ia harus melewati gang sempit yang terletak di sebelah utara Kampus II UIN Alauddin Makassar.

Gang tersebut memiliki panjang sekitar 300 meter, lebarnya kira-kira satu setengah meter. Jalannya dibuat dari material paving block yang bergelombang akibat penurunan struktur tanah. Beberapa bagian bahkan berlubang. Seringkali jika hujan turun, gelombang tanah dan lubang itu dipenuhi genangan air.

Gang yang membelah sekaligus membatasi antara beberapa indekos dan kampus ini, dipisahkan oleh tembok setinggi dua setengah meter di sisi kiri dan kanan. Di sana, tidak ada penerangan sama sekali. 

Awalnya, Fitri ragu berjalan sendiri. Namun ia tetap memberanikan diri karena tak ada pilihan lain, “Tidurki kakakku, jadi tidak bisa antarka ke kampus,” katanya. Sambil berjalan, Fitri juga mengikuti perkuliahan melalui Zoom Meeting. Hal tersebut memperlambat langkahnya karena mesti membagi fokus, “Tidak terlalu perhatikan jalanka juga, karena fokus dengar dosen menjelaskan,” jelasnya.

Tetiba, seorang laki-laki yang mengendarai motor Scoopy putih melewatinya. Fitri sebelumnya sempat berpapasan dengan laki-laki yang memakai helm dan menutupi wajahnya dengan masker itu pada saat hendak memasuki gang sempit. Laki-laki tersebut bukan hanya sekali melewatinya, namun berkali kali. Fitri mulai curiga melihat gelagat laki-laki yang kini memelankan laju kendaraannya mengikutinya, “Naikutika, motornya napelankan di belakangku, tiba-tiba motornya na gas lewatika,” kata Fitri.

Ia mulai panik. Ada  rasa sesak yang Fitri tunjukkan melalui matanya yang tak bisa menahan bulir air. Berkali-kali ia menguasai dirinya dengan mengepal kedua tangannya.

Namun, Laki laki perwatakan tinggi yang sedari tadi memantaunya kini mencegat langkahnya. Tepat pada belokan kedua gang sempit, pelaku lantas melorotkan celana hitamnya, memperlihatkan alat kelaminnya. Fitri panik dan memilih berlari kembali ke indekosnya untuk menghindar.

Fitri bukan satu-satunya korban. Litbang Washilah mencatat, sejak tahun 2021 hingga 2022, sebanyak 13 mahasiswi menjadi korban pelecehan seksual di gang sempit. Semua korbannya merupakan Mahasiswa UIN Alauddin. Pelaku melakukan aksi bejatnya pada pagi, siang, bahkan sore hari. Bentuk pelecehannya ada dua, mempertontonkan alat kelamin hingga memegang payudara.

Pada 29 Maret 2022, tiga hari sebelum bala menimpa Fitri, pelecehan dalam bentuk ekshibisionis (Jenis pelecehan prafilia, di mana pelaku mengekspos alat kelaminnya) juga menimpa Mahasiswi UIN Alauddin lainnya. Saat itu korban hendak pulang ke indekosnya dan melihat jelas wajah pelaku saat melakukan aksinya.

Menurut Safirah -saksi-, pelaku melakukan modusnya dengan berpura-pura menanyakan alamat. “Korban sempat dipaksa buat jawab, saat curiga ia lari ketakutan dan saat dipanggil lagi pelaku membuka celananya memperlihatkan kemaluannya,” tuturnya.

“Korban pingsan dengan waktu yang cukup lama sambil menangis.Badannya gemetar gara-gara trauma kak, saat saya antar ke rumahnya pun korban masih menangis,” ungkap Safirah. korban mengalami trauma berat atas pelecehan yang ia alami.

Sebenarnya, dulu ada alternatif lain bagi mahasiswa yang tinggal di Belanda untuk keluar ke jalan poros atau memasuki kampus, selain dari melewati gang itu.

Di tembok perbatasan antara deretan indekos di Belanda dan FDK, dulunya terdapat tangga yang bisa diakses mahasiswa untuk masuk atau keluar kampus, namun pada September 2020 silam telah dibongkar oleh pihak kampus.

Dari 13 korban yang dicatat Washilah, beberapa di antaranya memilih untuk tidak melaporkan kasusnya. Namun berbeda dengan Fitri, beberapa jam saat mengalami kejadian memilukan tersebut, dia menghubungi Washilah dan dengan yakin untuk melaporkan kasusnya pada pihak kampus. Harapan Fitri hanyalah satu, harapan yang selama ini digemborkan oleh korban; adanya penerangan di gang sempit, adanya kamera CCTV, atau memasang kembali tangga penghubung antar jalan indekos dan FDK. 

“Intinya saya melapor, saya tidak mau lagi ada korban,” tutur Fitri.

Namun harapan itu hanyalah angan belaka. Dua hari setelah melaporkan kasusnya, tak ada upaya yang jelas dari pimpinan kampus. Bahkan, Fitri menuturkan, sepanjang pelaporan, yang ia dapati hanyalah ceramah. Ia merasa tak ada upaya serius untuk menanggapi laporannya.

“Tidak ada fotonya kau simpan? Ini harus dilaporkan, karena di situ sudah sering, jadi diminta perempuan jangan jalan sendiri lorong itu, karena sudah banyak kasus di situ terjadi,” tutur Fitri mengikuti ucapan Wadek III FTK, Dr Ilyas pada Senin (04/04/2022). 

Alih-alih merasa lega setelah melapor, perkataan Dr Ilyas, menurut Fitri malah memantik traumanya. Ia merasa, selama ini pimpinan kampus cenderung membiarkan pelecehan seksual di gang sempit, dan tidak ada upaya jelas dalam pencegahan dan penanganan. Hal itu ia sampaikan kepada Dr Ilyas, namun Dr Ilyas membela diri.

“Bukan tidak ada kinerjanya, banyak hal sudah dilakukan,” dalihnya. “Cuma kalau dilaporkan ke polisi tidak bisa ditangani cepat, karena fotonya tidak ada. Andai ada fotonya mungkin sudah bisa di lacak. Disitu kan memang bukan areata (area kampus), meski sudah banyak korban,” lanjutnya.

Sebelum pulang, Fitri dijanji oleh Dr Ilyas untuk dihubungi 24 jam setelah melaporkan kasusnya. Namun hingga 48 jam, pihak pimpinan sama sekali belum menghubunginya. Harapan Fitri yang menginginkan adanya kembali tangga penghubung antara kampus dan Belanda agar tak ada lagi korban, hanya harapan yang menggantung, “Tidak bisa diminta tangga, sudah tidak bisa, itu ditutup,” lirihnya putus asa.

Pada tanggal 7 April 2022, Fitri dipanggil menemui Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), Dr Rosmini untuk melaporkan kasusnya kembali. Ada perasaan lega yang dirasakan Fitri, meski awalnya ia takut.

Fitri diarahkan oleh Dr Rosmini mengisi formulir laporan kasusnya dan dijanjikan dijaga identitasnya. Sepanjang pelaporan, Fitri menceritakan kronologis pelecehan yang ia alami, identitasnya juga dipertanyakan; Asal daerah? Jurusan apa? Fakultas apa? Semester berapa? Semuanya direkam oleh Dr Rosmini.

Akhir pelaporan, Fitri mengajukan permintaan terakhir untuk pemasangan CCTV dan penerangan gang sempit. Rosmini mengaku akan meneruskan permintaannya pada rapat pimpinan, “Sebentar malam (07/04) rapat lagi dengan Wakil Rektor III, setelah itu akan audiensi ke pihak polres. Kalau tidak terlibat polres kita susah bergerak, karena bukan wilayah kampus,” tuturnya.

Namun hingga berita ini terbit, Fitri belum melihat upaya jelas dari pimpinan kampus untuk menyelesaikan kasusnya. Padahal dalam Standar Operating Prosedure (SOP) pedoman pencegahan penanggulangan kekerasan seksual pada UIN Alauddin Makassar dijelaskan ruang lingkup penanganan memuat kasus kekerasan seksual yang terjadi di internal maupun eksternal kampus, yang melibatkan keluarga besar UIN Alauddin Makassar. Sementara, pada bagian langkah-langkah strategi pencegahan, di poin (d) disebutkan, melakukan koordinasi dengan pimpinan universitas terkait ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung dalam upaya pencegahan kekerasan seksual dalam lingkungan kampus; ketersediaan lampu penerang dan CCTV pada wilayah yang rawan terjadinya kekerasan seksual. Maka tak ada pembenaran jika kampus masih diam.

Penulis: Charissa Azha Rasyid (Magang)/Nur Afni Aripin

Editor: Jushuatul Amriadi

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami