Cita-cita Setinggi Langit di Gattareng Matinggi

Facebook
Twitter
WhatsApp
Mahasiswa KKN berenang di hulu Singai Pettunge. Tempat ini biasanya dijadikan warga Desa Gattareng Matinggi sebagai tempat mencari ikan. | Foto: Istimewa

Oleh: M Ian Hidayat A 

Angan setiap orang tua yang membiayai anaknya bersekolah hingga perguruan tinggi, minimal adalah mendapat gelar sarjana. Prosesi itu harus melewati fase mendapati status anaknya menjadi mahasiswa. Kewajiban yang didapati menjadi mahasiswa adalah mengemban tri dharma perguruan tinggi. Salah satunya adalah pengabdian.

Kuliah kerja nyata (KKN) merupakan wujud dari angan tersebut. Dengan dibekali materi berupa “Jaga nama baik kampus di kampungnya orang” selama tiga hari. Juga bekal materiil berupa seragam hijau dan topi hijau dengan lambang kampus. Para mahasiswa diberangkatkan menuju lokasi yang sudah jauh hari disiapkan sebagai tempat KKN. Secara kebetulan, sembilan orang mahasiswa kampus UIN Alauddin mendapati dirinya tiba di Desa Gattareng Matinggi, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros.

Gattareng Matinggi, sebuah desa di penghujung Maros. Dengan keramahan penduduknya menjadi tempat asri dan nyaman bagi siapa pun yang rindunya kehangatan keluarga

“Disini nak, kalau sudah 3 hari tinggal, sudah kami anggap seperti keluarga,” sambut Ibu Desa cairkan suasana pada saat seminar

Tidak terlalu banyak kajian ilmiah yang bisa kami gali mengenai desa penghasil jagung ini. Yang kami tahu persis bahwa potensi alam cukup menjanjikan

“Dulu nak, sekitar dua tahun orang masih tanam coklat. Penghasilannya pas-pasan. Setelah beralih ke jagung. Alhamdulillah lumayanmi penghasilannya dibanding kemarin,” kata Pak Dusun di teras rumahnya, sembari menghidangkan kopi untuk kami.

Desa Gattareng Matinggi sampai saat ini berstatus sebagai desa swasembada. Artinya, desa ini mampu mencukupi kebutuhan warganya secara mandiri. Desa swasembada dimaksudkan untuk mencapai tujuan kesejahteraan negara, yaitu kemandirian pangan. Berdasarkan ketetapan Food and Agriculture (FAO) tahun 1999, negara dapat dikatakan mandiri apabila produksinya mencapai 90% dari kebutuhan pangan nasional. Kedaulatan suatu negara menjadi sangat bertumpu pada kemampuan swasembada. Negara yang tidak mampu mencukupi pangan akan sangat rentan terhadap gejolak.

Kedaulatan pangan pada dasarnya dimulai dari desa. Dalam modul yang disusun  Sukasmanto dan Dina Mariana berjudul Kewenangan dan Perencanaan Desa (2015), mengakui otonomi desa di Indonesia sebagai penyelenggara pemerintahan desa, pembangunan desa, dan pembinaan sosial, kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat. Argumen tersebut didasari oleh pasal 1 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa. Menurut pasal tersebut “Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI”

Jika merujuk pada maklumat Chanayov, maka kategori masyarakat desa pada umumnya yang ada di Indonesia sebagai pertanian kelas menengah. Pertanian ini dikelola secara kekeluargaan. Karena sistem yang dibangun secara kekeluargaan, maka akan mengurangi biaya produksi dan biaya panen.

Pada panen raya jagung misalnya, ketika warga yang lahan jagungnya siap untuk dipanen. Warga yang lain datang untuk membantu. Hubungan timbal balik yang terjadi bukan antara pemilik modal dan buruh. Namun, hubungan timbal balik yang terjadi, saling terikat membantu dalam panen.

“Kelebihannya disini masih kuat kesadaran gotong royong,” kata Herman, pemuda desa yang waktu itu sedang membantu panen jagung di lahan Pak Dusun.

Herman juga menjelaskan, semangat gotong royong warga menghantarkan Desa Gattareng Matinggi meraih Juara Desa Bersih tahun 2019 silam. “Beberapa tahun lalu, Desa ini menjadi Juara Desa terbersih dengan antusias warga” katanya sambil menggali ingatannya.

Negara Indonesia dianugerahi dengan kesuburan tanahnya seperti kata pepatah “Tongkat dan kayu dapat jadi tanaman” kiasan tersebut dapat bermakna, hampir apapun yang ditanam dapat tumbuh. Faktanya, Indonesia menjadi negara dengan ekspor beberapa produk komoditi.

Sayangnya, fakta tersebut hanya sebagai angan berbicara di balik data. Indonesia pada dasawarsa ini masih ketergantungan pada kebijakan impor barang, baik mentah maupun barang jadi. Missal pada tahun 2017 75.000 ton dari Australia pada tahun 2017. Atau sepanjang tahun 2021 total keseluruhan Indonesia mengimpor 407,7 ton beras. Pada kasus lain misalnya Indonesia masih krisis minyak goreng, ironi mengingat salah satu komoditi unggulan negri ini adalah sawit.

Dalam surplus ekonomi, Adam Smith berpandangan nilai harus mengekspansi dirinya. Artinya nilai disini yang dimaksud dalam bentuk komoditi serta uang, dan secara terus-menerus berubah dari satu bentuk ke bentuk lain (misalnya, ketika output dijual, nilai berubah bentuk dari komoditi menjadi uang). Sebuah produk adalah hasil kerja manusia, yang bekerja dengan alat-alat produksi yang dibuat manusia dan sumber daya alam dari bumi. Produk produk yang berguna menjadi komoditi ketika mereka dipertukarkan secara reguler dan bukan dikonsumsi secara langsung oleh produsen mereka.

Di sini, kegagalan negara dalam menjalankan surplus ekonomi adalah kegagalan dalam proses pertambahan nilai. Komoditi pertanian, tidak dapat diproduksi secara mandiri oleh warga desa. Seandainya saja, komoditi berupa hasil mentah pertanian berhasil dikelola secara mandiri oleh petani di desa maka akan menambah nilai hasil produksi.

Contoh kecil, pada masyarakat Desa Gattareng Matinggi misalnya, mereka memproduksi gula semut. Gula merupakan gula aren yang dibentuk seperti gula pasir, ada juga varian lainnya yang dicampur dengan rasa jahe. Memberi rasa hangat ketika diminum. Bahan dasarnya diperoleh secara mandiri di desa. Ini merupakan proses pertambahan nilai.

“Gula semut ini, salah satu bentuk ikhtiarnya warga memanfaatkan kekayaan alam. Seandainya kita pandai dan punya alat produksi. Mungkin, hasil pertanian seperti jagung bisa dijual lebih mahal lagi,” kata Herman, sambil menyampaikan angannya sebagai lulusan sarjana pertanian.

Ini merupakan contoh kecil dari banyaknya hasil alam yang bisa dikelola secara mandiri. Jika saja, pengetahuan para cendekiawan diinventariskan untuk kemajuan desa bisa saja Indonesia menjadi negara yang dapat mandiri, baik secara ekonomi maupun ketahanan pangan. Angan setiap orang tua yang membiayai anaknya bersekolah hingga perguruan tinggi, minimal adalah mendapat gelar sarjana. Namun, mungkin ada orang tua yang berharap agar anak anaknya tidak sekedar menambah taraf ekonomi keluarga, tapi bagian kecil dari akses terhadap lingkungan sekitarnya. Baik itu lingkungan sosial maupun lingkungan hidup sekitar.

*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar semester VIII.

 

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami