Kapasitas Jurnalis Menentukan Warna Pemberitaan Kekerasan Seksual

Facebook
Twitter
WhatsApp
Sumber ilustrasi, Suara.com

“Idealnya media memiliki dua peran, melindungi korban supaya tidak dikucilkan, dan mencegah kejadian itu tidak terulang kembali,” ujar mantan ketua Aliansi Jurnalis Independen (Aji) Mandar, Ridwan Alimuddin. Pernyataan tersebut merupakan jawaban awal dalam agenda kegiatan “Bincang-bincang Akademik” yang dilaksanakan oleh Washilah.

Kegiatan tersebut berlangsung pada Rabu,(29/12/2021) pukul 20:00 WITA secara virtual melalui live Instagram Washilah. Bincang-bincang akademik ini mengangkat topik mengenai bagaimana seharusnya jurnalis meliput kekerasan seksual?

Pemberitaan media yang blaming victim terhadap korban selalu saja menghiasi peliputan kekerasan seksual di Indonesia. Bahkan secara gamblang lulusan Universitas Gadjah Mada tersebut mengungkapkan, menurut survey, sebagian besar jurnalis yang ada di Indonesia merupakan tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA), hal itu jelas berdampak pada karya jurnalistiknya, apalagi media online selalu dituntut untuk cepat dan sensasionalisme.

“Kualitas wartawan sangat mempengaruhi terhadap peliputan kasus kekerasan seksual, jadi harus ada empati bagaimana betul-betul melindungi korban,” tambahnya.

Penulis buku ekspedisi bumi mandar tersebut mengungkapkan, pemberitaan media mengenai kekerasan seksual masih dinilai normatif. Pasalnya masih banyak media yang belum memenuhi kaidah dalam melindungi hak korban agar tidak dikucilkan dan meninggalkan trauma bagi korban.

“Kalau wawasan pekerja media mengenai bias gender kurang, itukan satu dua kalimat bisa menyalahkan, menyudutkan perempuan sebagai korban,” ungkapnya.

Komnas perempuan bahkan pernah melakukan penelitian pada tahun 2016, yang menjabarkan mengenai masih banyaknya diksi, konten, gambar, framing terkait perempuan yang ditampilkan secara seksis, misoginis, dan sensasional. Tujuannya agar beritanya mendapati click bait, yang akhirnya memicu trauma bagi korban.

Menanggapi hal tersebut, laki-laki yang juga pernah menjadi wartawan Radar Sul-Sel ini menjelaskan, dalam penulisan berita kekerasan seksual, pada dasarnya telah memiliki payung aturan, yakni kode etik jurnalistik.

“Baik kode etik resmi yang dikeluarkan dewan pers ataupun internal AJI kita harus berhati-hati memberitakan sadisme dan cabul, dalam kasus kekerasan seksual tidak bisa menyebut nama langsung, detail alamat sang korban. Maka AJI juga selalu menyiapkan wadah untuk melakukaan pelatihan jurnalistik. Jangan sampai sesuatu hal dianggap normal atau wajar, tapi secara konvensional dianggap pelecehan seksual,” paparnya.

Kegiatan yang berlangsung selama 39 menit tersebut diakhiri dengan Closing statement narasumber, laki-laki yang aktif dalam pemberdayaan literasi melalui program Nusa Pustaka ini, menekankan bahwa meningkatkan kapasitas pekerja jurnalis memang sangat diperlukan untuk memberi warna baru terhadap peliputan kasus kekerasan seksual yang memihak korban.

“Meng-upgrade diri mengenai pemahaman pelecehan seksual, membaca berita kasus-kasus kekerasan seksual bisa mempengaruhi pemilihan diksi dan penulisan berita yang berkualitas,” imbuhnya.

Penulis : Nur Afni Aripin

Editor : Agil Asrifalgi

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami