Oleh: Sutriana
Pembicaraan seputar perempuan sudah lazim didengarkan. Sudah sejak kecil kita telah diajarkan bagaimana perempuan itu. Di antara banyak sumber yang memberitahu kita tentang perempuan, keluarga adalah yang paling pertama. Lembaga keluarga ini nanti yang bertanggung jawab dibentuknya seorang anak yang baru lahir, dari pemberian nama, cara berpakaian, duduk, makan, bahkan diajarkan berhias diri dengan memperkenalkan alat make up sejak dini.
Setelah terbiasa tampil cantik dengan penggunakan make up tadi, maka anak ini nantinya dipandang lebih menarik, lucu, dan mengesankan oleh banyak orang disekitarnya. Hal tersebut merupakan ritual awal menyambut sesosok anak perempuan.
Beranjak dewasa perempuan pun terjun di dunia pendidikan. Pendidikan non formal yang telah diajarkan orang tua di rumah diteruskan di pendidikan formal yaitu sekolah, semakin ketatlah didikan karakter sejak dini. Hingga menjadi kebiasaan pemetaan sikap sopan santun tentang yang mana baik dan buruk. Terjadilah proses penanaman perilaku terhadap anak dan didukung oleh lingkungan.
Di tahap pendewasaan diri, pola pikirku mulai diotak-atik sedemikian rupa. Aku adalah perempuan dari kampung yang memiliki segala aturan ketat seputar perempuan. Pada saat menikah pun nantinya kebebasanku masih dibatasi dan diatur oleh sesosok yang dianggap gagah dan berani, yaitu laki-laki. Pembagian kerja pada perempuan sudah jelas tak jauh beda sebelum menikah, —hanya berpindah tangan— yang kemarin diatur oleh orang tua sekarang berpindah tangan kepada laki-laki yang tak lain ialah suaminya sendiri. Hal tersebut yang dialami oleh sodara dan sepupu perempuanku. Kemungkinan besar, Aku mengalami hal yang sama setelah menikah.
Rasa persaudaraan, empatik, saling tegur sapa, melambaikan tangan sembari tersenyum disemua orang masih sangat lengket dan beranak pinak di ruang lingkup pedesaan. Perempuan diajarkan menata volume suara, membantu tiap tetangga yang membutuhkan, melayani tamu yang datang ke rumah, menyiapkan sarapan untuk keluarga secara rutin minimal tiga kali sehari. Jumlah tiga kali sehari ini tidak jauh berbeda ketika meminum obat pada saat sakit, sebagaimana dianjuran petugas kesehatan.
Perempuan di sebagian desa mulai diizinkan untuk berpendidikan termasuk desaku sendiri. Terdengar membanggakan jika dunia perkuliahan sudah mampu dipijaki perempuan dari pelosok pedesaan. Orang tua mulai berbondong-bondong menuntun anaknya untuk memasuki dunia pendidikan, karena hal tersebut orang tua dengan berat hati menjual tanah, perhiasan bahkan bisa saja, meminjam ditetangga dekat rumahnya.
Apa yang terjadi ketika anak perempuan berpendidikan tinggi? Dijadikan cemilan tiap hari dilingkaran masyarakat termasuk ibu-ibu pedesaan. Memuntahkan pertanyaan perih, “Kapan nikah? Suami pekerjaannya apa? Jumlah anak berapa? Bangun rumah di mana? Ada mobilnya?” Pertanyaan ini seolah menanyakan tuhanmu tinggal di mana? Berpendidikan tinggi kiranya leluasa dalam memilih segala hal termasuk pasangan. Ternyata titel ini semakin memperjelas ketertindasan dan pembatasan. Karakter jodoh harus sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang yang hasil sekaligus pengesahan dari lingkaran kecil Ibu-ibu masyarakat di desa tersebut.
Meskipun si perempuan memiliki orang tua yang berpendidikan tinggi, dan meskipun si perempuan itu mencoba meyakinkan orang tuanya, keadaannya akan sama saja. Kenapa demikian? Menjadi anak perempuan akan terus balita yang tidak tahu cara apa-apa. Tahap penyeleksian kebijakan sesuai standarisasi kesetaraan sangat panjang sejauh melihat gunung dari bawah, nampak dekat tapi jika ditanjaki semakin rumit dan melelahkan. Begitu mudah membicarakan setara tapi tidak, jika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari tentunya.
Seperti yang terjadi pada umumnya dilingkungan pedesaan, perempuan dijadikan pekerja tak berbayar melupakan titelnya yang hanya sekedar jadi pajangan di ruang tamu. Perempuan dan laki-laki sama tertindas, tapi bentuk ditindasnya cukup berbeda. Ketika laki-laki keluar mencari nafkah, perempuan di rumah membersihkan segala tetek bengek urusan rumah tangga.
Pernyataan di atas sudah sekilas memaparkan bagaimana kehidupan perempuan desa pindah haluan ke kota. Anak perempuan beranjak ke kota untuk melanjutkan pendidikan di dunia perkuliahan. Mulai terhegemoni oleh keadaan yang ditawarkan dalam kehidupan keseharian yang ada di kota.
Berbeda halnya dengan perempuan yang statusnya pengangguran. Dia harus mencari pekerjaan yang cocok dengannya, lebih tepatnya asalkan diterima saja. Yang penting bisa kerja. Menghidupi diri sendiri terlebih dulu sebagai anak rantau yang tidak bergantung lagi terhadap keluarga di kampung. Perempuan berpikir untuk mengisi perut tiap harinya, melengkapi keperluan sehari-hari seperti sabun, odol, shampo, dan sebagainya. Lazimnya, jika bekerja jam kerja di atur.
Perempuan yang berdomisili ke kota semakin meningkat tiap tahunnya. Semakin banyak yang turun ke ruang terbuka mengikuti arus berkembangnya pabrik-pabrik di bibir jalan raya dalam artean toko-toko besar. Teknologi semakin canggih dan tidak hanya membutuhkan tenaga laki-laki. Tenaga kerja perempuan sangat diprioritaskan apalagi gaji perempuan lebih murah dibanding laki-laki (baca: Sry Mulyani: Gaji Perempuan 23% Lebih Rendah Dibanding Pria, Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia ). Daya tarik yang dihasilkan perempuan bisa meningkatkan juga perekonomian negara tiap tahunnya.
Perempuan di kota tidak diatur oleh orang tua ataupun suami, tetapi lebih kepada bos yang memperkerjakannya. Aturan yang ditawarkan sudah tertata rapi tanpa harus diganggu gugat. Mengkritiknya sama saja menanti kelaparan satu minggu kedepan.
Setelah membedakan perempuan yang berkehidupan di desa maupun kota, lalu bagaimana perempuan yang hidup di jalan? Pernah melihat perempuan desa tumbuh di jalan? Setelah mengelilingi beberapa pusat daerah. Tak pernah mendapati perempuan desa di jalanan.
Apakah memang tidak ada pengamen jalanan di Desa? Mari sama-sama membicarakan labirin pengalaman kita masing-masing. Aku secara gamblang mengatakan belum pernah mendapatkan pengamen perempuan di ruas pedesaan.
Kemungkinan yang dicermati secara seksama memang tidak ada pengamen hidup di desa, jikalaupun ada, palingan diangkat jadi keluarga lalu dipekerjakan. Tapi pembayarannya bukan lagi uang, diganti dalam bentuk tempat tinggal dan makanan setiap hari. Kemungkinan lainnya jika terdapat pengamen, Ia lebih memilih pergi ke kota untuk mencari kehidupan yang layak dan apa adanya seperti penemuan saya di dekat Jembatan Kembar kabupaten Gowa. Terdapat puluhan kartu keluarga yang mendirikan gubuk, memilih menetap di kota dan meninggalkan kampung halamannya di Jeneponto.
Berangkat dari pengalaman di lingkaran keluarga. Beberapa keluarga yang saya dapati jika menemukan seseorang yang tak memilki sanak keluarga atau ditinggal mati orang tuanya, dengan suka rela orang tersebut diangkat menjadi bagian dari keluarga mereka, persyaratan pun tetap berlaku bagi orang yang diangkat ini. Dia harus bersedia membantu pekerjaan rumah, menjaga anak balita jika ada, tak lupa menyiapkan sarapan pagi,siang dan malam.
Penulis merupakan Alumni Sosiologi Agama UIN Alauddin Makassar