Aktivis Kampus, Apa yang Kalian Suka Perbincangkan?

Facebook
Twitter
WhatsApp
Dok Pribadi I Ma’ruf Nurhalis

Oleh: Ma’ruf Nurhalis

Kampus tidak seluas kawasan industri, meski sedikit lagi kembarsiam. Para aktivis kampus saling bertemu. Berbincang di mana saja. Mungkin nyantai di bawah rindang pepohonan. Mungkin pada salah satu sudut kantin. Tapi sulit dalam salah sebuah kafe berpengaturu dara, dengan sebuah papan berlambang “dilarangmerokok”. Apa yang mereka suka perbincangkan. Marxisme? Neo-kritisisme? Poskolonial?Posmodernisme? Post-truth? Dan ah, yah. Seharusnya juga integralisme!

Para aktivis kampus itu tidak merasa aneh. Mereka tak merasa masuk akal sendiri. Bila sembari berapi-api menyamai panas matahari, berteriak tentang kesetaraan kelas menggunakan dialektika-dialektika Marxisme kepada para pejabat rektorat yang pragmatis. Asal hasil nya baik. Tak peduli baiknya hanya untuk diri sendiri. Mereka mana paham itu Marxisme. Bukanapa-apa? Lucu? Juga tidak. Absurditas. Kesenjangan ideologi. Kekerasan Epistimologi. Kontradiksietis. Ketidakjelasan substansi berpikir.

Semua bisa ditelaah di situ. Sementara dekat dari gerbang kampus. Lahan-lahan berpemilik dirampas. Anak kurang gizi, penyot juga oleh biaya hidup. Bapak pengangguran. Juga nun jauh di sana, di bagian Dunia Ketiga lainnya. Cuplikannya jauh lebih sengsara lagi. Sedangkan di pesawat TV. Cuplikan dari bagian Dunia Pertama. Wall Street mengandakan utang lagi. Dan lain-lain, seterusnya dan seterusnya.

Sebab mungkin begitulah hasil dari tata cara pembuatan kebijakan pendidikan tinggi Islam yang diawali  euforia psikologis mengejar ketertinggalan. Menyusun ilmu perolehan material dan ilmu langit dalam satu atap. Membawanya melewati persimpangan jalan  di mana-mana. Bagaimanapun juga kampus ini tidak seluas mimpi para pendirinya. Para aktivis kampus tetap bertemu di mana saja. Gemar konsolidasi. Meski masuk akal sendiri.

Apakah integralisasi keilmuan? Para pencetusnya menelorkan ide-ide. Sebelum menjadi jelas, Universitas Islam Negeri telah berdiri. Juga milik kita. Mereka mungkin tak betul-betul sabar memikirkannya. Bahwa kata “Integralisasi” disitu aneh. Sama anehnya bila menyatu kandang seekor kijang gemuk dan singalapar. Bukansiapa yang akan memakan dan dimakan.

Tak bisa kita bayangkan integralisasi keilmuan menjadi sesederhana memberi makan singa kelaparan hingga kenyang. Tapi ini soal membangun dua kandang yang berbeda dalam satu atap. Kita bisa menyebutnya kebunbinatang. Atau metafora lainnya. Mungkin itulah resiko menasionalisasikan disiplin berpikir yang berbeda. Percikan api oleh sebab yang sederhana harap dimaklumi.

Integralisasi telah menjadi integralisme. Tergesa-gesa mengejar, memang mungkin sikap pemikir Dunia Ketiga. Namun kita dibuat ambil bagian tanpa ingin tahu. Yang secara dogmatis terus didesakkan oleh para pengajar pada setiap pertukaran akademik kampus. Tapiada yang lebih gawat dari dogmatisasi integralisme keilmuan. Yaitu “neo-kapitalisme” sebab karena istilah itu. pada sebuah diskusi akademik,mayoritas mahasiswa lebih mengkhawatirkan mesin pendingin udara dari pada masifnya penulisan ayat-ayatAlquran yang tak setujuan dengan objek material penelitian ilmiah mahasiswa. Bukankah itu kebohongan tersembunyi. Mungkin bisa disebut patologimitomania. Tidak setara plagiasi. Mungkin lebih jahannam sebab mesin pendeteksinya belum dibuat.

Tak bisakah aktivis kampus menyadarinya. Kampus ini sempit. Ukuran jumlah bukan persoalan genting. Dengan runutan berpikir, mari berontak. Karena integralisme dan neokapitalisme adalah metafora. Tentu saja ia berasal dari produk bahasa. Dan bahasa adalah hutan yang disusuri dengan kesadaran berpikir. Tanpa itu kita terus tersesat pada persoalan menggalang jumlah. Ayo melawanbahasa.

Mari bertemu dan melanjutkan perbincangan. Di mana sajakawan. Takusah tergesa-gesa melakukan revolusi yang belum jelas buat siapa.

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Filsafat Dan Politik (FUFP) semester XI.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami