Oleh | Ismail Hamid
Suatu peristiwa yang telah dinanti-nanti kehadirannya oleh segenap mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, peristiwa yang telah menjadi tradisi tahunan di kampus peradaban ini, sebut saja pemilihan mahasiswa alias Pemilma. Tentu saja moment pemilma ini sangat dinanti karena merupakan salah satu medan aktualisasi diri bagi mahasiswa ke arah perluasan wawasan, peningkatan kecendikiawanan serta secara absolute pemilma ini adalah ajang pendidikan politik dasar.
Mereka yang ikut andil pada moment ini adalah mereka yang memiliki kapasitas intelektual serta ditopan dengan integritas yang kuat sebagai landasan untuk menempatkan diri pada jabatan kepemimpinan intra kampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat universitas (BEM-U) dan tingkat fakultas (BEM-F) serta himpunan di tiap jurusan (HMJ) dan organisasi kegemaran intra kampus di unit kegiatan mahasiswa (UKM).
Berdasarkan pedoman umum organisasi kemahasiswaan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) Bab I pasal I ayat 3, bahwa, organisasi intra kemahasiswaan antar perguruan tinggi adalah organisasi intra kemahasiswaan yang melaksanakan kerja sama sebagai wahana melakukan pengembangan diri mahasiswa untuk menanamkan sikap ilmiah, pemahaman ke arah profesi dan sekaligus meningkatkan kerja sama, serta menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan.
Melihat idiom tersebut, bahwa keberadaan organisasi intra orientasinya adalah kerja sama serta persatuan dan kesatuan. Namun sangat ironi ketika melihat perkembangan organisasi intra kemahasiswaan terdapat keganjalan yang menghambat terwujudnya nilai kerja sama, serta persatuan dan kesatuan. Salah satu misalnya adalah sekat-sekat antara satu sama lainnya, atau salah satu kasus yang terjadi, misalnya si pemimpin mewajibkan elemen lower operasional manajemennya untuk berafiliasi di organisasi yang digelutinnya sedangkan bawahannya tidak berkeinginan sehingga mau atau tidak, dengan berat harus bergabung menjadi kader di organisasinya, sehingga feedback ini menjadi problematika yang kontemporer di kampus.
Menurut analisa penulis, bahwa kompleksitas permasalahan yang dialami bisa saja berawal dari proses awal berkecimpung di lembaga lembaga yang ada di intra kampus, karena dalang dan aktor di panggung pemilma adalah mayoritas utusan organisasi pergerakan mahasiswa ekstra kampus. Mereka diusung bak pahlawan yang berjuang mempertahankan ego organisasinya, tentunya di balik itu pula ada kepentingan yang terselubung. Maka persaingan sengit antara satu organisasi pergerakan ekstra dengan organisasi pergerakan lainnya suatu hal yang wajar, namun di sisi kewajaran tersebut kemungkinan dapat merugikan terhadap element yang dipimpinnya nanti. Jadi, sebagai masyarakat kampus tentunya menginginkan persaingan yang sehat, mengedepankan kepentingan bersama tanpa ada kepentingan organisasi tertentu yang memicu terhambatnya jalinan ukhuwah, serta integritas yang kuat.
Tidak salah ketika perspektif di atas menimbulkan stigma negatif di benak sebahagian kalangan rakyat kampus. Maka, independensi seorang pemimpin organisasi intra kampus memberikan stigma yang kredibel karena tidak terkontaminasi oleh kepentingan ekstra. Sehingga nilai kebersamaan akan terjalin dengan sehat karena rasa kepemilikan bersama menjadi prioritas utama.
*Penulis adalah mahasiswa semester V jurusan Manajemen Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar