Oleh : Alam Karpiadi
Ide tulisan ini mula-mula hanya saya simpan dalam sebuah ruang di kepala, otak. Disitu yang katanya tersimpan banyak peristiwa dan kejadian, tak terkecuali kejadian saat saya membaca sebuah komentar di salah satu akun youtube. Katanya begini “bikin konten yang mendidik dong” sontak saya heran terhadap komentar tersebut, bukan karena komentarnya yang salah, malahan baik, ketika seorang manusia menyarankan mengepost sesuatu yang positif.
Yang salah adalah tempatnya memberi komentar, akun yang dia harapkan upload video yang mendidik, SALAH. Terkadang manusia berharap ke sesuatu yang salah, seperti ceritaku yang diatas, mereka “menyuruh” sebuah akun media sosial untuk membuat konten mendidik, padahal akun tersebut hanya bisa membuat konten yang jauh dari kata mendidik, malahan bisa dikatakan membodohi, bukan hanya hanya pikiran tapi lebih-lebih kepada perilaku.
Konten seperti itu bukan sesuatu yang salah (kalian boleh tidak sependapat, saya hargai), tapi sangat disayangkan. Tapi yang lebih disayangkan lagi, Masyarakat yang Berekspektasi kepada orang yang salah. Coki Pardede seorang komika pernah mengatakan “Jika berekspektasi kepada Najwa Shihab membuat konten yang mendidik, itu sesuatu yang benar, namun jika kita berekpektasi kepada orang yang kerjanya prank ataupun pamer kekayaan, itu ekspektasi kita yang salah, yang perlu diperbaiki.
Membuat konten prank ataupun pamer kekayaan bukan sesuatu yang salah, itu adalah bentuk kebebasan dalam berekspresi dan berkarya, yang salah itu kita yang sudah tahu konten seperti itu membodohi malah ikutan nonton pada padahal, banyak konten yang lebih mendidik, membangun perilaku dan tentunya tidak membodohi.
Bukannya sejak duduk di Sekolah Dasar (SD) kita diperhadapkan dengan sebuah pilihan? benar dan salah, atau kita yang terlalu cepat lupa? layaknya kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terberat dan terlama di Indonesia tahun 1965 dan sampai sekarang belum selesai sementara pemerintah cuci tangan? Mari saya ingatkan kalo begitu.
Semasa kita duduk dibangku sekolah, kita pasti pernah mengerjalan soal, untuk kenaikan kelas ataupun hanya sebuah tugas dari seorang guru. Tugas berupa esai dan pilihan ganda, dipilihan ganda kita disuruh untuk memilih satu dari empat terkadang juga lima pilihan, karena hanya satu yang benar dari semua pilihan itu.
Itu analogi yang saya pakai. Sekarang ini, kita di suguhkan beragam informasi, berbagai cara malahan, mulai dari tulisan, audio, ataupun audio visual, dan baiknya kita bisa memilih. Kita bisa memilih yang mana benar seperti pilihan ganda, dan dengan sebuah rumus dan pikiran tentunya. Bedanya, dalam pilihan ganda hanya satu yang benar, artinya benar dan salah itu tidak seimbang, sementara dikehidupan nyata kita bisa memiliki banyak pilihan benar, karena salah dan benar itu seimbang.
Jadi pilihlah tontonan yang kita anggap benar, dan bukan saya mengatakan jangan lagi menyuruh orang lain untuk mengepost konten mendidik saja, bukan, lebih hanya untuk melepas ekspesktasi di orang yang salah, karena kita bisa memilih, kita mempunyai hak itu
*Penulis Merupakan Mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Semester IV.Â