Yang Tertindas Jadi Penindas

Facebook
Twitter
WhatsApp
Sumber: Bookpalace.com

Oleh: Muhammad Junaedi

“Apa gunanya menindas, bila para penilai yang hidup ini hari akan jadi celaan hari esok?”

Pertanyaan itu melintas di kepala saya, kepala risau, risau melihat salah seorang teman, teman seperjuangan tertindas dan ingin menghilangkan penindas. Dulu, kami menyiratkan api yang sudah membayang dalam sekam: kami yang kemudian dulu tertindas oleh angkatan tua, telah memutuskan untuk memilih jalan pembebasan dari penindas. Tapi pada saat yang sama saya juga ragu, apakah jadinya kami kelak, setelah orang-orang penindas selesai masanya dan kami memerintah sehabis periode angkatan tua.

Pada akhirnya memang saya tak dapat teramat diharap untuk mengorbankan dunia yang manis. Alam merdeka penuh risiko, apalagi setelah harus melalui api dan penghancuran.

Tapi bisa dikatakan. Sesudah tertindas seperti kami, saya sebut ”Dunia Ketiga” saya melihat gambar karikatur Dunia Ketiga. Gambaran itu bagaikan sebuah cergam: pada kotak pertama para tertindas menilai penindas. Pada kotak berikutnya, mereka mengganti para penindas. Pada kotak ketiga, mereka memerintah. Pada kotak keempat, mereka sewenang-wenang, dan kebebasan yang dulu diperjuangkan, punah.

Bukankah senior di kampus juga dikatakan seperti itu? Saya tak tahu bagaimana sebenarnya senior di kampus. Dunia kampus belum saya dalami dengan sedalam-dalamnya. Cerita-cerita dari sana umumnya diungkapkan oleh junior tertindas, memang membayangkan karikatur kekuasaan yang lazim itu: senior, yang memperoleh banyak penghormatan, dan tampil sebagai hero. Kemudian, ia jadi penguasa yang menindas….

Tapi kita tahu junior yang tertindas teramat sering bercerita demikian tentang Dunia Ketiga: Saya kadang bertanya-tanya dalam hati kenapa demikian. Karena kekonyolan kita sendiri?

Atau karena seperti dulu, si junior yang tertindas itu selalu punya alasan untuk menilai senior yang menindas, baik yang menampik maupun meniru mereka?

Mungkin juga soalnya berada di tempat lain. Di Dunia Ketiga, kita hidup dengan meniup dan menelan banyak harapan karena kita mesti demikian. Di Dunia Ketiga, penindasan begitu lama, rasa terhina begitu membekas, dan persoalan-persoalan begitu bertimbun, hingga kita membutuhkan sejenis iman yang lebih tentang kehebatan manusia. Kita mengkonstruksikan panutan semacam meminta sebuah mukjizat. Cerita senior pun yang mencengangkan pun diceritakan dan khalayak ramai ikut mengelu-elukan, dengan sorak, sumpah setia, atau air mata. Kita ogah atau kita belum menampilkan satu potret ”antipanutan,” dalam dunia kampus kita.

Panutan bukanlah orang-orang lazim yang bisa dianalisa dengan pisau urai yang tajam. Bayangkan keributan yang terjadi jika seseorang berani menyajikan suatu risalah yang kritis tentang senior yang menindas. Mungkin itulah sebabnya kita terdiam.

Berbicara tentang manusia sebagaimana adanya adalah suatu sikap yang menolak mukjizat, karena mukjizat memang tak akan selalu datang buat menyelesaikan soal yang pelik-pelik. Sebuah lembaga, karena itu, tak cuma membutuhkan panutan. Ia juga
membutuhkan (lebih sering) manusia biasa dengan segala kekerdilan dan keterbatasannya.

Artinya, sebuah lembaga memerlukan diri untuk siap jika sang panutan kemudian jadi brengsek, jika sang suci jadi pendosa dan sang jagoan jadi jeri. Kebejatan dan kesewenang-wenangan dengan demikian pagi-pagi sudah bisa dihadapi. Pemikiran politik yang hidup dengan demikian perlu berangkat dari semacam realisme.

Beberapa ratus tahun yang lalu sebenarnya seorang yang bernama Spinoza, sudah menulis sebuah risalah tentang politik dengan kalimat pertama yang menyuarakan realisme itu. Spinoza menyerang para filosof, yang ”merumuskan manusia tidak sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana seharusnya.”

Tapi sayangnya banyak orang tak membacanya, banyak lagi yang tak berpikir seperti itu. Maka, mereka pun kemudian kecewa. Mereka tak siap, untuk merumuskan suatu pencegah, bila junior dari hari kemarin kemudian jadi sesuatu yang lain di hari ini. Pahlawan memang hidup dan mati hanya satu kali.

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik (FUFP) semester IX.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami