Namaku Bercerita

Facebook
Twitter
WhatsApp
Foto: Dok. pribadi Rahmat Rizki

Oleh: Rahmat Rizki 

“Kepada mereka yang percaya bercerita adalah bagian dari perawatan jiwa,” Leila S. Chudori. 

Jika kau berpikir tulisan ini adalah resensi buku, maka kau sudah salah langkah di detik pertama. Seperti yang dikatakan Leila, saya hanya akan bercerita sebagai sarana perawatan jiwa, dan cerita kali ini tentang bagaimana saya membaca buku “Namaku Alam.” Saya akan bercerita dengan gayaku sendiri yang bajingan ini. 

Kerongkonganku masih kering. Hausku belum hilang sepenuhnya. Semakin ditenggak, rasa haus semakin menjadi. Sial, baru kali ini ada satu tulisan yang membuatku bernafsu menenggaknya berulang-ulang. Entah karena cerita dan gaya tulisannya yang bermandikan nikotin, atau karena proses membeli buku ini terbilang seperti bunga-bunga untuk hatiku yang hanya terbiasa ditumbuhi belukar berduri. Paket komplitlah. Apalagi tak lama selang membeli buku itu, saya membuka kotak pandora yang sudah lama sesak dipenuhi dirinya, dan kepada dirinya pula kotak pandora itu kuperlihatkan (bagian ini mungkin menyisakan pertanyaan, tapi siasatku memang begitu, saya hanya ingin menggantungnya, sebab ini perihal privasi yang tentu tak bisa kuceritakan lebih jauh). Maka tak ada lagi pikiran yang mengguntai di kepala saat ingin mencerna cerita yang dituliskan mba Leila S Chudori.

Ceritanya mengalir deras seperti bendungan rusak. Saya tidak bohong, memang seperti itu. Seperti kata saya di awal, tulisan mba Leila selalu bermandikan nikotin, candunya luar biasa. Saya seperti sedang duduk bercerita dengan sang tokoh utama di dalam buku berjudul “Namaku Alam.” Nama lengkapnya, Segara Alam. Pemilihan nama dari tokoh utama terbilang unik dan segar, sama halnya dengan buku pendahulunya, yaitu “Laut Bercerita” dengan tokoh bernama Biru Laut. Barangkali Leila punya kecintaan khusus terhadap Nature.

Saya akan memulainya dari perkenalan dengan sang tokoh utama dahulu. Nama lengkapnya sudah saya sebutkan sebelumnya. Sapaan akrabnya saja, Alam. Singkatnya dia lelaki jenius, punya photographic memory—dapat mengingat sesuatu dengan teliti dan lekat—namun Alam menyebut hal itu sebagai penyakit. Saya juga ikut-ikutan menyebutnya sebagai penyakit. Bagaimana tidak, untuk mengingat semua hal agaknya sungguh neraka, apalagi dengan masa-masa kelam yang telah berlalu. Saya jadi tidak sanggup membayangkan menjadi seorang Alam. Walau di satu sisi juga kau akan dianggap sebagai seorang jenius seperti Alam. Tapi toh kejeniusan sama sekali tak sebanding jika harus tersiksa sepanjang hidup.

Nah, dari ingatan Alam, ia kemudian menceritakan kisah hidupnya. Mulai dari bapaknya yang menjadi buronan politik di era Orde Baru (bagian ini sebetulnya membutuhkan penjelasan yang kompleks, tapi kapan-kapanlah, nanti akan saya tuliskan jika ada waktu), masa kanak-kanaknya yang penuh sumpah serapah oleh sepupunya yang bernama Irwan. Pada part tentang Irwan pula saya seolah ikut naik darah. Tak ayal, bocah tengik satu itu mulutnya sungguh beracun, semuanya seperti bom yang akan meledak layaknya meteor di siang hari. Irwan memang layak ditimpuk batu hingga lebur dengan dosa-dosa kepada sepupunya sendiri.

Selain Irwan yang bikin emosi, Alam juga menceritakan tentang keluarga kecilnya yang tidak diisi figur Ayah. Tumbuh kembang Alam dikelilingi tiga sosok perempuan, pertama Ibunya bernama Surti, lalu kedua kakak perempuannya bernama Bulan dan Kenanga. Mereka menjadi harmonis dalam kesederhanaan. Tanpa hingar bingar uang atau pangkat yang mentereng.

Kurang lebih begitulah soal isi ceritanya, malas saja jika harus kudeskripsikan dengan komprehensif. Baca saja bila ingin tahu tentang buku ini. Jadilah seperti Alam dan teman-temannya yang rajin membaca. Tulisan ini juga saya tuliskan sebab di dalam buku itu, Alam sangat benci dengan orang-orang bodoh, maksudnya orang yang memiliki akses terhadap pengetahuan namun enggan atau malas membuka buku. Seperti Troll katanya, bahkan lebih hina lagi. Maka dari itu, tulisan ini bukanlah satu pembahasan yang ajek tentang buku berjudul “Namaku Alam,” melainkan sebagai usaha mencatat apa saja yang kugemari, tanpa tendensi untuk disukai atau dipuja-puji orang lain. Begitu. Tapi saya mau lanjut lagi.

Buku yang dilaunching pada September 2023 lalu ini seolah berisi mantra-mantra yang dapat membangkitkan manusia. Saya sebut begitu, sebab saat membacanya, saya seolah telah membangkitkan Alam dari dunia fiksi ke nyata. Dan saya duduk berdampingan dengan Segara Alam. Alam duduk di dekatku, bercerita dengan ekspresi yang berubah-ubah. Senang, sedih, marah, romansa dan jenaka. Saya mendengarnya dengan segala macam posisi, berdiri, tengkurap, duduk sambil sebat, sambil ngopi, makan kudapan di sore hari, bahkan sambil menekukkan lutut di atas jamban toilet. Kalau untuk yang di toilet, Alam tidak ikut masuk kok, dia kusuruh meninggikan suaranya di balik pintu agar ritual sakralku tetap berjalan damai.

Hanya dalam tiga hari Alam menemaniku menceritakan semua kisah dan pandangan hidupnya. Tiga hari pula ia harus menderita melihat semua tingkahku yang layak dibandingkan dengan binatang. Tapi sayang, saya tak punya teman cerita lain lagi, dan Alam kembali menemaniku untuk menceritakan kisahnya untuk kali kedua. Ceritanya tidak pernah membosankan. Penuh pelajaran, dan rasa takjub. Saya belajar banyak tentang kesusasteraan dari Alam. Mulai dari buku-buku bacaanya, cara menulis bercerita, dan banyak lainnya. Jika Alam adalah perempuan dan seorang yang nyata, maka saya adalah orang pertama yang akan memintanya menemaniku untuk hidup selamanya. Walau saya sadar bahwa saya pula jadi orang pertama yang akan ia tolak karena kelakuan binatangku yang sungguh menjijikan.

Karena saya banyak kerjaan lain, maka kurang lebih begitu saja, terima kasih.

*Penulis merupakan mahasiswa Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami