Ayah, aku tak mengerti apa yang telah terjadi dengan diriku?
Ayah, semuanya sudah terkubur bersama dirimu.
Ayah, aku sekarang mulai membiasakan diriku menyindiri, menjauhi keramaian yang penuh kepalsuan.
Ayah, hanya pulpen dan buku catatan inilah yang bisa ku percaya sebagai kawan yang akan setia hidup dan mati bersamaku.
Ayah, semenjak dirimu pergi jauh, kini aku tidak memiliki lagi kawan yang sepaham dengan diriku.
Ayah, kini aku hanyalah seorang pengecut yang hanya bisa diam dan menangis bersama catatanku.
Ayah, ketika aku membicarakan seperti apa yang pernah ku diskusikan bersamamu kepada mereka, mereka hanya tertawa terbahak-bahak sambil berkata “omong kosong berbicara Idealisme”.
Ayah, mungkin aku adalah salah satu dari yang pernah dikatakan oleh Marxisme “dikatakan berfikir jikalau adanya sebuah tindakan”.
Ayah, mintakan kepada tuhan, aku menginginkan kawan seperti dirimu untuk memperbaiki ini semua.
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Ilmu Politik (FUFIP) semester III