Sekantong Sajak Untuk Kekasih

Facebook
Twitter
WhatsApp
Gambar: Pinterest

Oleh: Suci Rahmayani R. Hanapi

Kasih, aku menuliskan ini di malam saat orang sedang ramai-ramainya membawa obor dan meneriakkan takbir.
Sedang esok disebut hari kemenangan bagi sebagian umat, aku mulai khawatir kita justru kalah.
Kalah sekalah-kalahnya.
Mimpi yang selalu kita lagukan tak akan bisa jadi nyata.
Bukan karena apa,
Aku tahu kita tak kan berumur Panjang.

Maksudku buah pikir kita.
Bisa jadi juga jasad kita,
Kau sudah tahu, bukan?
Membaca warta akhir-akhir ini membuatku serasa ingin mati muda.
Bagaimana tidak, membayangkan bahwa tak akan ada lagi hari-hari damai untuk kita bercinta di bawah pepohonan yang sesak.
Semua akan disulap menjadi kolam sawit.
Tapi tak apa katanya.
“Sama-sama pohon!”
Kau juga tahu bahwa itu tak benar, bukan?
Itu sangat menggelitik.

Frasa itu lebih tepat menjadi dua kata lucu. Eh dua atau tiga?
Jelasnya, tak ada lagi tempat mendirikan tenda, kasih.
Oh, begitupun dengan hammock usang kita.
Meskipun kita akan membeli yang baru, tetaplah tatanan baru tak bakal terhindari ia kan menjamur kembali.

Beberapa dari mereka siap memanennya.
Mirisnya, kata mereka tak ada yang baru atau apalah itu.
Namun aku tahu persis bentuk ketakutan-ketakutan yang sudah terlanjur terawat ini, kasih.
Di sisi lain aku terpingkal mendengar tuduhan atas bicara yang serampangan mangatasnamakan ‘kurang kerjaan’ juga ‘kampungan’.

“Tak ada dua, seperti dua fungsi”.
Mungkin kalau bicara soal dua jamur, harusnya namanya dwi fungi.
Atau anggaplah aku salah mengeja, atau leluconku di atas tak berhasil menjadi lucu.
Beberapa kalender kedepan, langkah kita akan diiringi sepatu laras juga siulan mesiu.
Yang sudah pasti tak akan kita duga dari mana dan kapan datangnya.
Ah, betapa bergidik aku walau hanya menghayalkannya, kasih.

Orang kampung seperti kita akan menjadi pembenaran jika tim sepakbola kita tak berkembang.
Tapi aku tahu kita sudah berjuang sekuat dan sehormat-hormatnya.
Masih bolehkah kita sisakan sedikit harap untuk terus ada dan berlipat ganda?
Dan aku paling takut kita tak akan bisa lagi bergandengan tangan sambil menggendong Tan Malaka, Pram dan Marx bersama kita.
Bagaimana dengan nasib Soe Tjen Marching, Ayu Utami, Laksmi juga Leila?
Lalu Orwell kesukaan kita, Bradbury, Bevins, berikut Muhidin dengan cerita 98-nya?

Duh, masih banyak kawan-kawan lainnya yang harus kita kubur sebelum dibumi-hanguskan.
Kau tau seseorang bisa ditodongi senjata walau hanya karena menyukai yang berwarna merah.
Ia doyan makan cabai yang harganya kian melambung misalnya.
Meski ia belumlah tentu seorang seperti yang ia sukai.
Bisa jadi ia adalah putih, atau bahkan memilih untuk tak memunyai warna.

Entahlah, kasih.
“I wanna stay with you, until we’re grey and old” kata James Arthur terdengar utopis saat ini.
Tak akan ada lagi teriakan ‘cuci muka gosok gigi evaluasi’ sebagai bahan bakar perjalanan kita bertumpah ruah di sepanjang aspal yang dibangun sebagai hadiah telah rajin menyetor pajak.
Yang akan tersisa hanyalah antrean minyak motor yang isinya sudah teroplos.
Kasih…
Kau pun tahu ini tak baru saja bermula karena angka 2.
Jauh lebih lama ia terawat, kasih.

Mungkin sejak aku masih belajar mengecap ASI di hari-hari pertamaku sebagai makhluk hidup.
Sejak kecil aku selalu menyukai angka 2, sebab ada beribu alasan yang bisa kutarik hubungannya dengan diriku tentang angka ini.
Tak luput, ia menjelma menjadi syukur bahwa aku di satu momen, tak memilih angka favoritku.

Ah, mengingatnya lagi….
Kasih, aku mencintaimu sebab engkau punya kepala yang selalu bekerja.
Dan sudah pasti kau juga tak memilih angka dua yang kumaksud itu.
Sebab itu jugalah yang membuat cintaku semakin tumbuh untukmu.

Kekasihku..
Ada baiknya kita kembali tidur dan memilih mimpi yang lain.
Sebab bangun di esok hari akan terasa seperti mati suri.

Buol, 31 Maret 2025

*Penulis merupakan alumni UIN Alauddin Makassar

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami