Penganut Ajaran Tolotang dan Masa Lalu Dipersekusi Negara

Facebook
Twitter
WhatsApp
Tradisi Massempe Penganut Tolotang. | Foto : Istimewa

Washilah “Pernah dikatai kafir, tapi itu kan diperuntukkan untuk orang islam yang tidak salat. Kami kan tidak percaya. Jadi, biasa saja sebenarnya.”

Begitu kata Uly (18), salah satu penganut kepercayaanTolotang di Kecamatan Cempa Kabupaten Pinrang, kala saya berbincang di kediamannya, Ahad (2/10/22).

Ruang tamu 4 x 5 meter itu tampak sederhana, dindingnya dicat ungu, dengan lantai keramik putih. Di sisi kiri ada sofa minimalis warna merah. Bangunan ini tampak berbeda dari kediaman Pusat Tolotang yang pernah saya jumpai di Amparita, Kabupaten Sidrap. Orang Sulawesi Selatan menyebutnya Rumah Batu.

Jauh sebelum saya bertandang ke kediaman Uly, saya memang lebih dulu melesat jauh ke pedalaman Sidrap di Kecamata Tello Limpoe. Sekitar 198 kilometer dari arah Makassar. Di sana berderet rumah panggung yang terbuat dari kayu. Tak ada bangunan yang terbuat dari kombinasi batu, semen, dan pasir.

Saat itu, Sabtu, 1 Oktober 2022, ekor mata saya juga menangkap beberapa perempuan berpakaian baju adat tolotang: kebaya dipadupadankan dengan sarung. Satu diikat di pinggang dan lainnya diselampangkan bagi perempuan. Sementara laki-laki mengenakan baju kemeja. Pinggang mereka dibungkus dengan sarung. Bedanya, mereka mengenakan kopiah hitam di atas kepala.

Namun, yang saya temui di Wilayah Uly dan Masyarakat Tolotang Cempa lainnya amat berbeda. Di Desa Mattunru Tunrue dengan hamparan teras sawah ini, di sana bemukim lebih dari 2.017 penduduk dengan 479 di antaranya menganut Kepercayaan Tolotang. Semuanya berbaur tanpa ada sekat dengan masyarakat lainnya. Saat Uly menunjukkan pakaian adatnya, saya mengernyit keheranan, karena cuma ada satu sarung yang melilit di pinggangnya.

“Orang tua dulu ji itu kak yang pake dua sarung,” katanya.

Uly merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Keluarganya menganut kepercayaan Tolotang turun-temurun, sejak leluhur.

Meski demikian, Uly mengaku sewaktu sekolah tak pernah mendapatkan pelajaran Tolotang. “Saya pelajari Hindu,” katanya. Sekolah tak menyediakan pelajaran kepercayaan Tolotang, tapi mewajibkannya mengikuti agama lain—yang diakui negara sebagai “agama resmi”.

Diskriminasi yang dirasakan Uly tidak hanya sampai di situ. Di KTP-nya bahkan tertulis Hindu sebagai agama Uly. Bukan cuma dia, seluruh kelurga Uly juga bernasib serupa.

“Waktu urus KTP sendiri, pas ditanya, langsung bilang agama Hindu. Karena tahu Tolotang tidak masuk agama resmi,” katanya.

Tolotang, PKI, Hingga Perkusi oleh Negara

Kepercayaan yang menyebut Deawauta Seawae (Tuhan) dengan gelar Patoto E ini memang hadir dari sejarah panjang penuh persekusi. Uly menjadi salah satu dampak nyata dari peristiwa kelam itu.

Dimulai dari sekitar abad ke 17, saat agama Islam masuk ke Sulawesi selatan. Tepatnya tahun 1610 saat Raja Waji Agung MatoaWajo ke-12, La Sangkuru Patau Ulajaji menerima Islam.

“Maka saat itu Wajo telah menjadi Kesultanan Islam pada tahun 1966 dan menekankan masyarakat menganut agama Islam,” kata Dr Wahyuddin dilansir dari laman Youtube Mitologi Bumi Sulawesi Antara Adat, Agama dan Kepercayaan, diakses pada Rabu, 12/10/22.

Salah satu di antara masyarakat yang belum siap menerima Islam waktu itu, lanjut Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Aalauddin Makassar tersebut, adalah masyarakat Wani yang ada di Wajo.

“Hal itu menyebabkan Arung Matoa Wajo meminta mereka untuk meninggalkan Wajo karena tidak bersedia memeluk Islam,” jelasnya.

Karena ini perintah raja, maka mereka meninggalkan Wilayah Wani yang terdiri dari dua kelompok. Satu dipimpin oleh sang istri, I Pabbere menuju Amparita dan sang suami, I Galiga menuju Bacukiki Pare-pare.

Kedatangan I Pabberedi Sidrap dengan Masyarakat Tolotang tidak serta-merta diterima oleh Adatuang Sidenreng.

”Dia boleh tinggal di sana, tapi harus ada syarat yang dilakukan. Pertama, dalam upacara pernikahan dan kedua prosesi pemakaman, keduanya harus mereka lakukan dengan syariat Islam,” kata Wahyuddin.

Proses ini berlangsung dalam beberapa dekade. Dalam penelitian yang dilakukan Samsul Rijal, EleminatingLocal Religion: Reason Of Violance in The Regulation Which Regulate Towani-Tolitang Belief, puncak diskriminasi terhadap mereka terjadi pada tahun 1965-1967.

Pada titik ini komunitas Towani memasuki babak baru nelangsa kehidupannya.

Pada tahun-tahun tersebut, Rijal mencatat ada beberapa aturan dan peristiwa penting. Misalnya pada tanggal 27 Januari 1965, keluarlah penetapan presiden RI atau PNPSNo.1/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Penodaan Agama.

“Keluarnya aturan tersebut jelas ditujukan kepada para penganut agama lokal (leluhur) aliran kebatinan atau aliran kepercayaan,” tambah Rijal, yang juga merupakan Ketua Lembaga Ta’lif wa Nasyr Nahldatul Ulama (LTN-NU) Sulawesi Selatan, 2019-2024.

Dengan adanya aturan ini, agama lokal tidak bebas melaksanakan praktik agama mereka.

Tidak hanya itu, pada 1965 terjadi peristiwa G 30 S, salah satu genosida paling besar dalam sejarah manusia.

Hari itu aktivitas kebudayaan terhadap praktik keagamaan yang dilakukan penganut lokal diawasi dengan ketat, dikekang, bahkan dipersekusi.

“Penangkapan bahkan pembunuhan terhadap penganut agama lokal berlangsung masif, kendati dengan alasan sebagai bagian dari penumpasan PKI,” lanjut Rijal.

Merespon munculnya aturan perkusi terhadap agama dan juga gejolak politik nasional pasca G 30 S,  pemerintah daerah Kabupaten Sidrap yang kala itu dipimpin Sada Mangile, tepat pada 4 Februari 1966, mengeluarkan empat keputusan penting yakni:

1) Tidak mengakui Tolotang sebagai Agama sendiri di kabupaten Sidrap

2) Setiap penganut Tolotang yang akan melakukan perkawinan, rujuk dan talak, harus mendaftarkan diri di KUA setempat sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1964 dan UU No. 23 Tahun 1954 dilakukan secara Islam atau menurut pencatatan yang berlaku dalam negeri RI

3) Dilarang melakukan perkawinan, talak, dan rujuk secara liar dan tidak didaftarkan

4) Memerintahkan pada seluruh kecamatan sidrap untuk melakukan hal-hal tersebut..

Kepemimpinan lantas beralih ke Arifin. Meski begitu, jelas Rijal dalam tulisannya, persekusi ini tetap dilanggengkan. Ia mengeluarkan aturan No AGAL21/1/VIIL1966 tentang larangan adanya kepercayaan ini. Disusul surat Bupati Sidrap ditujukan kepada Kecamatan Tellu Limpo agar mengintruksikan ke penganut keyakinan Tolotang agar seluruh menikah dan talak merujuk pada UU No. 22 /1946/ Jo UU No 32.1954/MTR melalui AGA 2/II/IIL 14 Mei 1966 dilakukan secara Islam.

Menghadapi situasi ini, komunitas Towani Tolotang berunding untuk keluar dari kisruh mereka.

“Mereka sepakat untuk berjuang mempertahankan eksistensi mereka.  Surat yang berisi diskiriminasi terhadap mereka dikirimkan ke DPRGR/MPRS Jakarta,” papar Rijal.

Surat tersebut kemudian disusul dengan surat DEPAG/B/IIIL3/151 22 JULI 1966 dengan tegas melarang adanya unsur paksaan dalam  memilih Agama mengobati luka Towani.

Hasil kajian departemen agama lantas menetapkan agama ini sebagai agama Hindu. Lalu, mengeluarkan Keputusan No.6 Tahun 1966 yang mengatur Towani Tolotang beragama Hindu.

Hal itu mendapati banyak penolakan,salah satunya dari KAPPI Sidrap. Sementara Bupati serta DPR GR mengirimkan surat pembatalan surat tersebut, dengan alasan membangkitkan sisa PKI.

Situasi kembali mencekam pada1967 saat panglima Kodam XIV Hasanuddin mengeluarkan surat No Kep 010/05/PPD/1967. Surat ini sebagaimana ditulis Hasse menyatakan, persoalan Tolotang menjadi tanggung jawab Kodam XIV. Alat upacara mereka diambil, perlengkapan ritual dimusnahkan, Towani Tolotang yang meninggal dimakamkan secara adat, makamnya dibongkar kembali lalu dimakamkan secara Islam.

Karena tekanan ini, banyak masyarakat yang beralih ke Islam. Di sinilah muncul Tolotang benteng.

Pada akhirnya, di masa kepemimpinannya, Gusdur mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966 menetapkan tentang pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia) dan Pelarangan Menyebarkan Paham Komunis, Marxisme, dan Leninisme.

“Gusdur Sejatinya mengusulkan pencabutan TAP MPRS itu, bukan semata karena adanya semangat untuk memberikan kebebasan bagi tiap orang untuk mempelajari ideologi tertentu, namun karena TAP MPRS adalah biang kerok atau sumber dari segala diskriminasi, kriminalisasi dan kekerasan terhadap agama lokal,” tulis Rijal.

Dengan fakta tersebut tidak berlebihan jika muncul pendapat yang menyatakan bahwa TAP MPRS XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran seluruh agama terkuat dengannya adalah dalang sumber diskriminasi dan kekerasan terhadap penganut lokal. Apalagi penyisiran tersebut menggunakan operasi militer.

Di Sulawesi Selatan sendiri, keluarnya TAP MPRS XXV/1966 memicu lahirnya tiga operasi militer yang bekerjasama dengan dengan organisasi Islam tertentu, menyasar penganut agama lokal. Salah satunya Operasi Sipakainge atau Malilu Sipakainge yang menyapu para penganut agama lokal Towani Tolotang.

Upaya Penerimaan

Saat saya paparkan rentetan peristiwa itu, Uly menggeleng tidak tahu. “Kalau ada yang tanyaka tentang agamaku saya bilang persis ceritanya Krisna, soalnya tidak pahamka juga jalan ceritanya cuma orang yang berumur saja.”

Saya merasa tak mendapatkan banyak jawaban dari Uly. Maka saya putuskan untuk bertolak menuju kantor desa setempat. Tak sengaja saya bertemu Jufri (63).

“Saya belum ada di sini, mereka sudah ada. Kan di sini ada empat dusun, yang paling banyak itu di Dusun Palabila dan Polewali,” katanya.

Persoalan konflik, kata pria yang menjabat sebagai Kepala Seksi masyarakat ini tak pernah terjadi. Pasalnya orang-orang Tolotang amat menjaga solidaritas, “Kalau bicara Islam mereka pintar, tapi tidak tahu apakah dia pintar mengaji,” tawanya merekah.

Kendati demikian, dalam acara hajatan berupa pernikahan Tolotang ,Jufri mengaku cukup berhati-hati dalam mengonsumsinya. “Kalau Uwa’nya  (Ketua adat) yang potong (dagingnya) kita tidak makan. Kan kita tidak tau dia baca apa. Kita selalu waspada.”

Jufri cukup tahu beberapa adat Tolotang. Di antaranya, saat prosesi pemakaman, jelas Jufri, orang Tolotang mengeluarkan jenazah melalui jendela rumahnya.

Di desa ini, lanjut Jufri, terdapat pemakaman khusus untuk orang Tolotang, dekat dengan pembungan batu bata. “Tepat di jalan Poros menuju Kapa,” katanya.

Di sana akan terlihat berjejer gundukan tanah dengan batu nisan di atasnya, tak ada yang berbeda dari penampakan kuburan orang Islam.

Sementara dalam acara pernikahan, kata Jufri, orang-orang Tolotang akan membangun Sarapo. Sarapo di sini bukan yang ditafsirkan orang-orang Bugis sebagai bangunan yang bisa dipasang di sisi kiri rumah. Tapi, orang-orang Tolotang membangunnya tepat depan rumah.

Teras rumah atau dalam bahasa Bugis disebut lego-lego disambung menggunakan papan kayu menjorok ke depan. Di situlah prosesi pernikahan dilangsungkan. Tamu hadirin akan duduk bersila di lantai papan. Khusus Uwata’ (pemangku adat) akan duduk di atas tikar daun lontara.

“Kalau akadnya Uwa’nya ji yang bisa lihat,” kata Jufri.

Dalam kasus perceraian, Jufri menimpali, masalah ini diselesaikan secara adat. “Ketua adatnya yang punya otoritas untuk itu,” papar Jufri.

Jufri lantas mengarahkan saya ke salah satu masyarakat Tolotang.

Berbekal informasi yang saya kantongi. Saya memacu kendaraan motor yang saya tunggangi, sekitar satu km dari bangunan putih terbuat dari papan kayu bertuliskan Kantor Desa Mattunru Tunrue. Menyambangi salah satu masyarakat Dusun Polewali yang menganut kepercayaan Tolotang, La Kanang (56).

Sembari duduk di balai-balai, ia mempersilakan saya duduk bergabung bersamanya, duduk bersila di atas balai-balai berlantai bambu di kolom rumahnya.

Sayangnya, La Kanang ini dengan tegas menolak memberi keterangan lebih dalam mengenai kepercayaan yang ia anut.

“Saya tidak bisa ungkapkan masalah (kepercayaan) itu. Artian saya tidak bisa kasih keterangan karena saya tidak pernah melakukan sesuatu,” tegasnya.

Saya mengerti bagaiamana sikap tertutup ini hadir dari banyak faktor. Salah satunya diskriminasi. Masih teringat dalam benak saya. Bertepatan Sabtu, 30/09/22,  saat saya menyampaikan maksud saya untuk bertandang ke Amparita, salah satu kawan saya bertanya, “Siap ji makan haram Afni?” atau pernyataan yang lebih menjengkelkan, “Memang sih di sana kafir semua, karena ajaran mereka keluar dari syariat Islam.”

Wajar belaka La Kanang protektif pada ajarannya. Mereka sudah sering dapat tindakan-tindakan diskriminatif dari orang-orang yang mengklaim mayoritas.

Darinya saya memperoleh pembenaran kalau Tolotang di bagi menjadi dua aliran, yakni Tolotang Benteng dan Tolotang Hindu.

Berbeda dengan Tolotang Hindu yang ajaran agamanya mirip dengan agama Hindu meski tanpa Pura, Tolotang Benteng ajarannya lebih condong ke Islam.

“Dia haji, puasa bahkan mereka juga salat,” kata La Kanang.

Tolotang Hindu, La Kanang tak ingin berkomentar banyak. Kata dia, “Kalau di Amparita itu ada dibilang Uwatta’ apa yang dia sampaikan di sana, kami di sini menuruti. Kalau di orang Islam dia itu Kyai.”

La Kanang juga mengungkapkan masyarakat Tolotang tidak hanya bermukim di Amparita, Bacukiki, Pinrang, tapi juga tesebar di Kalimantan. Ia mengkalkulasikan setidakya ada 6000 Kartu Keluarga tersebar di Sulawesi Selatan.

”Mungkin karena tempat di sana (Amparita) tidak memungkinkan jadi tersebar. Ada juga di Kalimantan, kebanyakan di Amparita pusatnya di situ, kebanyakan masyarakat Amparita ke sini untuk cari berkah, karena di sana tidak ada dikerja.”

Di KTP serta Akta Nikah La Kanang tertulis Hindu. Ia tidak memusingkan hal itu. Baginya, Tolotang adalah sebuah persoalan kepercayaan. “Bukan masalah Dewa, ini masalah kepercayaan saja beda dengan Hindu Bali yang percaya dewa. Kita tidak, tapi percaya orang tua dulu (leluhur), sebelum masuk Islam di Indonesia.”

Perayaan keagamaan terbesar orang Tolotang kata La kanang, adalah Sipulung. Dalam ritual ini, penganut Tolotang dari seluruh wilayah akan berkumpul di makam I Pabbere. Ritual tersebut cukup tertutup bagi komunitas di luar Tolotang.

“Ada suatu tempat, artinya di sini di Cempa dulu, setelah itu di Pinrang, baru Pare-Pare, samaji kalau Islam singgah ke Madinah sebelum Mekkah,” papar laki-laki yang bekerja sebagai petani ini.

Dalam ritual ini, orang tua akan mengenakan pakaian adat Tolotang “Satu malam kita duduk terus, orang tuaji pake baju adat.”

La Kanang memang mengakui, tak terlalu banyak tahu masalah kepercayaan yang dianutnya, ia hanya memahami agama ini turun dari leluhurnya. Pada perayaan keagamaan katanya, dia hanya ikut sebagai peserta saja untuk meramaikan. Hal itu diperparah dengan musnahnya kitab Lontara-kitab Tolotang.

Sementara itu, di Cempa tak ada komunitas kepemudaan Tolotang. Tempat ibadah kata Uly, dilakukan di rumah pribadi Tantenya. Uly tak pernah diajarkan tentang agama yang dianutnya begitupun La Kanang. Tiga sekolah di Cempa bahkan di Amparita sekalipun tak mengajarkan kepercayaan Tolotang.

Penulis : Nur Afni Aripin

*Produksi ini menjadi bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami