Aku Perempuan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Ilustrasi: Washilah-Kardiman Aksah

Oleh : Muh Fiqrawal Rahman

Ayam berkokok. Atmosfer semakin dingin. Aku tahu perasaan subuh datang menghampiri menjelang pagi. Kutarik selimut menghangatkan tubuh, terlelap. Samar-samar terdengar suara Ibu, seperti sirine peringatan pertanda bahwa aku harus bangun.

“Estia, bangun Nak! Siap-siap berangkat ke sekolah!” Ibu berteriak.

Ibu memang selalu bangun awal mempersiapkan dagangannya. Ia menjual kue di kios depan rumah. Semenjak kematian Ayah, Ibu memiliki tanggung jawab menafhahiku.

“Estiaaa, bangun nanti terlambat!” Suara Ibu meninggi, tapi kuhiraukan. Aku masih bergelut nyaman dengan gravitasi kasurku.

“Ini sudah jam delapan, kamu terlambat ke sekolah!”

Mendengar itu, mataku terbelalak, tubuhku bergerak sendiri. Entah masih sadar atau tidak, aku telah berada di kamar mandi.

Guyuran air menyadarkanku. Ritual membersihkan badan telah usai, aku terburu-buru karena masih dalam zona panik. Setrika seragam sekolah, siapkan buku pelajaran, dan tak lupa bawa Alkitab. Hari ini ada pelajaran membedah ayat.

Belum selesai menyetrika, ibu kembali berteriak, “Estiaa. Jangan lupa sarapan!” Suara ibu menggema. Takut membuatnya teriak dua kali, sebaiknya kukabulkan diteriakan pertama. Hanya memakai kaos dan celana pendek, aku beranjak ke meja makan. Tak peduli, aku mengunyah sarapan, langsung menelannya saja.

“Estia! Makannya jangan terburu-buru! Lihat mulutmu seperti tupai yang penuh dengan biji kenari,” tegur Ibu tertawa.

“Mau bagaimana lagi Bu, aku telat.” 

“Sudah-sudah. Lihat jam dinding dulu.”

Aku mendongak ke atas, hingga mataku sejajar dengan jam yang masih menunjukkan pukul 6.30 Wita.

“Ibu! Tidak lucu. Tak kasihan apa? Lihat anaknya terburu-buru seperti kuda di track balap,” protesku cemberut.

Dialog konflik pagi itu sedikit mereda. Kembali ke aktivitas utama memakai seragam sekolah dan sedikit berdandan. Bedak tipis di wajah, melentikkan bulu mata, tak usah terlalu menor. Selain karena peraturan sekolah, toh aku memang sudah terlahir cantik, kata ibu. Kulit putih, rambut terurai, wajah bulat, alis tebal, mata coklat berkelopak, hidung mancung, bibir tipis, serta lesung pipi di sebelah kanan.

Tak berselang lama, terdengar suara perempuan memanggil namaku, mungkin arah suaranya dari halaman rumah.

“Estia. Estia berangkat bareng yuk! “

Itu pasti suara Helna, sahabatku dari kecil. Nama lengkapnya Helna Anggraeni Putri Caksono, seorang anak pengusaha kaya dari Jawa. Akrab kupanggil Cakso, nama Ayahnya.

“Iya tunggu!”

Kami masih duduk di bangku kelas dua, di salah satu SMA Kristen di Bali. Tak tahu kenapa si Cakso selalu mengajakku berangkat bersama ke sekolah, padahal dia punya supir pribadi yang siap mengantarnya ke mana saja. Kalau bersamaku cuma naik angkutan umum.

***

Rabu 17 Juni, kuawali pagi dengan ceria. Seperti biasa, pergi ke sekolah bersama Cakso. Hari ini ada pelajaran olahraga praktik tolak peluru, kebetulan guru olahraga kali ini pindahan dari Jawa.

Pak Hamidi, guru olahraga kami yang baru langsung mengarahkan ke lapangan. Lakukan praktik harus pemanasan dahulu. Kami membuat lingkaran. Meregangkan tangan agar tak saling bersentuhan. Satu orang ditunjuk ke tengah sebagai instruktur stretching, kali ini Pak Hamidi menunjuk Cakso sebagai instruktur.

Semua berjalan normal-normal saja, tiap ada gerakan yang salah Pak Hamidi membenarkan dengan tongkat kayu yang sering dia bawa-bawa. Tapi, setiap gerakan salah yang kuperbuat, dia membenarkan dengan sentuhan tangannya. Seperti membenarkan posisi pinggulku, tumpuan kaki dan gerakan tangan. Ia lakukan itu dengan tersenyum ke arahku, awalnya kuanggap biasa.

Hingga masuk tahap praktik, teman yang lain melakukannya dengan lancar-lancar saja. Sesekali Pak Hamidi membenarkan gerakan yang salah kembali dengan tongkat kayunya.

Hingga tiba di urutan absenku. Kulakukan gerakan sebaik mungkin. Kupikir tak mungkin salah, tapi masih ditegur oleh Pak Hamidi.

Katanya, tumpuan tungkai pahaku kurang rendah. Ia lagi-lagi membenarkan gerakanku dengan menyentuhku. Ia menyentuh pahaku dan terus naik ke pinggul, yang membuatku tak tahan lagi. Dia menyentuh bokongku dan itu cukup lama. Aku menyudahi gerakan dan menatap tajam ke arahnya.

“Guru cabul, bangsat!”

Segala umpatan kulemparkan padanya. Cakso sigap menarik tanganku dan membawaku menjauh dari guru sialan itu.

“Estia, sudah. Tenangkan dirimu!” Cakso mencoba menenangkanku.

“Tidak Helna! Kejadian ini tak boleh ditenangkan, aku harus melapor ke kepala sekolah,” tegasku.

Cakso hanya tertegun melihatku. Aku beranjak ke ruang kepala sekolah. Kebetulan ada Romo. Panggilan kami untuk pendeta yang mengajar agama di sekolah. Aku menceritakan kejadian yang Pak Hamidi lakukan kepadaku. Namun, kepala sekolah menanggapinya biasa saja, hanya Romo yang terlihat khawatir, tak tenang mendengar itu. Romo menyuruh salah satu siswa memanggil Pak Hamidi untuk datang ke ruang kepala sekolah.

Tak berselang lama, Pak Hamidi tiba di ruangan kepala sekolah. Ia dimintai keterangan terkait kegaduhan yang kulaporkan tadi. Mungkin kelanjutan ceritanya bisa diterka, Pak Hamidi mengelak dengan apa yang dia lakukan.

“Kejadiannya tak seperti itu Pak, Romo. Mungkin Hestia menanggapinya terlalu berlebihan, saya hanya mencoba memperbaiki gerakan yang salah, tadi itu kaki saya terpeleset dan tak sengaja menyenggol bokong Hestia.”

“Bapak bohong! Romo, Pak kepala sekolah tolong percaya padaku! Jelas sekali aku merasakan dia memegang bokongku. Kalau aku menghitung satu sampai sepuluh, tangannya masih ada di bokongku,” wajahku memerah, aku sangat ingin menangis saat itu.

Pak Hamidi masih tetap tak mau mengakui kesalahannya, “Aduh! Hestia, buat apa Bapak seperti itu, lagian saya sudah punya istri dan dua anak. Sudahlah ini cuma salah paham.”

Romo menengahi perdebatan aku dengan Pak Hamidi, “Kalau begitu kita lihat saja rekaman CCTV yang mengarah ke lapangan sekolah. Kalau memang benar Pak Hamidi melakukan tindakan tercela ini, kita keluarkan saja dari sekolah. Laporkan ke pihak berwajib. Jangan sampai Tuhan mengutuk kita atas kejadian ini!”

Kepala sekolah menyahut, ia tadinya tak merespon kejadian ini, “Sudah-sudah Romo, masalah ini tak usah dibesar-besarkan. CCTV rusak, lagian kita sudah mendengar penjelasan dari Pak Hamidi. Jangan sampai masalah ini berimbas pada nama baik sekolah.”

Mendengarnya aku menangis sejadi-jadinya. Melihat keadaanku, Romo kembali menimpali kepala sekolah, “Seharusnya tidak seperti itu Pak, kita juga harus menghargai perasaan Hestia.” Namun, kepala sekolah naik pitam, ia menatapku, “ Hestia! Ayo katakan apa yang kamu mau?” Tanyanya dengan suara meninggi. Aku hanya bisa menangis, tak sanggup menjawab.

Melihat tindakan kepala sekolah, Romo kecewa dan membawaku keluar ruangan. Romo mengantarku menuju kelas, menenangkanku, “Yang kuat Hestia, tenangkan dirimu Nak! Yakinlah, Tuhan akan memberikan balasan yang setimpal kepada yang salah.”

Romo memelukku, membuatku sedikit tenang. Lalu, Romo menyuruhku untuk pulang ke rumah agar aku lebih tenang, “Pulanglah dulu nak! Urusan di sekolah biar Romo yang bertanggung jawab.”

Helna yang sedari tadi di dekatku menyahut, “Biar aku yang menemani Hestia pulang Romo.” Helna menghubungi supir pribadinya, menyuruh menjemput di depan gerbang sekolah, Romo menyetujui hal itu.

***

Beberapa tahun telah berlalu, aku telah lulus. Banyak hal telah kulewati, tapi tidak di sekolah yang namanya sangat baik itu. Aku tak sanggup melihat wajah Pak Hamidi. Mungkin ini yang dikatakan trauma. Menulis namanya saja dalam ceritaku, ingin rasanya kuhilangkan setiap huruf di keyboard yang membentuk kata “Hamidi”.

Awal masuk kuliah sebagai mahasiwa baru, rasanya sungguh sangat beda dibanding sekolah menengah. Sudah tertanam pada diriku untuk tak tampil mencolok. Berkaca pada pelecehan yang pernah kualami, aku tak mau jadi mangsa hewan liar kampus. Setiap harinya, aku masuk ke kampus hanya memakai kaos, kemeja, dan celana gombrang

Dengan perubahan seperti itu, Cakso yang memang satu kampus denganku, meski beda jurusan merasa bahwa aku aneh. Mengataiku seperti bunglon yang mengubah warna kulit agar terhindar dari predatornya. Mengapa tidak, penampilanku berantakan kalau mau ke kampus saja. Tapi, jika di rumah aku kembali jadi putri ayu Bali.

Dunia kampus memang menyenangkan, seperti tambang emas tapi bentuknya pengetahuan. Terlalu sempit untuk terjebak di ruang kuliahan dengan teori dosen tua, atau mendengar penjelasan kikuk dosen muda.

Aku lebih suka bertukar pikiran di pelataran, lapangan, halaman, atau di warung kopi. Diskusi tentang feminis, kapitalis, apatis, dan kesetaraan. Setidaknya, memberiku pandangan bagaimana seharusnya perempuan. Perempuan bukan tentang pajangan penarik konsumen di bursa penjualan, pun berdiri melayani di depan meja kasir atau jadi pagar ayu, otak borok koloni kapitalis. Harusnya, perempuan ibarat ratu lebah yang dihargai oleh lebah pekerja. Bukankah Induk singa betina bekerja sama dalam perburuan? Mempertahankan wilayah dan membela anak dengan singa pejantan. Bahkan hewan menjunjung kesetaraan melebihi manusia.

***

Tak terasa dan memang rasa waktu tak ada, kini telah penghujung 2020. Momen mencekik penghujung semester. Karir sebagai mahsaiswa harus ditangguhkan. Menggarap proyek besar skripsi untuk menyabet predikat wisuda.

Cakso mengambil start duluan, ia sedikit lagi jadi wisudawan. Satu tahun yang lalu ujian terberat bagi Cakso. Perusahaan Ayahnya jatuh bangkrut ditiipu rekan kerjanya. Karena itu Ayahnya sakit-sakitan. Ibunya yang melihat kondisi itu, pergi entah ke mana tanpa kabar. Ini adalah titik paling kritis bagi Cakso. Mungkin, itu alasan dia ingin cepat menyelesaikan tugas akhirnya. Segera pulang ke Bali merawat ayahnya, berbakti dan membalikkan keadaan.

Suatu malam, Cakso secara gamblang menceritakan kesialnnya. Ia ragu menghadapi ujian skripsinya. Katanya, yang jadi penguji Prof Koro Arbianto. Aku yang mendengar namanya saja sangat terkejut dan kasihan.

Entah cobaan apa lagi yang diberikan Tuhan pada sahabatku ini. Prof Koro Arbianto terkenal dengan julukan “penjagal sarjanawan”, dosen penguji yang sangat dihindari oleh  para mahasiswa semester usia lanjut. Banyak mahasiswa kalah perang olehnya, alhasil gagal sarjana.

Setelah perbincangan itu, beberapa hari kemudian kuperhatikan raut gelisah Cakso. Jalan ke sana ke mari, kupastikan ia panik karena skripsinya.

“Tenang Helna! Cukup fokus saja pada isi skripsimu, kalau kamu menguasainya semua akan baik-baik saja,” aku berusaha menenangkan.

“Ini sulit Hestia, yang kuhadapi Prof Koro loh. Kamu tahu sendiri kan dia bagaimana. Ini kesempatan terakhirku, belum lagi aku terus kepikiran dengan Ayahku.”

“Iya, yang sabar Helna. Aku harus melakukan apa agar bisa menenangkanmu?”

“Sudahlah! Aku mau keluar sebentar, jangan mengikutiku,  Aku butuh sendiri.”

Sudah hampir fajar, Helna tak kunjung pulang. Aku khawatir padanya. Belum sempat kubuka pintu niatku mencarinya, gagang pintu sudah lebih dulu bergerak. Nyatanya yang membuka pintu perempuan yang kucari. raut wajahnya sedikit pucat, mata sembab, serta senyum sendu. Entah apa yang telah terjadi padanya.

“Helna! Kamu baik-baik saja kan?” Tanyaku memastikan

“Iya, aku hanya butuh tidur.” 

“Serius? Ayo cerita padaku!”

“Tak terjadi apa-apa. Tolong Estia, aku hanya butuh tidur.”

Terlepas rasa penasaran apa yang terjadi pada Helna, aku hanya diam untuk menghormati keputusannya.

***

Senin, 16 Agustus. Hari ini kuanggap kado terbaik menjelang ulang tahunku, ujian sidang skripsi sahabatku berlangsung. Aku menemani Helna ke kampus menuju ruang sidang, memegang tangannya yang terasa dingin. Meski dia mencoba menipuku dengan wajah penuh keyakinan, aku tahu dia sangat gugup.

Menunggu di lobi ruangan, sudah satu jam sidang skripsinya dieksekusi. Aku mulai khawatir, dengan apa yang terjadi pada Helna sekarang. Lalu lalang di depan pintu. Akhirnya, terdengar suara gesekan tanda pintu terbuka, Helna yang berdiri tepat di hadapanku dengan jas hitam, berpadu kemeja putih, dan rok hitam di bawah lutut. Ia membentangkan selembar kertas hasil sidangnya, kubaca dengan teliti bertuliskan kata lulus di atasnya.

Aku melompat ke arahnya, memberikan pelukan dan meneteskan air mata. Bukan pada apa yang terjadi sekarang, aku teringat pada semua cobaan yang telah menimpa sahabatku ini.

***

Awal perjalanan hingga sampai di indekos, Cakso sedari tadi menangis, tangisnya terdengar pilu seakan ia teringat pada satu kejadian. Aku mulai berpikir yang tidak-tidak. Bukankah hari ini hari bahagianya setelah menyandang gelar sarjana?

“Helna, apa yang sebenarnya terjadi?” Aku memberanikan diri bertanya tapi tak ada jawaban.

“Helna! Helna!” Aku menggoyangkan tubuhnya, karena tak juga menjawab pertanyaanku.

“Prof Koro. Hestia, ini tentang Prof Koro.” Tiba-tiba Helna menyebut nama Prof Koro dengan suara keras. Ia Kembali menangis lebih keras dari sebelumnya. Aku bingung apa yang terjadinya.

“Aku menggadaikan tubuhku padanya Estia!” Cakso berteriak histeris.

Tidak, tidak, itu tidak mungkin. Helna pasti bercanda. Aku menatap tajam ke arahnya.

Mengapit wajahnya dengan kedua tanganku, hingga sejajar dengan wajahku. Entah mengapa air mataku menetes.

“Helna, kamu bohong kan? Kamu tak melakukan itu kan? Jawab aku Helna!” 

Helna hanya diam dengan tangisan yang ia tahan. Aku baru tersadar Helna tak sedang bercanda. Aku berusaha mengingat, berusaha menghubungkan setiap tingkah ganjil yang dilakukannya. Akhirnya, kupastikan itu terjadi di malam di mana dia ingin sendiri, menyambangi kediaman Prof Koro Arbianto.

“Anjing! Profesor anjing.”

Amarahku memuncak, ingin rasanya bergegas menuju kampus untuk meluapkan kekesalanku. Tapi Helna menghentikanku, menarik langkah kakiku sebelum kudapati pintu. Memohon sejadi-jadinya bersujud di hadapanku.

“Jangan Hestia, Kumohon jangan. Aku tahu hal ini akan terjadi jika kuberitahukan padamu. Tolong aku Hestia. Jangan buat aku sengsara terlalu lama, mengertilah dengan keadaanku. Aku tak mau kabar ini sampai ke telinga Ayahku. Kita akan membunuhnya. Kita akan membunuhnya. Aku mohon padamu Hestia, kita akan membunuhnya!”

Aku hanya bisa pasrah mendengar apa yang dikatakan Helna. Terduduk lemas, mengangkat sujud Helna hingga sejajar dengan posisiku. Aku hanya bisa memeluknya dan mengusap kepalanya. Tangisku sudah tak bersuara, namun air mataku menetes sendiri tanpa aba-aba. Esok hari ulang tahunku, kejutan ini tak kunanti, esok juga negara merasa merdeka. Haruskah aku kembali diam Tuhan? Puan Negara? Perempuan ciptaan Tuhan dengan kutukan mengikutinya terpaksa membungkam, hanya boleh bersuara lewat desahannya. Apakah aku salah atas semua yang telah ditimpakan padaku?

*Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Hukum Fakuktas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami