Oleh: Kaharuddin
Dalam buku Ethics, Aristoteles membahas secara sistematis tentang sejumlah prinsip yang bisa dijadikan dasar untuk mengatur perilaku.
Disebutkan di situ, bahwa yang baik adalah kebahagiaan, merupakan aktivitas jiwa. Aristoteles mengatakan bahwa Plato benar, ketika memilah jiwa menjadi dua bagian, yakni, rasional dan irasional.
Bagian irasional itu sendiri, ia bagi menjadi vegetatif dua, yaitu; Vegetatif (yang bahkan terdapat dalam tumbuh-tumbuhan), serta apetitif (yang terdapat pada semua binatang).
Bagian yang epetitif hingga derajat tertentu bisa rasional. Jika kebaikan yang ia cari sesuai dengan pertimbangan nalar.
Masalah ini sangat esensial dalam kaitannya dengan keutamaan. Sebab nalar itu sendiri, dalam filsafat Aristoteles bersifat kontemplatif sepenuhnya. Tanpa bantuan segi yang apetitif, tidak dapat mengarah pada kegiatan praktis apa pun.
Ada dua macam keutamaan, ialah intelektual dan moral. Berkaitan dengan dua bagian jiwa tadi. Keutamaan intelektual dihasilkan dari pengajaran. Keutamaan moral berasal dari kebiasaan.
Setiap keutamaan adalah suatu pertengahan di antara dua sisi yang masing-masing buruk. Ini dibuktikan dari pengujian terhadap berbagai keutamaan.
Keberanian adalah pertengahan antara sikap pengecut dan sikap ugal-ugalan. Kebebasan adalah antara sifat boros dan sifat kikir. Harga diri adalah antara kecongkakan dan kerendahan diri. Kelakar adalah antara sikap membadut dan sikap kasar. Kerendahan hati adalah antara sikap malu-malu dan sikap tak kenal malu.
Aristoteles mengatakan bahwa kejujuran ini adalah pertengahan antara kesombongan dan kesederhanaan semu. Tapi ini hanya sesuai untuk kejujuran pada diri seseorang.
Pendapat Aristoteles tentang persoalan-persoalan moral tak lain adalah pandangan konvensional pada zamannya.
Dalam sejumlah segi pandangan, berbeda dengan yang berlaku di zaman kita, terutama jika menyangkut beberapa bentuk norma bangsawan.
Kita berpendapat bahwa semua manusia setidaknya dalam teori etika, memiliki hak-hak setara. Bahwa keadilan bukanlah kesetaraan, namun pembagian hak, yang tidak selalu berarti kesetaraan.
Dalam hubungan yang tidak setara, hal itu dapat dibenarkan. Sebab setiap orang harus dicintai sesuai dengan kelebihannya.
Dalam perkawinan yang baik, laki-laki yang memimpin sesuai dengan kelebihannya. Tapi, dalam sekian hal yang lebih cocok bagi perempuan, maka laki-laki menyerahkan wewenang kepadanya.
Laki-laki tak seharusnya memimpin dalam bidang perempuan. Juga perempuan tak semestinya memimpin dalam bidang laki-laki. Seperti kadang yang terjadi ketika perempuan menjadi ahli waris yang menerima Kekayaan atau kekuasaan.
Manusia harus terus terang dalam menyatakan cinta dan benci. Sebab menyembunyikan perasaan, yakni mengesampingkan kebenaran karena takut pada pendapat orang, adalah watak seorang pengecut.
Aristoteles menganggap etika adalah cabang politik. Tidak mengherankan jika kita melihat dia, sesudah memberikan pujiannya pada rasa harga diri. Lantas menganggap monarki adalah bentuk pemerintahan terbaik, sedang aristokrasi adalah yang terbaik berikutnya.
Teori-teori etika dibagi menjadi dua golongan. Teori ini memandang keutamaan sebagai sarana atau tujuan. Aristoteles, secara garis besar mengemukakan pandangan bahwa keutamaan adalah sarana untuk mencapai tujuan, yakni kebahagiaan.
Pengertian keutamaan lainnya, di mana keutamaan itu termasuk dalam tujuan tindakan. Kebaikan manusia adalah aktivitas jiwa sesuai dengan keutamaan dalam kehidupan yang sempurna.
Saya kira maksud keutamaan adalah intelektual adalah tujuan, sedangkan keutamaan praktis hanyalah sarana.
Tugas pertama etika adalah mendefinisikan kebaikan. Bahwa keutamaan didefinisikan sebagai tindakan yang bisa menghasilkan kebaikan.
Aristoteles pun membahas apakah orang bisa bersahabat dengan dirinya sendiri? Ia menjawab bahwa hal ini hanya dimungkinkan jika ia adalah orang yang baik. Orang yang jahat biasanya membenci dirinya sendiri, namun dengan cara yang terhormat.
Sahabat bukan hanya diperlukan di kala susah, sebab orang yang berbahagia pun membutuhkan sahabat untuk berbagai kebahagiaan.
Tak seorang pun yang menginginkan dunia seluruhnya untuk dirinya sendirian, sebab manusia adalah insan politik dan mahluk yang sifatnya adalah hidup bersama orang lain.
*Penulis Merupakan Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar 2022