Kohati Ushuluddin Bahas Substansi dan Implementasi UU TPKS Melalui Webinar

Facebook
Twitter
WhatsApp
Salah satu peserta mengikuti webinar tentang Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diselenggarakan oleh Korps HMI Wati (Kohati) Komisariat Ushuluddin Filsafat dan Politik melalui aplikasi Zoom, Kamis (21/04/2022). | Foto: Istimewa

Washilah – Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disahkan menjadi undang-undang pada 12 April lalu. Di dalamnya, ada sembilan bentuk kekerasan seksual yang diatur. Di antaranya pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Pada Kamis (21/04/2022), Korps HMI Wati (Kohati) Komisariat Ushuluddin Filsafat dan Politik membahas substansi dan implementasi undang-undang tersebut pada webinar yang berlangsung melalui aplikasi Zoom. 

Webinar tersebut terbuka untuk umum dan menghadirkan dua pemateri. Pemateri pertama dari Koalisi Perempuan Indonesia Sulawesi Selatan, Haniah. Ia mengatakan, untuk mengimplementasikan segala sesuatu maka perlu tindakan yang jelas. Sama halnya dengan UU TPKS.

“Kita tidak perlu menunggu publikasi dari pemerintahan. Cukup kita sebagai orang yang sadar dan paham terkait hal-hal yang berhubungan dengan kekerasan seksual. Implementasinya dapat melalui tulisan. Kalau perlu dibukukan,” ujar Ketua Umum HMI Komisariat Ushuluddin Filsafat dan Politik periode 1998-1999 itu. 

Sementara itu, pemateri kedua yakni Kepala Divisi Perempuan, Anak dan Disabilitas LBH Makassar, Rezky Pratiwi. Dalam pemaparannya, ia menyinggung tentang hukuman restitusi, yang mana pelaku dibebankan untuk membayar kepada korban. 

Menurutnya, salah satu elemen penting dalam UU TPKS adalah bagaimana pemidanaan dengan hukuman restitusi 

“Terkait hukuman restitusi, sudah menjadi hak korban menerima uang dari pelaku, tetapi bukan berarti pelaku bebas dari hukum. Selain itu, sudah menjadi kewajiban pelaku untuk tetap terlibat dalam proses pemulihan korban,” tutur Pembela Umum di LBH Makassar itu.

Penulis: Astiti Nuryanti (Magang)

Editor: Jushuatul Amriadi

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami