Lingkungan dan Polusi Tirani

Facebook
Twitter
WhatsApp
Foto ilustrasi: Deretan gedung sekitar Monas yang disamarkan oleh polusi udara yang semakin memburuk.

Oleh: Charissa Azha Rasyid

Lingkungan dapat dimaknai secara luas, manusia bergantung padanya tetapi tidak serta merta ada hubungan timbal balik bahwa lingkungan pun butuh manusia. Manusia sebagai makhluk yang mendominasi bumi dengan jumlah populasi melebihi 7 milyar jiwa sangat bergantung pada lingkungan hidup. Sehingga adanya permasalahan lingkungan hidup akan sangat berdampak pada kualitas kehidupan makhluk hidup di dalamnya, baik dalam unsur abiotik sekalipun, tidak terkecuali manusia. Suatu fakta yang tidak dipungkiri juga, bahwa manusia yang mendominasi kerusakan pada Lingkungan.

Isu permasalahan lingkungan tidak muncul begitu saja. Permasalahan lingkungan umumnya disebabkan oleh kerusakan lingkungan akibat bencana alam serta pencemaran dan perusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas manusia, bisa dibilang manusia yang menciptakan kerusakan utama pada lingkungan dan merebaknya polusi tirani dimana-mana.

Takdir Rahmadi (2013: 1) menyatakan dalam berbagai litelatur masalah lingkungan hidup dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu pencemaran lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan secara salah (land misuse) dan pengurasan habis sumber daya alam (natural resource depeletion).

Negeri tirani kalaupun disebut seperti itu, memunculkan permasalahan lingkungan hidup yang dalam realitasnya yang tertulis dalam literatur benar ada dan terang faktanya, karena sebagai warga negara kita tidak buta dalam melihat masalah lingkungan. Hal ini terus menerus dilucuti oleh pemerintah maupun pengusaha, baik secara implisit atau eksplisit, maupun secara langsung atau tidak langsung.

Jika permasalahan lingkungan ini tidak dicari solusinya, maka keberlanjutan kehidupan manusia di bumi akan mengkhawatirkan. Hal ini dikarenakan alam menjadi sumber pemenuhan segala kebutuhan hidup manusia; penyedia udara, air, makanan, obat-obatan, estetika, dan lainnya.

Bentuk masalah lingkungan yang merantai tiga hubungan sekaligus, yaituu operasi pertambangan yang menimbulkan dampak polusi pencemaran di lingkungan hidup sekitar tambang, maupun polusi pola pikir tiranisme yang langsung tertuju pada pemilik usaha pertambangan dengan pemanfaatan lahan yang salah, dan pengurasan tak bertanggung jawab sumber daya alam mineral dan batu bara untuk pertambangan berkelanjutan.

Eksploitasi sumber daya alam besar-besaran dengan dalih atas nama pemenuhan kebutuhan manusia. Pemanfaatan sumber daya alam memang bukanlah hal yang dilarang karena bagaimanapun berbagai aspek kebutuhan kita dicukupi lewat kegiatan pemanfaatan sumber daya alam. Akan tetapi eksploitasi dan dominasi sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan yang ekstraktif, seperti tambang batu bara dan lain-lain berdampak pada degradasi ekologis.

Permasalahan lingkungan mulai muncul sejak 200 Masehi, sektor pertambangan dalam waktu ke waktu mengalami kemajuan dan peningkatan, dan bahkan perluasan yang merebah. Sektor Operasi Pertambangan yang dalam pelaksanaannya mengeruk kesejahteraan rakyat yang tanahnya terampas, perasaan aman tanpa mengkhawatirkan keluarga mengalami kecelakaan entah itu banjir/erosi/tenggelam akibat pertambangan, kelangsungan hidup sehat bebas polusi udara dan segala kekhawatiran lain pra, proses, dan pasca operasi pertambangan yang berakibat rusaknya tempat bernaung yang disebut lingkungan.

Pada abad ke 21 ini, permasalahan lingkungan tidak kunjung menurun. Justru permasalahan lingkungan menjadi semakin kompleks akibat berbagai kegiatan manusia yang menjadi sumber pencemaran dan perusakan lingkungan. Bahkan isu lingkungan masuk menjadi isu ekonomi politik internasional pada saat Conference on the Human Environment 1972 di Stockholm.

Persoalan di atas belum cukup untuk mewakili semua permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini. Meski begitu, terlihat gambaran seberapa seriusnya permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh sektor pertambangan sehingga perlu kita lakukan langkah pasti untuk menganggulanginya.

Berdasarkan data yang dihimpun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hingga 2019 luasan konsesi tambang di seluruh Indonesia mencapai 19.224.576 hektare. Sebanyak 77% dari luasan tersebut merupakan konsesi ilegal. Di mana perizinan mengenai pertambangan di Indonesia masih kurang digalakkan, seakan dinina bobokan oleh pemerintah melalui UU Minerba baru yaitu UU 3/2020 tentang Perubahan Atas UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juni 2020.

Revisi UU Minerba, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 dirasa belum menyentuh kepentingan luhur rayat Indonesia, sehingga diperlukan suatu stimulus baru dalam iklim pertambangan mineral dan batubara dengan mengedapankan otonomi daerah tanpa adanya conflict of interest. Selain itu, dalam rangka memperkuat regulasi hingga di daerah, diperlukan peraturan pelaksana yang jelas dan kuat sebagai tindak lanjut payung hukum yang ada untuk menghindari kerugian besar yang dialami, seperti kerusakan lingkungan hidup, keberpihakan kepada kehidupan sosisal masyarakat lokal, dan menindak tegas para pengusaha tambang yang nakal. Maka dari itu, UU Minerba yang ada saat ini perlu dilakukan kembali revisi demi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Hukum Semester V

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami