Hukum dalam Genggaman Tuannya

Facebook
Twitter
WhatsApp

Oleh: Fadillah Dharma Wijaya

Tulisan ini berusaha mengajak untuk melihat kembali bagaimana kesenjangan-kesenjangan dalam berhukum saat ini, hukum yang selalu di rasa alfa dalam kehidupan masyarakat, tidak lagi mengandung nilai-nilai keadilan dan kebahagiaan dan bagaimana hukum semestinya.

Hukum Sebagai Senjata Elit Politik

Dua tahun terakhir ini, Indonesia di warnai dengan berbagai kebijakan- kebijakan yang berkesan menyimpang dari nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan hukum, dimana keadilan menginginkan sama rata sama rasa dan kebutuhan yang proporsional dan kemanfaatan hukum menuntut hukum untuk bisa menjamin kebahagiaan dan kemakmuran dalam masyarakat.

Sehingga kebijakan-kebijakan tersebut di anggap tidak pro terhadap kepentingan rakyat melainkan memanjakan para elit politik. Misalnya yang paling kontroversial adalah RUU KPK dan OMNIBUS LAW yang menuai banyak protes dari berbagai kalangan masyarakat, tetapi tetap saja di berlakukan tanpa menghiraukan suara rakyat, ini menandakan bahwa penegak hukum telah lalai dalam mengakomodir keinginan rakyat.

Jual beli undang-undang seakan sudah menjadi euforia para elit politik untuk melancarkan kepentingannya, proses pembuatan undang-undang yang di pesan akan cepat di proses dan di pastikan lolos sesuai pesanan elit politik, ini menandakan bahwa lembaga legislatif yang berkedudukan sebagai wakil rakyat telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), inilah di sebut dengan perbuatan hukum yang melawan hukum, karena telah mencampur-adukkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan tugas karena telah meleburnya hubungan tugas, pertemanan, keluarga dan kelompok.

Dengan begitu sudah jelas bahwa hukum hukum bukan lagi untuk menjamin rasa keadilan dan kemanfaatan dalam masyarakat tetapi hanya di jadikan sebagai alat untuk melancarkan kepentingan-kepentingan dari kelompok elit politis. Bahkan sering juga di jadikan sebagai senjata untuk menakut-nakuti rakyat. Dengan itu, Hukum beralih fungsi sebagai kebahagiaan dan kemakmuran untuk para elit politik, bukan lagi sebagai kesejahteraan untuk rakyat.

Budaya Politik Indonesia dan Penghambaan Hukum

Sejak indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945 hingga sampai pada era reformasi saat ini, sistem pemerintahan indonesia mengalami empat fase perubahan yaitu sistem demokrasi liberal, kemudian masuk pada era orde lama berubah menjadi sistem demokrasi terpimpin, kemudian Soerkarno di lengserkan dan masuk pada orde baru dengan sistem demokrasi mengatasnamakan pancasila namun sangat otoriter, lalu yang terakhir hingga saat ini masuk pada era reformasi.

Dari proses panjang perubahan sistem pemerintahan indonesia dari awal kemerdekaan hingga saat ini, bukan tidak mungkin bahwa praktik-praktik politik pada masa orde baru masih menghegemoni sistem perpolitikan saat ini, karena manusia sejatinya memiliki hasrat untuk mendominasi dan berkuasa. Dari hasrat tersebut, ada potensi untuk menghasilkan pemerintahan yang otoriter.

Sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa budaya politik di indonesia acap kali menjadi penentu dalam pembentukan hukum, tidak salah jika politik yang di maksudkan adalah untuk kesejahteraan bersama, namun jika keluar dari itu maka praktik politiklah yang akan menentukan arah hukum tersebut disini lah terjadi penghambaan hukum terhadap politik.

Dalam kondisi seperti itu seharusnya hukumlah yang menentukan arah politik dan menghasilkan perpolitikan yang bersih. Sehingga para politisi kembali pada tujuan politik itu sendiri dan di indahkan lagi dengan nilai keadilan dan kebahagiaan yang mana itu adalah tujuan dari hukum.

Apa Yang Berlaku Dan Apa Yang Seharusnya

Indonesia adalah negara yang sering menjadikan aliran positivisme sebagai dasar dalam membuat hukum, yang hanya mengedepankan kepastian hukum saja tanpa mempertimbangkan nilai keadilan dan kemanfaatan dari hukum tersebut.

Praktik positivisme hukum tidak menginginkan hukum di pengaruhi oleh perasaan, kebahagiaan, dan keadilan, itu di konfirmasi oleh asas hukum “Lex dura, sed tamen scripta” yang kalau di artikan secara bebas “Hukum memang kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya”. Di tambah lagi Indonesia adalah penganut sistem hukum civil law yang menjadikan undang-undang sebagai sumber hukum yang paling utama, artinya kita lebih mengedepankan law in book bukan law in action, padahal keduanya harus jalan bergandengan.

Pengaruh dari positivisme ini menimbulkan anggapan dalam masyarakat bahwa memang hukum adalah sistem yang kejam, hukum tidak lagi hadir dalam masyarakat sebagai sebab dari kebahagiaan. Hukum sudah jauh dari norma yang tetap memperhatikan nilai kemanusiaan, dengan begitu tidak ada lagi kenyamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hukum.

Seharusnya hukum mampu untuk menjangkau masa depan, misalnya hakim dalam memberikan putusan kepada terpidana harus bisa menjamin kehidupan terpidana tersebut menjadi lebih baik kedepannya, dengan begitu di harapkan terpidana tersebut setelah menjalani proses hukum dapat berubah menjadi lebih baik. Tetapi dalam realitas putusan-putusan yang di berikan seakan-akan tidak lagi memberikan harapan kepada terpidana di masa depan, kadang pula menjerat dengan pasal-pasal yang seakan-akan menciderai nilai kemanusiaan.

Hukum semestinya mampu menghapus stigma-stigma dalam masyarakat bahwa terpidana bahwa ia adalah orang yang amoral, jahat, tidak berprilaku baik dan lain sebagainya, Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya stigma-stigma tersebut masih tetap melekat pada terpidana, bahkan setelah melewati proses pemasyarakatan pun, narapidana masih saja di framing sebagai orang yang tidak baik. Ini menggambarkan bahwa hukum yang berlaku saat ini masih sangat susah untuk mencapai tujuan dari hukum itu sendiri.

Dalam berhukum saya berikan sebuah pandangan, bahwa hukum mestinya seperti air. Sifatnya yang cair mampu untuk mengalir di setiap tempat, menjangkau tempat yang sulit di jangkau dan lebih mengutamakan tempat terendah. Artinya hukum konteks ini mampu menempati segala ruang dalam kehidupan masyarakat, mulai dari kelas bawah, menengah dan kelas atas, serta mampu untuk menyentuh setiap perspektif manusia bahwa memang hukum adalah sebuah kebutuhan untuk terus dapat melangsungkan kehidupan.

*Penulis Merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu hukum, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH). 

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami