Oleh: Mutmainnah S. Sabrah
Perpolitikan di Indonesia semakin memuncak, bahkan perpolitikan ini kadang dikesampingkan peran perempuan, mengapa demikian? Karena budaya patriarkis telah menguasai bumi pertiwi.
Di saat perempuan Indonesia dipuji karena keterampilan kampanye mereka (lihat Eva Bande dan para petani Kendeng, yang baru saja memenangkan Penghargaan Yap Thiem Hien karena mengorganisasi protes untuk melindungi lingkungan), masih sangat disayangkan bahwa peran perempuan dalam politik Indonesia tidak menunjukkan kemajuan berarti. Hal ini sudah dimulai sejak rezim Orde Baru Soeharto mengambil alih takhta Sukarno, politik yang didominasi oleh laki-laki.
Apa yang membuat ini menjadi titik yang sulit? Lihatlah masa sekarang, lalu lihat kembali pada sejarah.
Menurut data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Dana Kependudukan PBB (UNPF), jumlah perempuan di Indonesia adalah 132 juta jiwa, dari total populasi 265 juta jiwa, atau sekitar 50 persen, seperti yang diharapkan. Namun sejak jatuhnya Soeharto hingga Pemilu 2014, jumlah perempuan yang telah menjadi anggota parlemen tidak pernah mencapai 30 persen.
Peraturan telah dikeluarkan dengan harapan meningkatkan jumlah perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada tahun 2002, misalnya, Undang-Undang Nomor 31 tentang Partai Politik, dan, pada tahun 2003, Undang-Undang Nomor 12 tentang Pemilihan Umum, keduanya berupaya meningkatkan proporsi keterwakilan perempuan di parlemen.
Peraturan semacam itu telah membantu, tetapi dengan cara yang tidak merata.
Pada Pemilu 1999, perempuan menduduki 44 kursi di DPR, atau hanya 8,8 persen dari total. Proporsi ini meningkat menjadi 65 kursi pada pemilu 2004, meningkat menjadi 11,8 persen secara keseluruhan. Representasi perempuan tertinggi adalah setelah Pemilu 2009, dengan proporsi 17,9 persen. Sayangnya, antara tahun 2014-2019, pertumbuhan jumlah anggota perempuan terhenti—dan bahkan mundur dalam hal proporsi total, menjadi 97 dari 560, atau 17,3 persen.
Kurangnya representasi memiliki konsekuensi yang lebih luas. Rendahnya jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam parlemen juga memengaruhi prioritas dalam peraturan yang akan menguntungkan perempuan di masyarakat. Sayangnya, aktivis perempuan masih berjuang untuk mendorong DPR untuk meratifikasi RUU kekerasan seksual sebuah perjuangan penting dalam perang untuk mengakhiri unsur-unsur misoginis dari hukum Indonesia.
Tetapi bahkan RUU ini telah ditentang oleh perempuan Indonesia sendiri yang sejalan dengan kelompok ultra-konservatif. Dengan latar belakang meningkatnya fundamentalisme, populisme, dan militerisme di Indonesia, jelas masih banyak yang perlu dilakukan. Namun ada juga sejarah yang harus diatasi.
Pada tahun-tahun menjelang kemerdekaan, organisasi wanita di Indonesia berkembang setelah peluncuran Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pada tahun 1945.
Selama era Soekarno (1945–1966), wanita menjadi beberapa politisi terkemuka di partai politik. Perempuan seperti Kartini Kartaradjasa dan Supeni terkenal di Partai Nasional Indonesia (PNI). Walandauw adalah tokoh terkemuka di Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Mahmuda Mawardi dan Wachid Hasyim menonjol di Partai Nadhlatul Ulama, dan Salawati Daud adalah sosok wanita terkenal dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Namun, semua perempuan ini terpaksa menghilang ketika Soekarno jatuh akibat kudeta oleh Jenderal Soeharto.
Tanpa karya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah mendokumentasikan data dengan baik generasi milenial Indonesia tidak akan pernah memahami nasib generasi sebelumnya.
Soeharto berusaha menggantikan aktivisme politik perempuan dengan “organisasi perempuan” seperti Dharma Wanita, yang berfokus pada domestikasi dan feminitas. Perempuan dipindahkan dari panggung politik atau ruang publik dan didorong ke “dapur” selama beberapa dekade.
Namun, semangat gerakan perempuan bertahan di antara perempuan Indonesia, baik yang hidup di bawah penindasan Soeharto (khususnya di Jawa) maupun perempuan asli Indonesia.
Pada tahun 1980-an, organisasi wanita seperti Kalyanamitra Foundation dan Rifka Annisa muncul di Indonesia, yang menawarkan sedikit harapan.
Dan perlahan-lahan, para wanita pribumi di seluruh Indonesia ikut bermunculan. Beberapa nama pantas mendapat perhatian: Mama Yosepha Alomang (Papua Barat), Sukinah dan Gunarti (petani Kendeng), dan Aleta Baun. Banyak yang tidak tersentuh oleh “modernitas” orde baru—kebanyakan dari mereka tidak memiliki kewajiban untuk menghadiri Dharma Wanita. Perempuan pribumi di Papua Barat misalnya, sibuk berkebun, tumbuh dalam keluarga pribumi, dan belajar rahmat kesetaraan, alih-alih kemewahan yang seharusnya “modern” dan “berpendidikan baik”.
Mengikuti perkembangan ini, para perempuan Indonesia lainnya bekerja keras untuk secara bertahap mengubah budaya. Ini dimulai dengan perjuangan melawan pelecehan seksual di jalan, kemudian mengarah ke sesuatu yang lebih besar, seperti melawan perusahaan tambang emas terbesar di dunia.
Perempuan hanya dipandang sebagai ‘penggembira’. Lihat bagaimana kedua kandidat presiden kadang-kadang menggunakan istilah “the power of emak-emak“, namun mengagungkan “pemimpin kuat” yang ideal untuk memimpin negara.
“Emak-emak” direduksi menjadi hanya masalah membimbing laki-laki, masalah sehari-hari, dan pengasuhan anak. Mereka masih menempatkan perempuan di “dapur”.
Berita baiknya adalah bahwa politik tidak terbatas. Tidak ada pengukuran atau kuota yang menjamin masalah perempuan akan diprioritaskan. Karena bahkan ketika seorang wanita menjadi anggota parlemen, apakah itu berarti dia memiliki perspektif tentang masalah-masalah wanita?
Untuk saat ini, gerakan perempuan masih terfokus pada mempengaruhi masyarakat. Di masa depan, mungkin perempuan Indonesia tidak hanya akan menduduki lebih banyak kursi di parlemen, tetapi juga posisi strategis, seperti di Kementerian Pendidikan, Lingkungan, atau Pertahanan. Atau mungkin, seorang wanita akan memimpin komisi hak asasi manusia, serikat buruh, atau bahkan menjadi ulama terkemuka.
Selalu ada peluang bagi Indonesia untuk menciptakan suasana yang lebih baik bagi perempuan di seluruh Indonesia.
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), semester V.