Agama Kekuasaan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Sumber Ilustrasi: Sumedangekspress.com

Oleh: Al-kautsar Taufik

Tidak mudah bagi kita untuk menentukan pengertian agama, karena agama bersifat batiniah, subyektif, dan individualistis. Kalau kita membicarakan agama akan dipengaruhi oleh pandangan pribadi, juga dari pandangan agama yang kita anut. Kesulitan dalam mendefinisikan agama karena disebabkan oleh persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena itu tidak mengherankan jika secara internal muncul pendapat-pendapat yang secara apriori menyatakan bahwa agama tertentu saja sebagai satu-satunya agama samawi, meskipun dalam waktu yang bersamaan menyatakan bahwa agama samawi itu meliputi Islam, Kristen dan Yahudi.

Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia. Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan, definisi tentang apa yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktek agama juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan atau aspek lain dari budaya manusia. Agama juga mungkin mengandung mitologi. Kenapa kemudian agama dijadikan sebuah metode untuk menduduki kekuasaan, yah karena dengan pendekatan agama orang yang memiliki kepentingan bisa dengan mudah menstimuluskan tujuan mereka untuk sebuah kekuasaan. Unsur agama yang mengatasnamakan sebuah kebaikan, kedamaian, keadilan semua sudah tarmaktub dalam naskah agama, itulah kemudian kekuatan kekuasaan atau istilahnya politisi hari ini menggunakan langkah mereka dengan agama.

Jika kita meninjau kembali tentang kekuasaan yang digambarkan atau didefinisikan dari setiap agama, justru dalam agama menduduki sebuah kekuasaan itu tidak harus menggunakan sebuah dalih agama, karena dalam sebuah agama memiliki sanksi tersendiri ketika apa yang kita ucapkan kemudian kita ingkari maka sanksi tersebut langsung menerima kepada mereka yang ingkar. Sehingga agama mampu memiliki nilai krusial dalam pembentukan moral terkhusus moral dalam kekuasaan. Saya tidak akan berbicara kekuasaan dalam perspektif agama Islam karena saya beragama Islam dan saya tidak akan menjelaskan kekuasaan dalam Perspektif agama lain. Dalam agama Islam sebuah kekuasaan yang akan di pimpin satu orang (Khalifah), munculnya pemimpin yang memiliki kekuasaan tersebut tidak harus mencalonkan diri untuk kemudian mendeklarasikan dirinya untuk menjadi pimpinan tetapi masyarakat lah yang akan mendeklarasikan dirinya untuk layak menjadi seorang pemimpin (Khalifah), yang saya katakan tersebut gambaran singkat terkait kekuasaan dalam Islam dalam konteks sejarahnya. Ketika kita masuk dalam sebuah negara yang memiliki landasan hukum dan konstitusionalnya, contoh di Indonesia mendeklarasikan dirinya sebagai negara hukum yang termuat dalam konstitusi dan memiliki regulasi hukum yang mengatur tentang mekanisme kekuasaan.

Tak terbantahkan lagi bahwa negara kini telah menjadi makhluk yang paling raksasa, paling berkuasa di atas bumi.Tidak ada satu ruang kehidupan manusia yang tidak bisa diacak-acak oleh negara. Kalau hati orang beriman terpatri bahwa diatas manusia tidak ada instansi lain kecuali Tuhan, namun kenyataannya yang dirasakan manusia baik iman maupun kafir, diatas manusia yang secara riil ada dan benar-benar terasa adanya adalah maha instansi yang bernama negara. Dalam konteks ini negara semakin menjadi pemeran sifat kemahakuasaan Tuhan sebagai al- Mukhith yang Maha Meliputi.

Agama sebagai suatu lembaga cenderung mempunyai sejumlah kekuasaan dalam dirinya dan selalu terdapat suatu proses sosial dimana kekuasaan agama diperluas menjadi kekuasaan dunia, dan kekuasaan dunia diperluas kedalam daerah kekuasaan agama. Kedua proses ini disebut oleh Max Weber sebagai hierokrasi dan caesaropapisme. Persatuan kekuasaan politik dan agama sangat dimungkinkan dalam ajaran sosial yang tidak membedakan antara kekuasaan keduanya hubungan antara agama dan negara ditandai oleh persaingan diantara peran keimaman dan peran kenabian agama. Semakin banyak agama memainkan peran keimanan, maka semakin dekat agama itu kepada negara, dan semakin agama itu menjalankan peran kenabian, maka semakin kritis agama itu terhadap negara. setiap agama memiliki fungsi ganda sebagai suatu institusi sosial dan sebagai jalan kesempurnaan pribadi. Hubungan diantara keduanya bisa saling menunjang, tetapi juga bisa saling bertentangan bahkan saling merugikan. Peran sosial agama ditandai dengan fungsinya menjaga integrasi sosial, ketenangan, perkembangan dan kelanjutan reproduksi masyarakat, dengan menghindari kemungkinan terjadinya konflik yang membawa pada disintegrasi sosial. Sementara peran personal agama ditandai dengan fungsinya sebagai jalan bagi individu untuk mencapai kesempurnaan diri. Pada peran ini kadangkala agama melupakan peran yang pertama yakni mengabaikan dan merugikan peran sosialnya.

Negara sering menjadikan agama sebagai alat produksi guna menindas rakyat, menjustifikasi atas keputusan dan segala kebijakan yang tidak “populis” sekalipun dengan alasan-alasan ideologis sehingga masyarakat menjadi tak berdaya dibawah tekanan, hegemoni makhluk yang bernama negara. Semestinya agama tampil sebagai juru penyelamat atas ketertindasan manusia. Keberadaan agama dapat menjadi roh sekaligus inspirasi bagi demokratisasi. Terbukti kehadiran semua agama membawa imbas pada perombakan struktur masyarakat yang tercekam oleh kekuasaan despotik dan otoriter, menuju masyarakat baru yang demokratis. Namun, karena agama yang sering ditampilkan adalah agama atas nama kelompok, lembaga atau apapun namanya dengan kecenderungan kaum elit agama tersebut cenderung menjadi corong penguasa, maka jadilah agama pada akhirnya yang tidak memiliki kekuatan apa pun.

Seharusnya, agama menarik garis pisah yang jelas dari politik agar tidak terkooptasi dan disubordinasi. Ketika dikooptasi politik negara, agama hanya akan menjadi alat legitimasi penguasa. Agamapun akan membisu ketika ketidakadilan dan ketidakbenaran merajalela. Namun di sisi lain agama sebagai sebuah institusi dalam masyarakat, harus pula mengoreksi politik agar hakikat sejati politik tetap terpelihara.

*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga Islam (HKI) Fakultas Syariah dan Hukum, semester III.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami