Oleh : Epi Aresih Tansal
Menghitung detik… Rujab yang hening beberapa menit akan kembali gempita, seperti sore yang biasa, satu demi satu Reporter UKM LIMA datang dengan runyam kepala membawa masing-masing keluh, liputankah, tugas kuliah, beban revisi ataukah perkara urusan hati.
Jika sudah demikian, sendirinya tongkrongan sederhana kembali membentuk rupa, bersila diteras rumah sesekali menatap pemandangan langit yang diganggu kelemping kabel tiang listrik, dan sambil menyeruput nutrisari dingin digelas plastik, bila sedang musim akan ada kudapan mangga ditemani cocolan sambal kecap masako dan cabe rawit.
Hammock di ruang tamu yang hanya satu-satunya tiap waktu menjadi sengketa, bila ingin merebahkan badan sambil berayun malas, tipu muslihat harus dimainkan agar yang bersantai diatasnya segera enyah menyingkir, dan sigap mengganti posisi berbaring nyaman sambil tenggelam memainkan gawai.
Generasi layar sentuh dikenal dengan gelagak apatis tapi hiperaktif, contoh parsial diantaranya “derek koloni mabar,” yang selalu terlena dalam pertarungan jempol PUBG, Mobile Legend yang maya, melupakan dunianya yang nyata.
Bila dalam klan hewan generasi layar sentuh sedikit merip dengan amfibi (hidup di dua dunia), layaknya sama dengan generasi yang tumbuh bersama gawai layar sentuh, di dunia sebenarnya mereka disebut rakyat, bila sedang berselancar di jagat maya mereka disebut netizen.
Sebuah quote “maha benar netizen dengan segala komentarnya” dari beberapa kasus, power netizen bukan sesuatu hal yang dianggap ecek-ecek, baru-baru ini bos Xiomi Lei Jun habis habisan dibully netizen bar-bar sebab kedapatan menggunakan Apple iPhone, karakter netizen yang tensi ketusnya tinggi, tidak peduli dengan siapa sebenarnya yang dihadapi, buas mengejek siapa saja, predisen Trum juga pernah jadi bulan-bulanan.
Pada 2019 lalu sebuah film sex education, Dua Garis Biru yang disutradarai Gina S. Noer, yang sebelumnya mendulang sukses menggarap film Ayat-ayat Cinta (2008), Hari Untuk Amanda (2010), Posesif (2017), Kulari ke Pantai (2018), dan Keluarga Cemara (2018).
Dua Garis Biru Sempat dituding tidak pantas untuk di tonton, kontroversi di awal rilis dan promosi Juli 2019. Sejumlah pihak menilai film ini melegalkan kebebasan dalam berpacaran, sentuhan improvisasi film yang awalnya di tuduh mereduksi jalan cerita film Korea Selatan Jenny and Juno (2006) terbantahakan dengan respon penonton yang positif setelah penayangan perdana.
Respon pro-kontra atas film yang disinyalir sebagai sex education ini lagi-lagi tidak luput dari komentar netizen, para psikolog anak dan pemerhati anak dan perempuan paling terdepan memberi komentar, namun kali ini penulis mereview film ini berdasarkan komentar dari klannya sendiri.
Sengaja membawa pembaca terlebih dulu sedikit mengenal klan penulis yang mendahulukan nalar skeptisme menyoal film Dua Garis Biru ini, mengingat kehamilan di luar nikah adalah masalah yang terbilang proksimal oleh penulis dan klannya sebagai muda-mudi.
Semiotika yang dibungkus dengan narasi yang kuat dan padat, menjadikan film ini begitu berkesan dibenak para penonton, dikonfirmasi oleh liputan6.com Dua Garis Biru berhasil merangkul lebih dari178 ribu penonton, terbanyak kedua sepanjang tahun 2019.
Dua garis Biru tidak menjadikan Dara (Zara JKT48) dan Bima (Angga Yunanda) cerewet, banyak berdialog untuk menegaskan sebuha pesan, meskipun konflik dalam film ini adalah hal tabuh dalam budaya ketimuran yang sangat dominan sebagai pelanggaran norma sosial di masyarakat.
Cerita meluncur melalui semiotika yang bertebaran, hebatnya tidak membuat dahi penonton berkerut berpikir terlalu jauh tentang maksud pesannya, layaknya adegan buah stroberi yang hancur diblender, untuk sebuah pemaknaan yang sederhana.
Sang sutradara lagi-lagi membuktikan kepiawaiannya dalam berkarya, Gina mampu membuat semua karakter dalam frame tampil dengan kuat tanpa sosok figuran biasa, nampak pada adegan para tetangga Bima dengan jelas berhasil merepresentasikan kehidupan kaum urban, dimana dalam konteks pernikahan dini yang sering kali menjadi bulan-bulanan dan korban norma asusila dan agama.
Sikap Asri Welas yang dengan humornya berhasil menggambarkan sikap kebanyakan masyarakat Indonesia ketika mengetahui adanya kehamilan dini dilingkungannya. Kompleks dengan adegan keterlibatan orang tua Dara dan Bima yang berbeda strata sosial menghadapi sebuah masalah menjadi sentuhan yang sempurna, Cut Mini dan Arswendy Bening Swara sebagai orang tua Bima, serta Lulu Tobing dan Dwi Sasongko sebagai orang tua Dara.
Meskipun di klaim sebagai film sex education, sama sekali tidak ada adegan kesuraman yang serius dan berarti ditonjolkan saat Dara dan Bima melampaui batas sebagai sepasang kekasih, hebatnya persoalan serius ini, disajikan dengan warna-warna yang detail dan lembut,yang memberi pesan kepada penonton bahwasanya harapan itu selalu ada untuk memperbaiki, dan tidak ada yang bisa menghakimi masa depan dengan kesalahan fatal seseorang.
Menampilkan konflik rumah tangga dari pernikahan dini, saat Dara dan Bima sedang ribut membicarakan masa depan mereka, Bima memutuskan untuk meninggalkan Dara dan kembali kerumah orang tuanya, membawa penonton bergeming memikirkan posisi Dara dan Bima yang harus memulai sesuatu hal yang amat serius diumur yang belia, dengan melihat frame dan potret rumah tangga dari pernikahan dini yang belum siap dengan segala biduk permasalahan dan pengambilan keputusan.
Secara keseluruhan memberikan pesan-pesan tersurat dan tersirat untuk para penonton, kita dibuat terbawa dengan alur cerita dan konflik yang dialami para karakter, karena konfliknya sangat relate bagi remaja dan orang tua.
Terkadang ada pesan yang sulit disampaikan, dan hanya mampu dijelaskan dengan bahasa visual, Dua Garis Biru sukses menyampaikan pesan tersebut yang selama ini dianggap tabuh dalam konteks norma masyarakat kita, namun diawal telah diberitahukan bahwa film ini akan menuai review tersendiri dari penulis dan klannya.
Saat-saat kami mulai membuka browser dan mengetik keyword untuk menonton bersama, penekanan terpenting dan perlu adalah melepaskan terlebih dahulu kacamata moralis konservatif yang ketimuran, dan meyakini bahwa film ini adalah upaya pencegahan batasan hubungan yang sehat dalam menjalin hubungan, dan sebagai penyadaran bahwa pendidikan seks yang komprehensif teramat penting. Sebab pemahaman seks adalah hakikat dari perjalanan mengenal diri sebagai manusia.
Film yang menarik, dari segi konflik disajikan dengan luar biasa apik, namun setelah menonton, diantara kami banyak yang mulai berkomentar layaknya netizen yang sedang online di kolom komentar sosial media, satu demi satu mengeluarkan suara, film ini tidak sebegitu sukses dibagian resolusi konflik walau terakui mencapai sukses yang takjim di bagian klimaks.
Pada bagian anti klimaks di ceritakan pilihan Dara dan Bima setelah bayi mekeka lahir, orang tua Dara memberi pilihan bayi tersebut diadopsi tante dan om Dara, agar mereka bisa melanjutkan pendidikan, sedang orang tua Bima yang sama sekali tidak setuju dengan penawaran tersebut, dan meminta agar Adam (bayi Dara dan Bima) diasuh sendiri oleh keluarga mereka.Setelah melahirkan, Dara mengucap salam perpisahan kepada Bima dan bayinya di rumah sakit, yang sebentar lagi akan bertolak ke Soul Korea Selatan untuk melanjutkan pendidikan, hati miris melihat Dara yang sebegitu tega meninggalkan bayinya untuk sebuah ambisi.
Tongkrongan klan kembali membentu rupa, satu demi satu diantara kami mulai membahasakan isi kepala, bahwa sikap Dara tidak sepantas itu sebagai seoranag ibu muda, melimpahkan semua beban kepada Bima, dan dilain pihak suara yang membela alur cerita Dara yang melanjutkan pendidikan dianggap sah-sah saja “itu cita-cita” harus dikerjar.
Boleh dikata sebuah ending yang tidak disangka-sangka awalnya oleh penonton namun bila dibenturkan pada nilai nurani, Dara tidak seharunya meninggalkan bayinya dengan sebuah alasan impian, tanggung jawab menjadi orang tua bukan sekadar hamil sembilan bulan empat belas hari, namun perihal tanggung jawab seumur hidup, berbeda dengan ending cerita Jenny and Juno dimana Jenny memilih merawat bayinya.
Ada juga yang bersuara, ada sentuhan feminisme melihat alur cerita ini, dimana Dara tidak dikungkung oleh budaya patriarki yang lazim di masyarakat kita, sehubung penulis skrip dan sutradara film adalah seorang perempuan yang jelasnya wanita karier.
Banyol-banyol yang lain tumpah ruah mengomentari nasib Bima yang ditinggal bersama bayinya, harus mengubur impian melanjutkan sekolah dan banting tulang mengumpulkan rupiah untuk merawat dan mendidik sendiri sebagai orang tua tunggal.
*Penulis Merupakan Alumni Mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK).