Oleh: Syarifuddin
Setiap tahun kampus mengalami atmosfir berbeda. Tujuan akan mencapai gelar sarjana mencuat pesat. Siklus dari tahun ke tahun, ada ribuan mahasiswa baru dan ada ribuan mahasiswa yang sarjana. Kita terkadang menuntut orang lain atas ketidakberdayaan melampaui tuntutan zaman (Kapital).
Betapa peliknya terasa, senyuman atas pencapaian gelar itu bertahan selama beberapa hari, setelah itu tanya pun terus-terusan menyapa, di antara lamunan dan benak. Tertatih bertanya-tanya, “Kemana setelah ini?” Begitulah kebanyakan orang, kreatifitas membeku.
Tak ada waktu senggang untuk serius. Pemahaman menjadi manusia sukses sebatas final pada lembaran ijazah. Belum lagi tuntutan kurikulum. Kalau dilihat, memang sudah mendarah daging. Mulai dari pendahulu yang menjadi korban doktrinasi. Hakim-hakim telah diganti, sementara hukum-hukum masih dibeli. Betapa ganasnya zaman ini. Pejabat menyuarakan demokrasi. Namun, entahlah kenapa masih banyak kasus korupsi. Mengatasnamakan wakil rakyat mengaungkan kebebasan tapi justru berakhir penindasan.
Negeriku tertidur nyinyak dalam kamar dihiasi aneka lampu kepentingan dan asik dalam dunia mimpi. Negeriku bermimpi berlari di antara kepulan asap buku-buku yang dibakar dari hasil razia. Negeriku bermimpi seperti heroik memakai perisai dan senjata lengkap lalu membubarkan para demonstran.
Kemudian, Negeriku terbangun kaget oleh panasnya suhu perpolitikan para tim sukses. Kedua kalinya terbangun dengan wajah yang masih sama. Lalu ia mulai menggerakkan jutaan orang menuju gerbang kepegawaian. Dengan harapan untuk memberikan rakyat sebuah pekerjaan. Tapi nyatanya berbanding terbalik, justru itu adalah kegagalan yang cukup nyata kita saksikan.
Banyak kekecewaan, lapangan pekerjaan sangat kecil, sementara kebutuhan masyarakat membludak harus mereka penuhi. Sejatinya negeriku belum terbangun, tetapi negeriku telah dirasuki dan dikontrol oleh monster asing. Dari dulu Negeriku pun telah disetir, dikontrol seperti layaknya seorang pegawai.
Indonesia seperti sebuah kendaraan, tapi kita hanya dijadikan penumpang. Bahkan saat ban meletus, salah satu kita menjadi tukang tambal ban. Setelah itu Negeriku masih saja dikendalikan oleh asing. Negeriku ini kaya akan sumber daya alam. Parahnya lagi, kendaraan yang ditunggangi asing, itu memakai bahan bakar kita sendiri. Sekarang mari kita berfikir, untuk apa kita menjadi pegawai. Sejatinya bukan lagi pegawai negeri, tapi “Pegawainya pegawai.” Karena Negeri kita telah jadi pegawai atau lebih seksinya adalah “Budaknya pegawai.”
*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK).