Pengangkatan Sekjur UIN Alauddin Langgar Statuta

Facebook
Twitter
WhatsApp
Pelantika Ketua dan Sekretaris Jurusan di Gedung Auditorium Kampus II UIN Alauddin beberapa waktu lalu.

Washilah – Pelantikan Ketua dan Sekretaris Jurusan (Sekjur) se UIN Alauddin Makassar telah usai. Namun, pengangkatan sejumlah Sekjur dinilai cacat administrasi.

Pasalnya, pengangkatan Sekjur Periode 2019-2023 melanggar Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 20 Tahun 2014  tentang Statuta Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

Pada salinan Statuta pasal 53 PMA Nomor 20 Tahun 2014 menyebutkan persyaratan calon Ketua dan Sekjur diantaranya berstatus PNS, beragama Islam dan berakhlak mulia, berusia paling tinggi 60 tahun, lulusan paling rendah program Magister, memiliki jabatan fungsional paling rendah Lektor, berlatar belakang pendidikan sesuai dengan jurusan yang terkait dan bersedia dicalonkan.

Dari data yang di olah Lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang) Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Informasi Mahasiswa Alauddin (LIMA), terdapat dua pejabat di Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) yang diangkat melalui surat keputusan Dekan nomor 3248 tahun 2019 tidak memenuhi syarat sesuai  Statuta pada pasal 53 tentang persyaratan Ketua dan Sekretaris Jurusan.

Dua diantaranya pengangkatan Sekjur Hukum Ekonomi Syariah (HES), Muh Taufiq Amir MH yang melanggar pasal 53 huruf A tentang status Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan huruf E tentang jabatan fungsional Lektor, serta Sekjur Hukum Keluarga Islam (HKI) Dr Musyifikah Ilyas, melanggar pasal 53 huruf E.

Ketua Pansel FSH Istiqama MH, saat dikonfirmasi terkait hal itu, enggan memberikan keterangan. ‘’Saya tidak bisa bicara dulu, karena kalau ada apa-apa nanti saya jadi saksi, jadi saya tidak mau bicara dulu,’’ ujarnya saat ditemui di ruangan Ilmu Hukum FSH, Rabu (16/12/2019).

Pelanggaran serupa juga terjadi pada pengangkatan Sekjur Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik (FUFP). Pengangkatan Dr Dewi Anggraini melalui SK Dekan FUFP nomor 399 tahun 2019 melanggar pasal 52 PMA 2014 poin tiga.

“Ketua dan Sekretaris Jurusan dapat diangkat kembali dengan ketentuan
tidak boleh lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut,” bunyi pasal 52 poin tiga.

Diketahui Dr Anggariani telah menjabat selama dua periode sebagai Sekjur, namun tahun 2019 kembali dilantik menjadi Sekjur Sosiologi Agama untuk periode ketiga.

“Saya juga tidak tahu kenapa pimpinan tidak melakukan konfirmasi sama saya, sebelumnya sewaktu saya mau menjabat dua periode, setiap mau kita menjabat itu dikonfirmasi sama pimpinan,  apakah kita bersedia atau tidak,” terangnya saat ditemui diruangan kerjanya, Senin (14/10/2019).

Lebih lanjut ia mengaku telah mengajukan surat pengunduran diri secara tertulis pada Pimpinan FUFP, dengan harapan penempatan posisi sebagai Sekjur segera menemui solusi.

“Tapi saya telah mngunduran diri karena merasa bertentangan dengan PMA 20 Tahun 2014, kalau saya tidak bisa dipanggil yah dijawab dengan surat juga toh, selama belum ada surat balasan, saya tetap disini apa lagi ini jurusan saya tidak masalah saya bekerja membantu,” harapnya.

Pengangkatan Sekjur yang tidak sesuai PMA Nomor 20 Tahun 2014 menuai protes, salah satunya muncul dari alumni FSH UIN Alauddin Makassar, Abdillah Mustari.

“Sebagai alumni dan pengguna lulusan segera kulayangkan keberatan kepada dekan FSH pada tanggal 9 Oktober 2019 yang saat ini belum mendapatkan jawaban perihal itu,” katanya.

Ia juga menilai Statuta sebagai acuan pengelolaan dan penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi di lingkungan UIN Alauddin Makassar harus dijalankan.

“Bila hal ini terjadi, stakeholder Universitas atau kelompok masyarakat lain dapat mengajukan class action dan menuntut ganti rugi, semisal alumni merasa dirugikan oleh dekan yang tidak memenuhi syarat itu menandatangani ijazahnya,” bebernya.

Dari segi peraturan, gugatan class action di Indonesia dikenal sejak Undang-Undang (UU) nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Lalu juga di UU perlindungan konsumen dan UU Kehutanan yang terbit di tahun 1999, kata Panjul (Anonim) dosen pengampuh mata kuliah Hukum Administrasi Negara UIN Alauddin Makassar.

Gugatan class action sebagai suatu tata cara pengajuan gugatan,  yang mewakili  sekelompok orang yang jumlahnya banyak, dan memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang merasa haknya dirugikan oleh tindakan pengangkatan Sekjur yang dilakukan pimpinan Fakultas.

“Jadi jelas, gugatan class action ini bertujuan memudahkan akses masyarakat dalam memperoleh keadilan dan efisiensi penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan orang banyak,” jelasnya saat ditemui di ruangan Jurusan Ilmu Hukum lantai I FSH, Rabu (16/10).

Lebih lanjut Panjul menjelaskan dalam konteks pengangkatan Sekjur di FSH masuk kategori hukum Administrasi Negara.

Maka dari itu pimpinan idealnya melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas SK karena terdapat kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran atau penetapan Ketua dan Sekjur, dan kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan.

“Pengangkatan Sekjur masuk ke rana administrasi negara, ancaman pidana tidak ada, penyelesaiannya dicabut, tidak ada konsekuensi hukum, kecuali sudah diputus oleh pengadilan,” terang Panjul

Ia juga mengatakan jika Dekan tetap mempertahankan SK atas jabatan yang cacat hukum administrasi, maka masyarakat bisa menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Ombudsman.

“Tapi dasar keberatannya secara tertulis dulu ke pak Dekan, dalam waktu 21 hari jika tidak di tanggapi maka bisa diajukan ke  Ombudsman atau PTUN, jika keputusan dekan misalnya nomor sekian tentang pengangkatan kajur dan Sekjur itu di fatalkan di pengadilan, namun Dekan tetap tidak mau mengganti, nah itu bisa didenda, sekitar Rp 5.000.000,” tutupnya dengan nada suara rendah.

Penulis : Muhammad Fahrul Iras / Viviana Basri
Editor: Muhammad Aswan Syahrin

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami