Apa yang “Green Day” Sampaikan untuk Mahasiswa Humaniora!

Facebook
Twitter
WhatsApp
Dok Pribadi I Ma'ruf Nurhalis

Oleh : Ma’ruf Nurhalis

Memperoleh pengetahuan tidak cukup diawali keraguan. Lantas menghafal teori dari para pemikir besar lalu mengutipnya dalam berbagai kesempatan unjuk diri. Kita juga tidak jadi arif, suci hati dan hidup lurus dengan banyak membaca buku “tata cara ini, itu dan sebagainya.”Kita perlu mengalir seperti air, paling rendah dan terus merembes ke celah-celah terkecil. Menyelam ke dasar pengalaman. Merenungi tiap sunyi. Menghadapi ujian hidup yang hasilnya tidak ditentukan dari mapan atau kalah. Tapi “So make the best of this test and don’t ask why. It’s not a question but a lesson learned in time.” Ini kutipan dipinjam dari bait lagu Green Day berjudul Good Riddance Time of Your Life. Mereka berpesan “Kuharap kau menikmati hidupmu” untuk segala ujian hidup yang tak tertebak. Tapi bukan itu inti pesannya.

Kualitas pengetahuan tidak hanya tiba melalui kesan-kesan empiris atau mengumpulkan pengetahuan langit dengan menapaki tiap anak tangga argumen-argumen rasional. Tapi ada pengetahuan yang secara platonis membuat kita “rasanya saya sudah tahu sebelumnya” kita lalu mengangguk, takjub dan paham. Begitu juga perolehan pengetahuan aristotelian akan “penggerak yang tidak digerakkan” tidak datang dari rentetan perdebatan kosmologis saja, apalagi dari forum dialog ketuhanan yang berlangsung semalam suntuk. Pengetahuan tentang-Nya diawali dari kesadaran untuk bertanya terus menerus kepada diri sendiri “apa yang menggerakkan apa?” Hasilnya akan menuntun kita kepada percakapan abadi. Percakapan yang terjadi bila telah diam dari kata.

Sekarang, apakah riuh-rendah kehidupan universitas pernah membuat kita diam dari kata? Sayangnya tidak. Sistem pendidikan universitas membuat alam pikiran kita penuh berhala-berhala non-ilmiah. Berhala paling ribut adalah berhala panggung. Berhala pencipta mitos “Jika kita tidak ambil bagian kita bukan siapa-siapa.” Sebenarnya ada empat macam berhala pengetahuan, bila kita peduli untuk tahu. Ini dapat kita pahami dari Novum Organum, karya Francis Bacon, tapi tidak akan kita jelaskan di sini. Dengan metode induktif, Francis Bacon mendidik para pembelajar alam untuk terhindar dari berhala-berhala yang menyesatkan. Tentu saja semangat ilmiah Francis Bacon sebaiknya ada di dalam sistem pendidikan universitas. Namun sebaliknya, universitas justru menjadi penyebar wabah berhala-berhala secara dogmatis. Para mahasiswa terjebak pada kegiatan berpikir menumpu kepada ini dan itu tanpa perkakas analisa kritis. Sialnya tumpuan kita lebih banyak mengarah kepada mereka yang lihai menguasai panggung. Sampai menganggap mereka sakti. Semua yang mereka katakan pasti benar.

Alih-alih mengalami percakapan abadi, merenung sebagai kegiatan falsafati saja telah diidentikan dengan kelambanan, tidak produktif, kegiatannya para pemalas. Universitas tidak mendidik kita tumbuh sebagai perenung hayat zaman. Tetapi dipaksa utuh sebagai saudagar. Mata kuliah “kewirausahaan” bahkan telah terprogram ke dalam kurikulum Jurusan Filsafat. Baik memang untuk satu tujuan tertentu. Tetapi Jurusan Filsafat seharusnya menjadi lembaga pendidikan yang bertujuan mendidik calon-calon pemikir. Lembaga pendidikan ini melindungi mahasiswa-mahasiswa filsafat dari keinginan untuk bekerja sebagai saudagar. Mungkin juga sebaliknya, lembaga pendidikan filsafat harus melindungi korporasi dari para pemikir yang tidak bakal suka duduk penuh waktu membaca sintaksis memo-memo kantor.

Kasihan sekali jika para pemikir yang cemerlang itu meredupkan bakatnya. Membuat pikirannya sesat dengan berbagai jenis kesesatan berpikir hanya karena persoalan “Kerja apa setelah sarjana?” Tapi tak perlu mengucapkan belasungkawa, sebab tidak hanya jurusan filsafat, seluruh fakultas humaniora telah dijejali berbagai pengetahuan-pengetahuan tentang tata cara mengumpulkan modal ekonomis.

Pucuk tertinggi perguruan tinggi saja bahkan menjadi pencipta mitos yang mendukung penanaman struktur ketakutan. Mahasiswa-mahasiswa humaniora lalu terperangkap pada “Doxa”. Tak perlu melihat mereka memprotes kebijakan presiden. Tak perlu mendorong mereka bersikap kritis terhadap kebijakan universitas. Bersikap kritis kepada dosen yang berlagak tahu segalanya saja sudah takut. Takut bila nilainya error, takut tidak dapat memperoleh pujian-pujian, takut tidak memperoleh predikat cum laude dan takut membebani orang tua. Bayangkan saja jika ketakutan itu terus menggandakan diri dalam pikirannya. Apa yang mereka susun sebagai karya tulis ilmiah? Plagiasi tentu, oh itu mudah saja, sebab sudah jadi keahliannya.

Sulit untuk mengatakan tidak. Bila seseorang menyebut dengan wajah menyebalkan bahwa sistem pendidikan universitas adalah sistem korporasi. Sebab “semakin banyak proyek, semakin sedikit berpikir itu lebih baik” menjadi peristiwa kampus sehari-sehari. Betul kan? Itu didukung pula oleh Frank Donoghue yang menulis The Last Professors, The Corporate University and The Fate of The Humanities. Buku ini tak kurang menyebut bahwa posisi profesor hanyalah kerja pertunjukan akademik. Kehormatannya sekedar jabatan terbatas. Teori yang mereka ciptakan hanya laku sebab otoritatif yang diciptakan pasar. Mati betul itu kepakaran. Frank Donoghue lanjut menulis, bila terus menerus melakonkan kepentingan ekonomis, universitas akan kehilangan tiang fundamentalnya, yaitu profesor. Resikonya, dinamisasi pertukaran pengetahuan dalam setiap perkuliahan didisiplinkan oleh citra guru besar. Hanya sekedar citra. Tidak pernah benar-benar hadir. Tidak pernah betul-betul ada guru besar.

Omong kosong itu sikap halus, keluhuran budi, kehormatan diri. Sebab untuk melewati ujian akademik kita bersikap curang. Menjadi pakar ilmu humaniora, menjadi gemar sastra, pencinta kebijaksanaan, sikap sadar untuk menjalani kewajiban runtuh oleh persaingan pasar. Sebabnya yang dimajukan lembaga perguruan tinggi adalah mereka yang bekerja keras dengan segala cara untuk dapat menduduki pucuk kelas sosial.

Sungguh menyedihkan memang, sebab gejalanya telah menyebar hingga menjadi motorik berpikir sesat. Semakin sedikit mahasiswa humaniora yang masih punya cukup kehormatan untuk tidak tunduk dengan dosennya saat bersalaman. Tidak bersikap lembek saat berhadapan dengan kebodohan. Yang cukup bersikap kesatria untuk terus maju sebab melayani kebenaran.

Betul juga bila memang bangsa penghayat zaman digulirkan. Orang-orang kini, lebih suka jika yang muncul sebagai lapisan atas masyarakat adalah mereka para saudagar yang tak suka sastra dan filsafat. Mereka yang membenci kelambanan. Mereka yang suka merias wajah. Gemar memotong pikiran dan mengedepankan tampilan. Mereka ramai memproduksi bahasa parole yang bunyinya mudah ditiru Burung Beo. Mereka yang gemar tidur dipeluk kemakmuran duniawi. Mereka yang selalu ingin keringatnya dibasuh penghormatan tapi tata etika tepat di bawah alas kakinya.

Oh kawan “ It’s something unpredictable, but in the end it’s right.” Kuharap kau bisa menikmati hidupmu sebagai perenung hayat zaman di antara manusia-manusia berwajah ganda. “Waktu akan menggenggam tanganmu. Menunjukkanmu jalan kemana kau harus pergi.” Inilah lantunan Green Day bagi para punk, Idiot Fans juga mahasiswa humaniora.

Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat Islam Semester X Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik.

 

 

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami