Aksi Simbolik: Dukungan Kepada Korban KS dan Kecaman Kepada Kampus

Facebook
Twitter
WhatsApp
Aksi simbolik yang mereka lakukan di depan pintu I UIN Alauddin, serupa dengan aksi diam. Hanya petaka dan lilin, tanpa orasi. Kamis, (20/6/24). | Foto: Washilah - Rahmat Rizki

Washilah – Bakunin dan teman-temannya menyulut api pada lilin, berdiri membentangkan petaka. Mereka mengecam kampus yang dianggap “tak bertanggungjawab” pada kasus kekerasan seksual.

Malam itu, Kamis, 20 Juni 2024. Sekitar pukul 20.00, jalan Sultan Alauddin atau yang sering disebut jalan “depan kampus” masih ramai dilalui kendaraan. Di tengah riuh rendah kendaraan yang melintas, sembilan orang mahasiswa-mahasiswi yang tak ingin disebut namanya, mengecam kampus lewat aksi simbolik yang mereka lakukan di depan pintu I UIN Alauddin Makassar.

Kecaman yang mereka maksud tertulis dalam empat kertas yang dibentangkan selama aksi simbolik itu berlangsung, “PSGA tidak bertanggungjawab”, “UINAM tidak ramah gender”, “Adili pelaku KS!” dan “Jangan bungkam korban KS”.

Seusai dibentangkan, petaka dan lilin diletakkan ke tanah, lalu mereka mengelilinginya sampai lilin itu habis terbakar. | Foto: Washilah – Rahmat Rizki

Setelah lilin-lilin dinyalakan, aksi simbolik itu pun berlangsung sekitar 30 menit. Mereka berdiri berdampingan menghadap ke arah jalan Sultan Alauddin sembari membentangkan petaka di dada dan menggenggam lilin.

Mereka diam dalam riuhnya Samata malam itu. Mereka membisu menunggu api melelehkan lilin lalu menetes di tangan. Sebelum lilin-lilin itu tandas dilahap api, mereka menaruh petaka ke tanah, diikuti lilin yang tersisa ditaruh di atasnya. Tak butuh waktu lama hingga petaka yang berisi kecaman itu habis dilahap api dan jadi abu.

Selanjutnya, dua dari sembilan massa aksi simbolik itu menyampaikan sikap peryataan mereka. Diwakili oleh Bakunin (bukan nama sebenarnya) dan Marie (bukan nama sebenarnya). Bakunin mengawalinya, dengan mengatakan aksi simbolik yang dilakukan adalah bentuk dukungan terhadap korban dan kecaman kepada pihak Universitas, yaitu UIN Alauddin.

“Sebagai bentuk kecaman terhadap pihak Universitas yang sampai hari ini tidak bertanggungjawab terhadap kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkungan kampus,” ucap Bakunin.

Mereka meminta PSGA untuk melakukan penanganan dan pendampingan kasus KS dengan serius. | Foto: Washilah – Rahmat Rizki

Selain itu, Bakunin juga bilang, bahwa aksi yang mereka lakukan malam itu merupakan buntut ketidak seriusan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) dalam menanggapi korban kekerasan seksual yang terjadi di kampus.

“Kami lihat, PSGA tidak berani mengambil alih atau menindaklanjuti apa yang terjadi pada korban dan cenderung lepas tanggungjawab dengan alasan-alasan yang kami anggap irasional,” tegasnya.

Dalam aksi simbolik malam itu, Bakunin dan teman-temannya bersolidaritas terhadap semua korban kekerasan seksual untuk terus menjemput “keadilan” di tengah-tengah masyarakat yang dianggap “Patriarki”.

“Perlawanan kami adalah upaya untuk mengangkat derajat korban menjadi penyintas yang kedepannya tidak ada lagi kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi, juga intervensi dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab terhadap keamanan melanjutkan studi dan berekspresi terhadap perempuan”.

“Maka, apalah makna citra kampus yang unggul, tetapi tidak melindungi mahasiswinya dalam melanjutkan studi dengan rasa aman dan nyaman,” tutupnya.

Bakunin telah selesai, selanjutnya adalah Marie, salah satu perempuan yang ikut bersolidaritas terhadap para korban kekerasan seksual. Dalam pernyataannya, Marie mengakui tentang regulasi atau Standard Operating Procedure (SOP) yang digunakan oleh PSGA sudah cukup ideal untuk melindungi para korban kekerasan seksual. Meski begitu, perlindungan dan pendampingan yang seharusnya ada, malah tak berjalan dengan semestinya.

Menurut mereka, korban KS tak direspon serius oleh kampus. | Foto: Washilah – Rahmat Rizki

“Tapi begitulah, lagi dan lagi. Ketika pihak PSGA sudah dihadapkan sama birokrasi kampus, sudah dihadapkan sama pihak-pihak rektorat, dia seolah tutup mata, tutup telinga dan lepas tangan persoalan ini,” ucap Marie.

Kendati demikian, Marie yang juga merupakan perempuan—kaum rentan—berpesan kepada kampus agar tak lagi bersikap acuh tak acuh terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi, sehingga ruang aman dan nyaman untuk seluruh sivitas kampus dapat terwujud.

“Walaupun kita kampus Islam, tapi dari data yang ada, ternyata kasus kekerasan seksual juga tetap ada sekalipun berlabel Islam,” jelasnya.

 

Penulis: Rahmat Rizki

Editor: Sriwahyuni

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami