Washilah – “Apalagi ini? Mengapa Sinrili Tuanta Salamaka diganti dengan alunan rock and roll? Mengapa genrang bulo diubah menjadi tabuhan ibanez? Mengapa aru taburania berubah kata su*d*la, k*ng*ong, t*mp*lo yang menyedihkan?”
Teriak dua perempuan berbaju bodo mempertanyakan hal-hal yang berubah di sekitarnya.
Penonton diam membisu, duduk takzim menyimak apa yang mereka ucapkan, sorotan lampu benar-benar hanya berfokus kepada mereka.
“Perawan desa ditelanjangi di tengah Kota. Pemuda-pemuda kerjanya mabuk dan berzina. Lalu pantaskah Mangkasara’ku menyandang gelar Kota Daeng?”
Kalimat itu seperti cambukan yang tembus menghantam ulu hati, mengingat diri yang telah jauh pada budaya leluhur, budaya yang mengajarkan kesopanan nilai moral dan etika kini perlahan menghilang dari masyarakat.
“Tak lagi terdengar alunan suci, tak kutemui lagi makna pasang toa a’bulo sibatang hanyalah dongeng kaum kafir, kota budaya kini menjadi kota setan. Zamanku tak tahu esok akan jadi apa”.
Perempuan itu bersuara lantang di hadapan manusia-manusia yang diam membisu, tak tahu apa yang mereka pikirkan, apakah benar-benar menghayati atau memang tak berminat untuk mengganggu acara.
Inilah pementasan musikalisasi puisi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Alauddin Makassar.
Festival yang digelar angkatan 2022 jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam ini berlangsung di Aula SMKN 2 Gowa, Sungguminasa, Minggu (29/10/2023).
Pementasan Musikalisasi puisi bertajuk “Mangkasara’ku” tersebut berlangsung dengan meriah dan menggugah kagum penonton.
Salah satu anggota Musikalisasi puisi, Melsa Nuralisa menuturkan terdapat pesan penting yang ingin disampaikan dalam puisi tersebut.
“Secara pribadi pesan yang ingin disampaikan kepada para kesadaran untuk mempertahankan kebudayaan para leluhur agar tidak punah oleh sifat dan perilaku yang tidak baik,” ucapnya.
Penulis: Nur Rahma Hidayah (Magang)
Editor: Nabila Rayhan