Menjinakkan Matahari dengan Doa

Facebook
Twitter
WhatsApp
Menjinakkan Matahari dengan Doa l Foto Ilustrasi : Antara - Wahdi Setiawan.

Oleh: Rahmat Rizki

Rumput-rumput di taman berwarna kuning mengering, padahal sebulan lalu mereka tampak segar berseri. Genangan air menguap tak tersisa, jalan berbatu semakin tandus, matahari kian kejam menyengat. Tak ada ampun kali ini, siapa yang bisa menundukkan matahari?

Siapa saja, tolong tenangkan udara panas ini, aku punya segunung selotip, ambil saja semuanya, mungkin bisa untuk menambal ozone yang bolong di atas sana.

Jika selotipku tak bisa, ambil saja segudang teripleks yang ku timbun di ujung utara sebelum mereka disulap rumah. Cepat, tak ada waktu lagi. Keran keringatku mengucur deras.

Hotman Paris, Jokowi, Putin, Raja-Raja, penguasa, kartel narkoba, siapa saja, tolong. Tak akan ada lagi pengacara jika matahari membakar segalanya, Jokowi tak bisa mengapungkan pulau jawa dan teman-temannya jika Putin tak bisa menghentikan panas yang mencairkan gunung-gunung es dalam teritorinya. Tak akan ada narkoba jika semua tumbuhan mulai tumbang. Lalu siapa yang dapat menolong kita?

Tuhan. Betul, saya masih punya Tuhan jika semua cecunguk itu tak mampu. Saya akan duduk bersembah di dalam bangunan yang sejuk, mesin pendingin menggantung di langit-langit, lampu-lampu menerangi setiap sisi, terang seperti matahari di luar sana. Bangunan yang sempurna untuk mengirim doa-doaku.

Mataku tertutup erat, pikiranku terbang menyentuh langit.

“Kau sedang apa?”

Sayup-sayup pertanyaan menyentuh telingaku, siapa itu? Mataku terbuka mencari sumber suara. Tak ada seorang pun, mungkin hanya setan Atheis yang tak tahu menyembah tuhan.

Bodoh sekali setan itu tak tahu apa yang sedang ku lakukan, aku sedang meminta pertolongan pada Tuhan, aku adalah perantara penolong kalian dari kejamnya matahari yang tak punya kasih.

“Bodoh, kau berdoa sambil membuat kerusakan, berapa banyak batu bara yang dikeruk untuk menerangimu dalam rumah megah itu?”

Pertanyaan macam apa ini? Tak tahu kah kau cara tuk bertanya, apa hubunganya dengan diriku yang hanya meminta pertolongan pada Tuhanku?

“Kau tahu? Matahari akan semakin menyala dan kejam sewaktu lampu dan pendingin udaramu terus menyala. Berapa banyak pohon-pohon yang telah kau tebang untuk membangun perkotaan? Tanah tempat pohon tumbuh tak lagi tersisa, diisi padi dan gandum.Berapa dalam tanah yang kau keruk untuk membangun peradaban cerdasmu? Berapa banyak varietas tanaman dan fauna yang kau usik? Mereka meregang nyawa, kau pencipta ketidakseimbangan, kau pencipta genosida bahkan untuk kaummu sendiri, demi kekuasaan, demi kekayaan, demi kepuasan, demi dan demi, banyak, banyak, terlalu banyak hingga kau sendiri buta tak punya mata untuk melihat ulahmu dan menyalahkan yang bukan dirimu. Kambing hitamkan saja semuanya, setan, pemabuk, pelacur, pembunuh, koruptor, dan orang-orang tak ber-Tuhan. Lalu apa gunanya surga dan neraka jika kau dan semuanya sama saja? Perusak yang tak tahu diri. Sekarang kau baru sadar tumpukan uangmu tak bisa membujuk matahari.”

Setan itu mengoceh entah dari mana, telingaku memerah mendengar semuanya, sok tahu sekali setan itu.

Kau tahu apa? Kuasa Tuhan lebih dari segalanya. Tunggu saja, sehabis tanganku melayang di udara menyembah dan memohon, semuanya pasti baik-baik saja. Matahari dan panasnya tak akan berkutik di tangan Tuhan.

*Penulis merupakan Mahasiswa Semester VI Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Alauddin Makassar.

 

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami