Perbudakan Klasik VS Perbudakan Modern

Facebook
Twitter
WhatsApp
Perbudakan Klasik VS Perbudakan Modern. | Ilustrasi : kantorberitaburuh.com

Oleh : Ibnu Azka

Kata budak sudah dikenal sejak dahulu kala oleh manusia, beribu tahun yang lalu fenomena perbudakan menjadi bagian dari sejarah umat manusia. Upaya untuk menguasai dan merampas kebebasan individu untuk kepentingan pribadi dikenal dengan perbudakan. Quraish Shihab mengatakan bahwa perbudakan adalah suatu keadaan yang ada pada manusia, bahkan sebelum agama Islam datang. Perbudakan menjadi bagian dari sistem kehidupan manusia dari masa ke masa. 

Istilah perbudakan klasik dikenal dengan eksploitasi budak dengan mengerjakan apa saja yang dikehendaki oleh majikan. Misalnya, memperkerjakan manusia tanpa imbalan, mendirikan bangunan, menggali selokan, berkebun, yang dilakukan secara kejam oleh mereka yang berkuasa atas budak tersebut. 

Salah satu negara yang pernah melakukan praktik perbudakan adalah Mesir, negara tersebut cukup terkenal dalam praktik perbudakannya, budak-budak saat itu dipaksa bekerja untuk membangun piramid, kuil, istana dan lainnya. Pada abad ke 10 bangsa Yunani dan Romawi juga dikenal dengan sistem perbudakannya, banyak budak yang pada saat itu bekerja di pertambangan, jalanan, pabrik, jembatan dan banyak lagi.

Ada banyak faktor yang menyebabkan pada saat itu manusia menjadi budak, di antaranya kemiskinan, tawanan perang, keturunan, penculikan, balas dendam sampai pada jual beli budak. Perbudakan klasik yang kita kenal dengan kekerasan secara fisik tersebut masih saja terjadi di era modern ini. Lantas apa yang membedakan antara perbudakan klasik dan modern? Penulis mencoba mendiskusikan praktek perbudakan klasik dan modern dengan tinjauan historis realistis ditengah gempuran perkembangan teknologi dan informasi. Perbudakan klasik secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah masa di mana sistem perbudakan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan tidak dipandang sebagai sebuah kejahatan. Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai negara kemudian mulai menghapus praktik perbudakan melalui lembaga PBB. 

Negara-negara telah sepakat meratifikasi konvensi perbudakan pada tahun 1926 sebagai salah satu komitmen untuk melawan praktik perbudakan dan menghapusnya dalam tatanan kehidupan sosial, sehingga manusia kini dapat menjalankan kehidupannya tanpa intervensi manusia lain dengan menikmati hak asasinya yang dilindungi oleh hukum Internasional. 

Namun, kendati praktik perbudakan sudah dihapuskan, praktik perbudakan masih saja terjadi di era ini yang dikenal dengan istilah perbudakan modern. Perbudakan modern dikenal dengan eksploitasi hak-hak manusia dalam bentuk yang berbeda, misalnya kawin paksa, pelecehan seksual, budak seks, pengemis, pengedar narkoba, perdagangan manusia dan lainnya. Hal yang mendasar yang membedakan antara perbudakan klasik dan modern yakni pada perlindungan hak asasinya. Walaupun regulasi terkait perbudakan telah ditetapkan baik secara nasional maupun internasional, praktik perbudakan tetap saja mewarnai lanskap peradaban manusia.

Selain kedua istilah perbudakan tersebut, ada hal yang sangat krusial yang menyebabkan praktik perbudakan telah ditransmisikan oleh laju perkembangan teknologi dan informasi. Jika dahulu perbudakan kental akan kekerasan fisik secara langsung (direct violence), abad 21 ini justru menjadikan banyak manusia menjadi budak-budak teknologi tanpa sentuhan fisik oleh manusia lain. Majikannya bukan manusia lagi, melainkan teknologi itu sendiri. 

Menurut analisa Christian Fuchs, seorang Sosiolog Austria mengatakan bahwa media sosial menjadi ruang eksploitasi jenis baru yang ia sebut sebagai budak digital. Perkembangan teknologi dengan melahirkan media sosial sebagai wadah berinteraksi ternyata menyimpan sisi yang sangat buruk terhadap pola perbudakan era ini, bagaimana tidak, kebebasan berekpresi dan imajinasi di dunia maya sejalan dengan keterbelengguan hak-hak yang secara utuh merampas kebebasan beserta kehormatan manusia. Segala aib dipertontonkan, cacian, fitnah sampai pada sumpah serapah berbaris rapih di kolom komentar media sosial umat manusia saat ini. 

Lebih dari itu, perbudakan post-modern lainnya terlihat dengan munculnya beragam aplikasi, salah satunya Tiktok, wajah-wajah perbudakan semakin nyata tatkala melihat orang-orang berbondong melakukan live streaming dengan menjajakan dirinya untuk diperintah apa saja demi mendapatkan gift (hadiah, koin, dan sebagainya). 

Fenomena perbudakan teknologi itu seolah menjadi sebuah wahana hiburan tanpa memperdulikan harga diri. Mandi lumpur, berpose di toilet, joget pargoy, menyiram diri di air sungai tengah malam, mandi tepung, dan masih banyak lagi praktik perbudakan yang menyebabkan hilangnya harga diri.

Dari beberapa fenomena perbudakan di atas, menegaskan bahwa praktik perbudakan memiliki model dari masa ke masa, perlunya kerja sama dan penyadaran akan pentingnya menjunjung tinggi hak asasi setiap manusia harus dilaksanakan. Agama dan negara sendiri telah menolak perbudakan antar manusia. Untuk itu prinsip humanisasi harus dilantangkan oleh mereka yang mempunyai otoritas, baik negara , tokoh agama, akademisi, dan semua yang mempunyai kekuasaan, sehingga praktik perbudakan dapat diminimalisir demi terwujudnya kualitas manusia yang lebih baik.

“Jika kita menghamba pada ketakutan, maka kita akan memperpanjang barisan perbudakan” Wiji Tukul

*Penulis merupakan alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar. Sekarang sedang melanjutkan studi Magister di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami