Washilah – “Yaa, nda (tidak) ada kakinya haha,” ucap mereka dengan nada menghina.Â
Malam itu, salah satu sekretariat organisasi nampak ramai. Di sampingnya berjejer sekretariat lain yang orang-orangnya sedang sibuk berbagi cerita. Sementara yang lain sibuk dengan aktivitas masing-masing.Â
Di dalam rumah yang tidak begitu luas tersebut, saya menemui Jon yang sedang asyik bermain dengan telepon genggamnya pada Selasa, 22 November 2022.Â
Nama lahirnya Joniadi. Mahasiswa kelahiran Gowa tahun 2000 silam itu, semasa kecil tinggal di salah satu desa bernama Desa Pencong tepatnya di Kabupaten Gowa bersama kedua orangtuanya.
Perjuangan Masa Kecil
Masa kecilnya di desa, sama seperti anak-anak kebanyakan. Bermain bersama teman-teman diimbangi canda tawa yang membuatnya riang gembira. Selang beberapa tahun, ia beranjak dari desa ke kota menemui neneknya di Badokka, Makassar.Â
Berbeda dengan anak-anak di desa, beberapa hari di sana kedamaiannya mulai terusik dengan anak-anak kota yang cenderung memusuhi hingga ogah berteman dengan Jon.Â
Kondisi disabilitas yang dialami Jon ia dapatkan sejak lahir. Kisaran umur 7 atau 8 tahun, beralih jenjang ke sekolah dasar menjadi hal yang dinanti-nanti anak seusianya.Â
Namun menurut Jon, usia itu menjadi momok tersendiri baginya. Bagaimana tidak, cemooh dan hinaan yang ia dapat dari teman-temannya membuat Jon takut hingga tidak mau bersekolah. Menghindari anak-anak nakal perkotaan sajalah yang menjadi responnya ketika mendapat cemooh dan ejekan dari mereka.Â
Waktu itu, Jon yang sudah menginjak umur 12 tahun bertemu dengan Ketua Yayasan MA Al-Mubarak Bulo-Bulo yang berkunjung ke rumahnya. Ia membujuk Jon agar mau kembali bersekolah meski tidak memiliki ijazah SD.
“Nda apa-apaji kalau nda sekolah SD ki” tuturnya.Â
Dukungan Keluarga dan Lingkungan
Jon kemudian melanjutkan pendidikan di SMA yang berlokasi di Tonrorita. Beruntungnya, Jon bertemu dengan teman-teman baik. Dari ceritanya, tak ada seorang pun yang menghina fisiknya yang memiliki keterbatasan tersebut. Hanya saja, ada satu pertanyaan yang sering dilontarkan kepada Jon saat pertama kali bertemu dengan orang baru.
“Kenapa begituki jalan?,” Tanya temannya.
Jon menjawab bayang-bayang penasaran tersebut seadanya sekedar menghilangkan rasa ingin tahu orang itu. Pertanyaan ini kerap diterima Jon karena caranya berjalan yang kurang stabil.Â
Selama bertahun-tahun Jon hidup dengan bantuan tongkat yang ia gunakan untuk berjalan. Kondisinya sekarang sudah lebih baik karena tak lagi berjalan dengan tongkat melainkan menggunakan kaki palsu yang ia peroleh dari kementrian sosial (Kemensos) Makassar saat ujian terakhir.Â
Tidak berselang lama setelah memperoleh bantuan dari Kemensos Makassar, Jon atas dasar inisiatif sendiri mendaftarkan diri di UIN Alauddin Makassar, salah satu kampus berbasis keagamaan dan berhasil lulus melalui jalur mandiri. Keputusannya berkuliah mendapat respon positif dari kedua orangtuanya.
Selama proses pendaftaran hingga perkuliahan semester awal yang saat ini dilakoni, Jon mengaku tidak mendapat kendala sama sekali. Terlebih keluarga dan lingkungan sekitarnya yang juga mendukung. Begitu pula teman-teman kelas dan seangkatan Jon yang sangat menghargai keterbatan fisik Jon dengan memperlakukannya layaknya orang lain.Â
Salah satu teman seangkatan Jon, Alda Hidayat mengungkapkan bahwa mereka tidak pernah melihat Jon dengan kekurangannya. Mereka juga senantiasa membantu Jon saat dalam kesulitan.
“Kadang kalau lagi butuh bantuan atau ada masalah dengan kakinya kita bantu papah atau bantu pegangkan kalau ada yang salah dengan penyangganya,” ucap mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) tersebut.
Menerima Diri Sendiri
Jon berpesan kepada orang-orang yang juga punya kondisi fisik sama untuk tidak pernah menyerah hanya karena terlahir dengan keterbatasan.
“Intinya jangan pernah insecure, karena masih banyak orang di luar sana yang lebih kurang daripada kita,” pesan mahasiswa Sejarah Peradaban Islam tersebut.
Jon berusaha keras keluar dari zona nyaman dengan mengubah mindsetnya bahwa ia tidak akan berkembang kalau terus merasa insecure dan rendah diri. Keyakinan diri yang kuat serta senantiasa menghiraukan perkataan orang lain juga dilakukan oleh Jon. Terlebih lagi perasaan rendah diri sebagai penyandang disabilitas bisa dilewati oleh Jon ketika ia telah mengenal dunia luar bahwa ternyata masih banyak orang yang hidupnya lebih susah.
“Ternyata masih banyak orang-orang yang lebih parah dari saya jadi harus bersyukur,” pungkasnya.
Penulis : Nabila Rayhan (Magang)
Editor : Jushuatul Amriadi