Kisah Mitologi Terkait Asal Usul To Manurung Budaya Sosial Bugis

Facebook
Twitter
WhatsApp

Oleh: Moch. Zulhilmi Islamy Z

Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutro-Melayu, atau Melayu muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “Ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan Negara Tiongkok, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana, Kabupaten Wajo) yaitu La Sattumpugi.

Ketika masyarakat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah Ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, Ayahanda dari Sawerigading.

Berdasarkan kisah mitologi, asal usul masyarakat Bugis diyakini berasal dari To Manurung. Menurut Yani (2007), konsep ini dapat dilihat dari fakta sejarah bahwa hampir semua kerajaan atau sistem pemerintahan di Bugis terbangun didasari oleh perjanjian politik antara kelompok untuk mengangkat To Manurung.

Terlepas dari kisah mitologi terkait asal usul To Manurung, secara mendasar telah terjadi sebuah kontrak politik, untuk membangun sebuah negara dengan sistem hukum, sistem sosial budaya yang disepakati bersama dan dipimpin oleh satu orang yang dianggap mampu yaitu To Manurung.

Sistem sosial politik kerajaan-kerajaan Bugis memiliki sistem pemerintahan yang konfederasi. Jabatan tertinggi atau pemimpin kerajaan adalah Arung Mangkau (Raja yang berdaulat). Pengambilan kebijakan dalam pemerintahan tersebut dibantu oleh sebuah dewan rakyat yang berjumlah tujuh orang yang disebut Arung Pitu’ atau Matoa-Pitue.

Dewan-dewan tersebut berperan sepenuhnya sebagai pejabat kekuasaan. Sistem pemerintahan ini hampir sepenuhnya berlaku pada kerjaan-kerajaan Bugis, namun demikian berbeda halnya pada kerajaan Wajo yang merupakan salah satu kerajaan besar Bugis. Kerajaan Wajo tidak memiliki konsepsi kepemimpinan To Manurung.

Kerjaan Wajo bersama-sama memilih pemimpinnya (Matoa) yang memenuhi syarat kepemimpinan seperti yang telah ditentuka sebelumnya. Adanya konsep sistem sosial politik seperti ini menyebabkan adanya stratafikasi sosial dalam pemerintahan. Konsep stratafikasi sosial diuraikan ole La Galigo dalam mitos nenek moyang orang bugis yang pada akhirnya membedakan manusia dua jenis manusia.

Pertama, mereka yang “berdarah putih” yang keturunan dewata, dan kedua adalah jenis manusia yang “berdarah merah” yaitu rakyat biasa, rakyat jelata, atau budak. Berkaitan dengan pembagian dua jenis strata sosial orang Bugis yaitu hierarki status seseorang berdasarkan “warna darah” atau keturunan dan kedua adalah hierarki sistem pemerintahan yang terdiri atas teritorial tertentu dengan hukum dan pemimpinnya masing-masing. Pada fase inilah secara sadar atau tidak sadar terbangun suatu relasi yang biasa disebut Patron-Klien.

Konsep Patron-Klien telah terjadi sejak zaman romawi kuno. Setiap bangsawan (patronus) mempunyai sejumlah orang dari tingkat strata yang lebih rendah (clienes) yang berharap perlindungan darinya. Patron berkewajiban untuk menjaga kliennya dari musuh-musuh dan melindunginya dari tuntutan hukum. Disamping itu patron juga membantu keluarga kliennya dalam hal ekonomi, dengan memberikan lahan kepada pengikutnya agar dapat menghidupi seluruh anggota keluarganya.

Di sisi lain, klien juga berkewajiban untuk membantu patronnya dalam kondisi tertentu, seperti menebus sang patron jika ditangkap sebagai tawanan perang, atau membayar biaya perkara yang harus dibayar patron. Model Patron-Klien ini juga diterapkan pada berbagai masyarakat dalam berbagai periode sejarah. Heddy S. Ahimsa Putra (1988; 33-34) mengutip pendapat J.C. Scott yang menyatakan bahwa gejala patron-klien tetap berlaku di masyarakat pada masa lalu hingga sekarang khususnya di masyarakat Asia Tenggara, disebabkan oleh tiga kondisi pendukung. Kondisi pertama adalah terdapatnya perbedaan (inequality) yang terjadi di masyarakat dalam hal kekayaan dan kekuasaan.

Kondisi kedua ditandai dengan perbedaan penguasaan sumber daya yang kemudian tidak diikuti dengan adanya institusi yang dapat menjamin keamanan individu baik menyangkut status maupun kekayaan. Kondisi ini kemudian diperparah dengan kelangkaan sumber daya. Kondisi yang ketiga, jika ikatan-ikatan kekerabatan ternyata tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya cara untuk mencari perlindungan serta meningkatkan penguasaan sumberdaya. Ketiga kondisi pendukung tersebut mendeskripsikan kepada kita situasi yang melatarbelakangi hubungan Patron-Klien yang dianut oleh masyarakat Bugis biasa disebut Ajjoareng-Joa’.

Konsep Ajjoareng-Joa’ yang menjadi prilaku politik masyarakat Bugis sejak masa La Galigo hingga pada masa demokrasi sekarang ini membuktikan bahwa nilai-nilai lokal senantiasa akan tetap mengakar meskipun mengalami perubahan karena pengaruh nilai luar dalam berbagai kondisi sosial politik masyarakat. Garis keturunan bukanlah jaminan seseorang dalam masyarakat Bugis untuk mendapatkan posisi jabatan politik.

Konsep ini merupakan sebuah nilai demokrasi dalam masyarakat Bugis. Pemimpin dipilih berdasarkan suara mayoritas dengan indikator jumlah Joa’ baik dari kalangan biasa maupun dari kalangan bangsawan yang memiliki Joa’ sendiri yang diangap sebagai ‘orang terpandang’ (to riakkitangi) atau ‘orang yang dihargai’ (to riasiriqi).

*Penulis Merupakan Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik (FUFP), Semester III.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami