Pemuda, Masyarakat dan Bangsa Indonesia

Facebook
Twitter
WhatsApp
Doc Pribadi | Al-Kautsar Taufik Wira Jati

Oleh: Al-Kautsar Taufik Wira Jati

Masyarakat pada umumnya dikenal sebagai makhluk yang hidup berkelompok yang artinya hidup yang saling membutuhkan (ketergantungan) satu sama lain (simbiosis Mutualisme). Kehidupan masyarakat sangat tergantung pada sekitarnya maka dari itu istilah gotong royong menjadi sangat populer saat masyarakat memahami aspek kebutuhan hidup tiap individu lainnya dan adapun diantara problematika masyarakat kita mengenal kehidupan pada sisi pola kebiasaan, beberapa diantaranya masih berfikir tradisional, semi Modern dan Modern.

Perbedaan dari pola kebiasaan ini berdampak pada pola tingkah laku realitas sosial atau bahkan dapat menimbulkan strata sosial yang biasa disebut Class Social hal ini biasanya berujung pada kasus gejala penyakit masyarakat yaitu kesenjangan sosial.

Pemuda adalah orang yang masih kuat fisik dan pemikirannya, namun di Indonesia pemuda kerap kali di hubungkan dengan usia yang muda, tapi ketika kita melihat konteks realitasnya pemuda bukan hanya persoalan tentang usia muda, namun pemuda yang saya akan jabarkan adalah pemuda yang memiliki pemikiran progresif dan berjiwa kuat bukan hanya usia, bahwasanya usia adalah dasar orientasinya untuk bisa bergerak secara progresif dan hanya membutuhkan paradigma universal untuk mengatakan pemuda harus mampu bersaing dengan pemuda pada umumnya.

Permasalahan negara saat ini bukan hanyalah permasalahan pandemi Covid-19 saja tetapi jauh sebelum pandemi melanda negeri kita ini cukup banyak permasalahan. permasalahan tersebut tidak terlepas dengan sosial-masyarakat, dan semua itu bukanlah hanya sebagai tanggung jawab pemerintah dan pihak yang berwenang tetapi merupakan tanggung jawab kita semua sebagai manusia khususnya, kaum pemuda (manusia yang paling baik adalah manusia yang berguna untuk manusia yang lain).

Hari ini kita bangsa Indonesia sedang memperingati Hari Sumpah Pemuda, ikrar dari kaum pemuda di masanya sampai hari ini kita selalu malafazkan ikrar tersebut. Yang menjadi pertanyaan, apakah nilai yang tertuang dalam sumpah pemuda itu sudah kita implementasikan secara bersama atau hanya sebatas ikrar yang terus kita ucapkan? Tidak bisa di pungkiri pemuda dahulu mempunyai nilai mistis (kesucian) sebelum mereka melafazkan ikrar pemuda tersebut, sehingga apa yang menjadi butiran-butiran dalam baris sumpah pemuda itu kemudian mampu terimplementasikan. Berbeda dengan hari ini pemuda yang bisa di katakan dari segi usia, fisik, kebutuhan dan lain sebagainya itu hanya terpaku dengan kesibukan individu dan bersikap acuh. Indikator rusaknya sebuah bangsa yaitu ketika para pemuda hanya bersikap masa bodoh dengan keadaan di sekitarnya dan pemuda mulai meninggalkan ruang-ruang diskusi dalam lingkup daerah maupun universitas.

Jika kita telaah dan kita ungkap maksud yang termaktub dalam sebuah ikrar sumpah pemuda:

Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Dalam butir pertama, para founding father negara kita ini mengikat diri mereka dengan tanah sebagai tumpah darah mereka. Tanah adalah bahan dasar semua manusia. Mereka berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah, tidak peduli apakah mereka orang Manado, Jawa, Cina, Dayak, dan lain-lain. Ia adalah pelebur perbedaan. Para pendiri bangsa ini melihat bahwa kesamaan tumpah darah dapat menjadi modal kekuatan untuk mengusir penjajah dari tanah tumpah darah.

Dalam konteks modern, kesamaan tumpah darah ini dapat dijadikan sebagai spirit anti kolonialisme modern yang sebenarnya tidak kalah berbahaya dibanding imperialisme konvensional yang cenderung kasar. Penjajahan yang berkembang di dunia saat ini berkulit halus dan menipu, tetapi sifat kejahatannya jauh lebih besar dibanding penjajahan jaman dahulu. Betapa tidak, secara wilayah, new imprealisme ini dapat merambah bidang politik, ekonomi, budaya dan lain-lain bahkan di semua sisi kehidupan.

Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Dari butir kedua ini, dapat dinyatakan bahwa Keberagaman bukan akar perpecahan tetapi justru menjadi potensi untuk membangun bangsa apalagi jika kita melihat suhu politik di negara kita yang cenderung tidak stabil terlebih bila sudah mendekati perhelatan pemilihan Bupati, Walikota, Gubenur, dan Presiden yang berpontensi menimbulkan perpecahan.

Isu-isu primordialisme, kesukuan atau agama hendaknya tidak dipertentangkan dalam mencari pemimpin bangsa in karena hal itu bertentangan dengan sumpah pemuda butir kedua. Para pemuda pendahulu dan para founding fathers telah bersepakat dan bersumpah untuk bersatu dan menjadi sebuah bangsa yang besar dan berdaulat penuh.

Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Butir ketiga yang menjadi perajut kebersamaan bangsa ini terletak pada kekuatan bahasa. Menurut Muhammad Yamin, di antara faktor pemersatu bangsa ini adalah bahasa. Sebagai sebuah bangsa yang ingin maju, kita harus menyesuaikan diri dengan perkembangan.

Namun bukan berarti kita menanggalkan apalagi meninggalkan identitas kita (baca: bahasa). Pelajarilah bahasa apapun untuk kebaikan bangsa ini. Dengan mengerti bahasa asing diharapkan kita bisa menyerap ilmu-ilmu yang mereka miliki, lalu mentransfer ilmu itu pada orang lain sehingga menjadi sebuah kebaikan dan kemajuan bagi bangsa Indonesia.

Melalui momentum hari sumpah pemuda, dengan tanpa melihat ras, suku, warna kulit, dan lain-lain, hendaknya kita menancapkan ke dalam sanubari kita sebuah pemahaman bahwa kita memiliki tanah tumpah darah, bangsa, dan bahasa yang satu. Akhirnya, untuk mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang didambakan dan sesuai dengan cita-cita bersama, kita patrikan kalimat “Tak ada kau, dan tak ada aku, yang ada hanyalah Indonesia “. Indonesia Merdeka.

*Penulis Merupakan Mahasiwa Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Semester III. 

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami