Oleh: Muh. Akbar
Di tengah peradaban manusia saat ini di kenal dengan istilah revolusi industri 4.0, dimana di penghujung tahun 2019 kemarin revolusi industri 4.0 hangat di perbincangkan di lembaga-lembaga kepemudaan dalam hal ini mahasiswa, bahkan bukan hanya di rana pemuda saja tetapi para pemikir bangsapun ikut andil dalam merefleksi tatanam kehidupan manusia. Saat ini yang di kenal dengan istilalah revolusi industri 4.0 atau lebih dikenal dengan sebutan era digital dimana produksi barang-barang tidak banyak lagi melibatkan interaksi sosial.
Sekarang ini ada banyak aplikasi-aplikasi yang lebih fleksibel untuk melakukan seperti misalnya bertransaksi, berdagang dan lain-lain. Semua itu adalah sebuah indikasi perkembangan sebuah wilayah, meskipun mempengaruhi kehidupan manusia saat ini, dan disini kita tidak akan membahas apa itu revolusi industri 4.0 secara mendalam, karena saya bukan pakar yang ahli dalam membahas terkait mengenai revolusi industri 4.0, saya hanya mengkorelasikan sub tema pada tulisan ini yang berjudul “Refleksi sebuah karya dan menghargainya”.
Tentu kita semua tahu bahwa menghargai sebuah karya adalah cara terbaik untuk tidak membuat sedih pembuat dari karya itu, ditengah riuhnya modernisasi saat ini dimana secara tidak langsung manusia di tuntun untuk beradaptasi pada zaman yang terjadi saat ini, Sowarsono Muhammad dalam bukunya perubahan sosial dan pembangunan.
Akan tetapi ada saja sebuah mahakarya yang terpublikasi di media melenceng dari norma-norma kemanusiaan itu sendiri, di era digital sekarang ini mayoritas populasi manusia memanfaatkan ketenaran internet untuk mendapatkan eksistensi dan pujian dari sesama manusia, seperti misalnya merelakan harga diri demi sebuah popularitas, bergoyang layaknya perempuan penari telanjang, naik-turun naik-turun begitu mudahnya kah aib seseorang, dan kau maksud ini adalah sebuah karya?
Lagi-lagi kita kembali pada apa yang dikatakan oleh Sowarsono Muhammad dalam bukunya perubahan sosial dan pembangunan mengenai teorinya medornisasi, secara tidak langsung kita semua memang di tuntun untuk beradaptasi pada zaman yang sekarang ini tapi jangan sampai nilai-nilai sosial rapuh akibat pergeseran zaman, artinya jangan sampai hakikat kita sebagai manusia hilang dari kultur kebudayaan kita sendiri.
Berkaryalah untuk tidak menjatuhkan martabat manusia, berkaryalah bukan semata-mata eksistensi dan kekayaan yang dijadikan alasan untuk berkarya, apakah kita sudah lupa jerih payah Rasulullah Muhammad mengangkat derajat seorang wanita? Memuliakanya dengan tidak melihat ras dan agama, saya kira seperti itu akhir kata dari saya.
Hilangnya daya kritis membuat negara semakin miris
layaknya egosentris membuat untung para kapitalis seperti imperialis membuat sumber daya semakin terkikis!
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Hadits Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik (FUFP), semester IV.