Hijau dan Merah

Facebook
Twitter
WhatsApp
Ilustrasi by Ahmad Nur Iqbal Yusuf

Oleh: Ahmad Nur Iqbal Yusuf 

Halo, apa kabar kalian angkatan 2020? Cie yang sudah lulus dan sebentar lagi jadi mahasiswa. Apa sudah buka portal dan dapat surat cinta dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)? Kalau hijau saya ucapkan selamat, tapi kalau merah jangan putus asa. Memang menusuk tapi sekali lagi jangan putus asa.

Sebelum menjadi mahasiswa kalian harus maknai dulu apa sebenarnya hakikat menjadi seorang mahasiswa. Tentunya setiap kepala pasti punya definisi masing-masing. Tapi di tulisan ini saya mau memberikan pertimbangan kepada kalian, khususnya angkatan 2020.

Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) enam tahun lalu, saya tentunya seperti kalian mendaftar lewat jalur SNMPTN. Karena tidak lulus, saya lantas mengambil kesempatan kedua lewat jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dan hasilnya tetap sama, tidak lulus.

Saya lanjut mendaftar taruna di salah satu sekolah pelayaran negeri di Makassar. Ada banyak yang mesti dipenuhi mulai dari seleksi berkas, tes kesehatan, tes fisik, dan Tes Potensi Akademik (TPA). Kesemua ini harus dijalani untuk menjadi seorang taruna. Bertawakal, lantas apa yang saya dapatkan, pengumuman online menyatakan bahwa saya tidak lulus di tahap Pemantauan Terakhir (Pantukhir).

Setelah dinyatakan tidak lulus di sana, saya mengambil opsi di salah satu sekolah pelayaran lainnya. Alih-alih mau jadi taruna di kampus itu, setelah melihat nominal yang harus dipenuhi sekitar empat puluh juta, saya sudah membuang kertas pendaftarannya lebih dulu.

Apakah sudah menyerah? Saya katakan belum. Atas anjuran orang tua, kembali mendaftar sebagai prajurit Akademi Militer (Akmil). Kebetulan saya memiliki Paman seorang tantara, beliaulah yang melatih setiap hari bangun lebih dini, lari, membawa saya ke tempat ia bertugas dan sesekali pergi berenang agar tinggi badan bertambah. Tinggi 165 sentimeter, terlalu tanggung untuk seorang calon prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) seperti saya.

Memasuki ruangan seleksi berkas, saya tercengang melihat pesaing yang badannya dua kali lipat lebih besar, bahkan ada yang lebih. Seorang prajurit berpangkat Sersan Kepala (Serka) memanggil satu persatu nama setiap pendaftar tersebut tanpa mengenakan baju. Saya merasa tegang karena badan yang nampak kecil.

“Ahmad Nur Iqbal Yusuf.” Tegasnya.

Saya berdiri di atas timbangan dan alat pengukur tinggi. Sedikit jinjit agar tinggi badan naik tapi si prajurit punya cara sendiri agar pendaftar tak curang. Ia meletakkan penggaris di bawah telapak kaki.

“Kalau tidak cukup tingginya, suruh saja pulang!” Gertak salah satu tim seleksi.

Alhasil, saya dinyatakan tidak lulus. Tinggi kurang empat millimeter, sakit rasanya menerima kenyataan tapi apa boleh buat itulah yang terjadi. Saya lanjut pulang bersama Paman dan memberi kabar kepada Ibu yang terdengar kecewa di ujung telepon.

Sudah empat instansi saya daftar, dan semua itu menolak, tidak ada yang menerima. Lantas mengambil langkah selanjutnya. Karena universitas negeri sudah menutup pendaftaran, saya memilih universitas swasta atas rekomendasi bapak. Pendaftarannya sangat singkat One Day Service (ODS), hanya sehari saja. Saya dinyatakan lulus setelah mengisi soal pilihan ganda lewat komputer dengan mengambil jurusan Teknik Pengairan.

Melihat uang pangkal dan semester yang terlampau mahal, rasanya ingin menunda untuk kuliah saja. Bapak telah dinyatakan pensiun dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejak tahun itu. Itulah juga alasan saya menunda kuliah.

Lantas apa yang saya lakukan selanjutnya? Menghardik diri sendiri? Depresi? Atau bunuh diri? Hah, saya tidak seekstrim itu dalam mengambil tindakan. Semoga kalian tidak mengambil cara-cara jahanam seperti itu pada diri sendiri. Saya menghabiskan waktu setahun untuk melatih pengetahuan fisik dan akademik terkait dunia pelayaran. Bertekad mendaftar kembali atas dasar orang tua dan tidak mau mengecewakannya walaupun sebenarnya saya sudah tidak mau mendaftar itu lagi.

2014 berlalu begitu cepat, tibalah saatnya melanjutkan kembali keputusasaan dan mengubahnya menjadi secerca harapan di tahun 2015. Seperti tahun sebelumnya, saya mendaftar jalur SBMPTN lagi karena jatah SNMPTN untuk angkatan 2014 sudah tidak ada, ini sebagai opsi saja. Sialnya, saya diberikan surat cinta berwarna merah lagi yang artinya kalian sudah mengetahui.

Seperti tahun sebelumnya, saya kembali mendaftar taruna pelayaran di kampus yang sama mengambil jurusan yang sama pula, Neutika. Harus saya katakan lagi yang keenam kalinya kalau saya TIDAK LULUS.

Saya mencoba menggali informasi terkait universitas yang masih terbuka dan mau menerima manusia yang sudah enam kali ditolak ini. Dari penulusuran daring dan informasi teman lewat Blackberry Messenge (BBM) waktu itu, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) yang berkenan menerima lewat jalur Ujian Masuk Mandiri (UMM) dan mengambil jurusan Jurnalistik. Saya langsung mengabarkan kepada orang tua kalau akan jadi mahasiswa.

Menjadi mahasiswa memanglah impian sebagian orang tapi di tahun sekarang ini dan kedepannya apakah cita-cita itu masih bersifat sama sebelumnya? Jelas saya katakan tidak. Di era industri yang disebut 4.0 ini, ada banyak sekali peluang pekerjaan bahkan ilmu yang berselewaran di mana-mana, hanya usaha kita saja yang perlu ditingkatkan tanpa harus menjadi mahasiswa.

Saya ambil contoh misalnya Anda punya bakat di bidang multimedia seperti desain, fotografi atau videografi, kalian cukup menginvestasikan sebagian uang untuk membeli barang-barang pendukung seperti laptop dan kamera, itu akan lebih baik bila dilakukan terus menerus, atau uang kalian bisa buat membangun bisnis. Karena hobi yang menjadi pekerjaan akan lebih menyenangkan. Daripada mengalokasikan uang untuk jalur jendela, saya rasa itu tindakan bodoh. Setelah selesai kuliah apa yang akan kalian lakukan? Bila kita berfikir realistis, ujungnya akan mencari penghidupan bukan.

Dewasa ini banyak perusahaan utamanya startup merekrut orang-orang yang memiliki skil individu tanpa memedulikan sebuah ijazah kuliah. Itu artinya sebuah ijazah semakin hari akan tidak dibutuhkan. Saya teringat perkataan Rocky Gerung dalam sebuah talkshow bahwa “ijazah itu tanda anda pernah sekolah, bukan tanda anda pernah berfikir.”

Ada banyak pesohor milenial di Indonesia yang sukses tanpa mengeyam bangku kuliah, sebut saja salah satunya yang lagi naik daun Atta Halilintar. Ia menjadi Youtuber dengan jumlah subscriber terbanyak seAsia Tenggara. Kisah pelik yang melatarbelakangi perjuangannya berbuah manis dengan hasil usahanya yang maksimal. Saya tidak ingin membahas Atta terlalu dalam hanya mengambil sampel saja.

Saya tidak bermaksud mendoktrin kalian untuk tidak kuliah, sebab seperti yang kita ketahui saat ini kuliah itu penting tapi tidak menjamin seperti apa kita kedepannya. Seperti yang dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) saat ini, Nadiem Makariem, “Kita memasuki era dimana gelar tidak menjamin kompetensi, lulusan tidak menjamin kesiapan berkarya dan bekerja, akreditasi tidak menjamin mutu, masuk kelas tidak menjamin belajar.”

Kuliah merupakan salah satu cara bukan satu-satunya cara untuk mendapatkan pendidikan. Yang terpenting dari semua ini adalah Sekolah kehidupan, cara kita memaknai hidup.

Sekarang ada sekolah yang kita kenal dengan istilah home schooling. Dilansir dari rumahinspirasi.com home schooling merupakan sebuah keluarga yang memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anak dan mendidik anaknya dengan berbasis rumah. Pada home schooling, orang tua bertanggung jawab sepenuhnya atas proses pendidikan anak, sementara pada sekolah reguler tanggung jawab itu didelegasikan kepada guru dan sistem sekolah. Tetapi metode belajar ini belum banyak diterapkan, masih perlu disosialisakan.

Terus, bagaimana dengan yang sudah lulus kuliah? Kalian lanjutkan saja itu mungkin sudah jalannya. Belajarlah yang giat maknai dengan dalam dan implementasikan di kehidupan. Dan yang paling penting menurut saya pada saat kuliah adalah relasi kepada orang-orang sekitar, inilah yang paling utama.

Sering saya dengar kalimat dari dosen seperti ini “Belajar di dalam ruangan hanya 20 persen saja selebihnya cari di luar.” Karena di dalam kelas kita hanya diajarkan teori, soal praktik kita harus cari mandiri.

Ini berlaku untuk beberapa dari kalian yang memiliki skil di bidang tertentu. Kalau ambil jurusan sains apalagi kedokteran dan Anda lulus, ya bisa jadi butuh kuliah. Jika kalian bertanya kepada saya kenapa kuliah, jawabannya sederhana, karena saya terlambat menyadari.

*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) semester X.

 

  Berita Terkait