Apa Gagasan Kita Soal Gagasan?

Facebook
Twitter
WhatsApp
Dok Pribadi | Andi Alfian

Oleh : Andi Alfian

“Kita semua bodoh, dan hanya itu yang kita punya.” Gagasan semacam itu memang tidak selalu dapat bertahan, tapi apakah kita masih punya gagasan soal gagasan semacam itu?
Pengakuan = Pemalsuan.
Gagasan itu warnanya senja, beraroma jurang, dan berjamur. Bagi aku, gagasan semacam itu sulit untuk dikomunikasikan. Menyebalkan. Apakah gagasan yang tidak bisa dikomunikasikan pada akhirnya masih penting untuk dituliskan?

Aku memilih hidup dalam gagasan semacam itu. Meskipun gagasan mainstream oleh orang-orang di sekitar aku datang seperti kendaraan umum, membawa pergi semua perhatian orang, diminati dan dinikmati. Sedangkan aku, hanya duduk di pinggir jalan, menyaksikan kendaraan umum itu lewat sambil memikirkan “apakah aku harus ikut serta menumpang, atau menunggu saja sampai kendaraan umum itu terlewat, terlupakan dan tak relevan?”

Gagasan aku, seperti lubang pertanyaan, gelap dan dalam. Ketika aku berusaha sepenuh kemampuan aku untuk mengatakannya, aku malah menemukan lubang baru yang lebih gelap, lebih dalam dan lebih asing.
“Jangan-jangan gagasan aku sebetulnya hanyalah permukaan yang di bawahnya adalah lubang besar yang siap menelannya.” Barangkali segala gagasan adalah permukaan semacam itu, bahwa selalu ada lubang gelap bernama kebodohan, ketidaktahuan—gelap dan lebih dangkal: aku mengenalnya seperti itu, padahal segala hal berarti hal lain, bukan?

Aku seperti sedang menggali lubang di permukaan tanah, dan tak menemukan apa-apa. Juga orang lain melakukan hal yang sama, kau misalnya, juga seperti sedang menggali lubang di permukaan tanah yang lain, dan tak menemukan apa-apa. Tetapi kita, dengan kekecewaan yang sama, atau malah tanpa kekecewaan, tetap berusaha menyakinkan pada diri kita masing-masing bahwa kita memiliki sesuatu yang tersembunyi di bawah sana. Kita menyakininya sebagai sesuatu yang benar adanya.

Padahal, mungkin saja, kita hanya sedang berusaha percaya pada sesuatu yang tidak ada, nihil, karena kebodohan serta kecongkakan kita sendiri.
Kita tidak pernah cukup berani berhenti pada keyakinan yang sama: yang sebetulnya telah berulang kali membodohi moyang kita. Kita tidak pernah berani berhenti dan meletakkan linggis yang kita gunakan menggali. Berhenti dan melepaskan kacamata yang telah membuat pandangan kita semakin gelap dan kabur. Berhenti dan melepaskan diri kita. Atau menyerah. Menyerahkannya pada segala hal buruk. Atau yang lainnya.

Atau mungkin, kita sebetulnya menyukai dengan amat sangat perihal yang kita maksud sebagai penyamaran, pendangkalan, pengaburan dan segala macamnya? Bahwa kebenaran adalah topeng—lubang tanpa dasar, dan sebagainya.
Ya, barangkali segala “akhir” adalah segala “belum” yang selalu datang kembali. Barangkali, kebenaran adalah kesalahan-kesalahan yang belum tiba saatnya. Barangkali!
Sehingga, gagasan kita sebetulnya hanya tipuan, ia semacam setan yang mengajak kita masuk dalam labirinnya, berjalan-jalan, atau menikmati hal lain yang lebih dari sekedar gerakan santai, membunuh atau mengubur setan misalnya, atau pekerjaan lain yang bisa dilakukan dengan sembunyi tanpa menyebut diri telah melakukannya.

Barangkali, tidak ada cara lain untuk mengungkapkan pengalaman mendalam selain dengan menciptakan topeng, menciptakan kedangkalan, yang bisa kita sebut sebagai lubang gelap tanpa dasar. Abisalisme! Pada titik ini, batas antara kedangkalan dan kedalaman menjadi tak dikenal, semacam pengenalan terhadap kebenaran. Kebenaran begitu jelas, dan begitu pula sebaliknya, ia tak pernah benar-benar jelas!

Pada akhirnya, topeng atau apapun yang digunakan sebagai penanda bagi kedalaman tidak mesti diciptakan lagi, tidak mesti dibuat lagi. Topeng-topeng semacam itu akan menciptakan dirinya sendiri. Terus-menerus! Kebodohan sebagai riak dari kedalaman bekerja dengan cara yang sama pula. Ia semakin banyak dan terus menerus, semakin banyak!

Kebodohan, kedangkalan, serta topeng adalah jalan yang tidak bisa dihindari. Atau, pembodohan, pendangkalan, penampakan hal lain adalah mutlak di zaman kita, juga di masa depan. Kesimpulan ini akan terdengar seperti anti-intelektualisme, atau anti-kedalaman, tapi tak apa, kadang-kadang hal semacam itulah yang dibutuhkan untuk mengukur kembali seberapa ampuh sebuah kebenaran bekerja, seberapa ampuh lidah meliarkan diri untuk hal lain.
Lalu bagaimana dengan gagasan yang memenuhi kepala kita selama ini? Gagasan yang memilih pendengarnya sendiri, menolak untuk semua orang. Atau bahkan mungkin orang-oranglah yang sebetulnya menolaknya. Ia adalah gagasan bebas yang anti-kebebasan.

Gagasan semacam ini seperti kolam renang yang terlampau dingin, jika kita memilih mandi di dalamnya, kita harus masuk lebih cepat dan keluar lebih lekas. Jika tidak, kita akan membeku. Gagasan semacam ini dapat membekukan orang dan segala lain dalam dirinya.
“Aku beku!”
Pada kenyataannya, aku tidak tahu, apakah kebekuan yang aku alami bisa membuat aku tidak bergerak atau malah memaksa aku untuk menolak segala hal selain kebekuan itu?! Ini menyakitkan, tapi selalu saja, kesakitan selalu lebih nikmat dibandingkan kesenangan.

Terlepas dari apakah gagasan yang membekukan itu baik atau buruk, aku selalu merasa wajib untuk merasa malu, “aku malu dan lebih malu”. Barangkali kemaluan juga sebetulnya kebodohan, kedangkalan—atau semacam itu,
adalah topeng bagi kedalaman.
“—menyebalkan.”
Atau barangkali, apa yang aku sebut sebagai kedalaman adalah ketidaksiapan aku menghadapi zaman cair yang menetes ini, atau zaman lembek yang mengeras lalu membatu ini.

Bermula “dari” dan berakhir “pada”, pengalaman atau gagasan mendalam selalu menolak untuk dipahami secara gampangan. Ia selalu menyelubungi tubuhnya, menggelapkan permukaan badannya, sekaligus mendangkalkan dirinya sebagai topeng. Ia selalu lebih suka disalahpahami dibanding dipahami.
Kenyataan itu pasti menyebalkan, tapi beberapa hal dalam hidup ini memang seperti itu: lebih mudah disalahpahami dibanding dipahami, begitu pula sebaliknya.
Lalu apa gagasan kita soal gagasan?

 

*Penulis Merupakan Mahasiswa Jurusan Filsafat Agama Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik (FUFP) UIN Alauddin Makassar. 

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami