Mitos dan Mythomania Agama

Facebook
Twitter
WhatsApp
Dok Pribadi I Andi Alfian

Oleh: Andi Alfian

Ada kabar baik sekaligus kabar buruk yang tersiar ke telinga para kaum beragama beberapa pekan lalu, tentang tarekat Tajul Khalwatiyah Syekh Yusuf yang dikabarkan menawarkan Kartu Surga, kartu yang menjamin keselamatan dunia-akhirat. Kartu tersebut berharga 10 ribu hingga 250 ribu. Kabar baiknya adalah kaum beragama kembali kedatangan rasul baru, yakni Puang La’lang yang merupakan pemimpin tarekat ini mendakukan diri sebagai rasul, serta mengklaim bisa memperpanjang umur sampai 15 tahun.

Kabar buruknya adalah orang-orang beragama tiba-tiba punya alasan untuk membela agama atau keyakinan mereka masing-masing, dengan cara yang mereka yakini sebagai cara yang paling benar untuk membela agama serta mimpi mereka terhadapnya. Salah satu pembela agama tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Gowa yang melalui Fatwa No. Kep-01/MUI-Gowa/XI/2016 menyatakan bahwa tarekat yang didirikan sejak tahun 1999 tersebut adalah sesat.

Keputusan yang dikeluarkan oleh MUI dan Pihak Kepolisian terhadap Puang La’lang sebagai kasus penyesatan dan penistaan agama, menuai banyak tuntutan dari ratusan pengikut tarekat ini. Pada tanggal 8 November 2019 lalu, ratusan pengikut tarekat ini menggelar mimbar bebas serta menggunakan pakaian hitam-hitam sebagai media unjuk rasa mereka terhadap keputusan MUI dan Pihak Kepolisian yang dianggap tidak fair.

Dari rangkaian kejadian tersebut, kita bisa melihat bagaimana mitos dan mhytomania agama bekerja, terlepas dari “Apakah kartu surga itu benar atau tidak, haram atau tidak.” Biarkanlah persoalan itu diperbincangan oleh orang-orang yang memang dibayar untuk membicarakannya. Pada tulisan ini, saya hanya akan mengajak kita untuk mengamati kembali bagaimana mitos dan mythomania agama bekerja dalam fenomena kaum beragama.

Berkaitan soal mitos agama, Muhammad Arkoun, seorang filsuf Islam modern asal Aljazair, menjelaskan dengan cukup baik persamaan cara kerja agama dan mitos. Bahwa mitos berperan sebagaimana layaknya peran agama, yakni menjaga dan melestarikan impian-impian kebajikan universal yang dijadikan pedoman bagi kehidupan manusia. Puang La’lang, dalam kasus ini, menciptakan ‘mitos bersama’ tentang dirinya sebagai nabi atau rasul baru, kartu surga dan bentuk mitos lainnya yang bertujuan untuk menarik lebih banyak pengikut.

Mitos yang dimaksudkan di sini, seperti yang Roland Barthes sebutkan sebagai makna yang mengikuti sebuah tanda. Bahwa manusia, pada dasarnya memiliki kepandaian dalam menciptakan tanda-tanda beserta segala makna yang menyertainya. Akan tetapi, di balik kepandaian itu, manusia seringkali tersesat dalam tanda yang mereka ciptakan sendiri. Tanda dalam arti itu bisa berarti “nabi baru,” “kartu surga,” bisa pula berarti sebagai “agama.” Tanda-tanda itulah yang disebut sebagai mitos beragama.

Dalam proses penciptaan ‘mitos beragama’, terdapat satu tahapan ekstrem yang wajib dilalui, tahapan tersebut adalah tahapan mhytomaniac atau mhytomania sebagai gejalanya. Gejala inilah yang kemudian merekayasa para agamawan menjadi sangat percaya pada diri mereka sendiri soal yang diyakininya, dengan seyakin-yakinnya mereka menyerukan bahwa apa yang diyakini oleh dirinya adalah kebenaran penuh, tanpa lubang sedikit pun. Akibatnya, jika seseorang tiba pada tahapan ini, mengaku sebagai nabi atau rasul adalah hal biasa saja.

Mengaku Sebagai Nabi Baru, Bukanlah Hal Baru

Perihal mengaku sebagai nabi atau rasul baru memang bukanlah hal baru dalam sejarah agama umat manusia, terkhusus lagi di Indonesia. Kita masih mengingat Ahmad Musadeq yang mengaku dirinya sebagai nabi di Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang kemudian diputuskan sebagai aliran sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa No. 4 tahun 2017.

Jauh berselang, bertahun-tahun sebelumnya, Lia Aminuddin alias Lia Eden datang dan menganggap dirinya sebagai wakil Ruhul Kudus, yang menganggap dirinya memiliki otoritas untuk menunjuk siapa yang kelak menjadi Imam Mahdi serta siapa saja rasul-rasulnya. Komunitas Eden ini juga diputuskan oleh MUI sebagai ajaran sesat-menyesatkan melalui Fatwa MUI No. Kep-768/MUI/XII/1997.

Pada dasarnya, para nabi baru atau para messiah baru serta sosok pembangun sekte memiliki beberapa kesamaan, dalam hal ini, mereka memiliki keseriusan dan keteguhan pada diri mereka sendiri bahwa dirinya diutus sebagai “nabi baru” atau sebagai penyelamat baru. Inilah yang disebut oleh beberapa ahli psikologi sebagai mythomania syndrome.

Praktik ini memang terjadi di nyaris setiap aliran yang memperkenalkan nabi-nabi baru mereka, seperti Shoko Asahara di Jepang, David Koresh di Texas dan Jim Jones di Guyana. Jim Jones dengan penuh keyakinan diri menyakinkan kepada pengikutnya bahwa dialah juru selamat. Hal serupa juga dilakukan oleh pemimpin sekte Kuil Matahari Shoko Asahara di Jepang, serta David Koresh, seorang pengkhotbah yang kemudian mengaku sebagai anak Tuhan.

Fenomena seperti ini telah didemonstrasikan dengan intens pula oleh Sigmund Freud, psikolog dari Vienna-Austria, dalam bukunya The Future of an Illusion (1927). Ia menegaskan bahwa fenomena agama lambat laun akan menjadi penyakit saraf yang mengganggu manusia sedunia. Bahwa fenomena nabi-nabi baru akan terus-menerus datang dan bergantian hingga akhir sejarah manusia, itulah resiko yang harus kita tanggung atas kepercayaan kita terhadap apa yang disebut sebagai “agama.”

Tetapi, pertanyaan kita kemudian adalah, apakah memilih untuk ‘marah’ atau ‘menuduh sesat’ para agamawan mythomania seperti pada kasus Puang La’lang adalah satu-satunya pilihan yang bisa kita lakukan? Tentu saja jawabannya tidak. Ada banyak pilihan yang masing-masing kita dapat kita pilih. Di antara banyak pilihan tersebut, ada pilihan untuk tetap saling menghargai dan memahami mereka sebagai sesama hewan yang berusaha untuk berpikir-hewan yang berusaha menjawab segala kemungkinan yang ditawarkan oleh kehidupan ini.

Seorang profesor Sosiologi Agama dari UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Phil. Al Makin, mengaku menyayangkan pendekatan yang dipilih oleh beberapa pihak terhadap kelompok-kelompok keagamaan semacam itu, termasuk kepada kelompok keagamaan Puang La’lang. Bahwa memberikan tuduhan penodaan agama atau penyesatan bagi kelompok semacam itu bukanlah pendekatan yang tepat. Akan tetapi, pendekatan yang sebaiknya digunakan, menurut Prof. Al Makin, adalah dengan memberikan edukasi atau pendidikan yang ramah serta memanusiakan: semanusia-manusianya manusia.

Pada akhirnya, kita semua punya cara yang berbeda-beda untuk menjadi hewan yang berpikir. Di akhir tulisan ini, saya ingin menyarankan satu pilihan yang sebaiknya kita semua pilih sebagai hewan-hewan yang menganggap diri beragama islam. Bahwa meragukan diri sebagai pengikut Muhammad adalah langkah pertama untuk mengambil pilihan ini, langkah selanjutnya, mengakui bahwa bisa jadi Muhammad yang di belakang namanya disematkan kalimat sallahualaihiwassalam adalah penderita mhytomania paling akut yang pernah ada.

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Filsafat Agama Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik (FUFP) dan Koordinator Wilayah VI Lingkar Mahasiswa Filsafat Indonesia 2018-2020.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami