Masuknya Islam Ke Tanah Gowa

Facebook
Twitter
WhatsApp
Sumber: www.ruangguru.co.id

Oleh: Ilham Hamsah

Turunnya surah Al-Mudattsir menegaskan kerasulan Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul penutup, Islam merupakan salah satu dari tiga agama samawi yang ada di dunia saat ini, setelah Yahudi yang dibawakan nabi Musa kemudian Nasrani yang dibawa nabi Isa. Islam lalu datang dan menegaskan kepada umat manusia bahwa Islam lah agama terakhir yang di turunkan Tuhan ke muka bumi untuk melengkapi ajaran-ajaran sebelumnya yang dibawa oleh para nabi.

Sepeninggal Nabi Muhammad, dakwah tauhid dan pimpinan pemerintahan kemudian diteruskan oleh para sahabat dan khalifah setelahnya. Di tangan khalifah-khalifah ini Islam kemudian berkembang dengan pesat hingga penyebarannya mencapai kawasan nusantara.

Teori masuknya agama Islam ke nusantara ada beberapa versi, namun teori yang paling sering digunakan adalah teori Gujarat dan teori Arab, Islam sendiri berkembang dengan datangnya pedagang-pedagang dari wilayah Gujarat (India), Arab dan juga Persia yang datang untuk berdagang rempah, lada dan kapur barus di wilayah nusantara yang memang terkenal akan melimpahnya kekayaan alam tersebut. Terlebih lagi kualitas rempah, lada dan kapur barus yang ada di kawasan nusantara dikenal dengan kualitas yang paling baik.

Penyebaran Islam di nusantara tidak bisa lepas dari peran kerajaan-kerajaan yang menyebarkan Islam ke wilayah kekuasaannya. Berbeda halnya dengan kerajaan yang ada di wilayah Jawa dan Sumatera yang pola penyebarannya Bottom-Up (dari masyarakat kelas bawah ke petinggi kerajaan), pola penyebaran yang terdapat di sulawesi adalah Top-Down (dari petinggi kerajaan ke masyarakatnya).

Kerajaan Gowa-Tallo adalah salah satu kerajaan yang bercorak Islam yang ada di wilayah nusantara. Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan yang baik dengan kerajaan Ternate yang telah menerima Islam dari Gresik/Giri. Di bawah pemerintahan Sultan Babullah, Ternate kemudian mengadakan perjanjian persahabatan dengan Gowa-Tallo. Ketika itulah, raja Ternate berusaha mengajak penguasa Gowa-Tallo untuk menganut agama Islam, tetapi usahanya selalu gagal.

Pada penghujung abad ke-16 datanglah utusan dari kerajaan Aceh yang bertugas menyebarkan Islam ke Sulawesi Selatan, Khatib Tunggal Abdul Makmur. Lebih dikenal dengan nama Dato’ ri Bandang. Seorang ulama dari Minangkabau, Sumatera Barat. Ia bersama dua sahabatnya, Dato’ri Patimang dan Dato’ri Tiro dikenal sebagai penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan.

Raja yang pertama memeluk Islam di Sulawesi Selatan, bukanlah raja Gowa, tapi raja Tallo terlebih dahulu. Seperti diketahui raja Tallo merangkap juga mangkubumi Kerajaan Gowa. Adapun raja Tallo yang pertama kali memeluk Islam adalah Karaeng Matoaya.

Karaeng Matoaya sendiri merupakan raja Tallo ke-8. Gelarnya pun sudah mencerminkan unsur Islam pada saat itu: Sultan Abdullah Awalul Islam Tumenanga ri Agama. Memeluk Islam pada 22 September 1605.

Karaeng Matoaya sendiri, orang yang mengajak keponakannya, I Mangngarangngi Daeng Manra’bia untuk memeluk Islam. Daeng Manra’bia ini adalah raja Gowa ke-14. Setelah masuk Islam bernama Sultan Alaudin. Ia memerintah Kerajaan Gowa tahun 1593-1639.

Setelah kedua raja tersebut memeluk agama Islam, Kerajaan Gowa-Tallo menjadi pusat penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Raja-rajanya setelah itu bergelar sultan, gelar raja yang umumnya dipakai dikebanyakan kerajaan bercorak Islam. Ditilik dari masa pemerintahan raja pertama yang memeluk Islam, diperkirakan awal abad ke-17, Kerajaan Gowa sudah bercorak Islam.

Setelah Sultan Alauddin menjadi Muslim, Islam pun ditahbiskan menjadi agama resmi kerajaan. Hal ini menimbulkan konsekuensi, kerajaan-kerajaan taklukan Gowa pun wajib memeluk Islam. Sementara, kerajaan-kerajaan yang tidak mau memeluk Islam dianggap tak mematuhi pesan Sultan Alauddin yang juga adalah kakek dari Sultan Hasanuddin.

Sebelum Islam masuk, para raja di Sulawesi Selatan pernah membuat perjanjian yang isinya, “Siapa yang menemukan suatu jalan yang lebih baik, berjanji untuk memberitahu kan tentang jalan itu kepada raja-raja lainnya.” Namun nyatanya, perjanjian itu cenderung disepelekan oleh raja-raja itu. Sultan Alauddin yang menjadikan Gowa sebagai pusat penyebaran Islam di wilayah timur nusantara ini terus mengembangkan Islam, baik secara damai maupun perang.
Beberapa kerajaan di daerah Bugis, seperti Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng, dan lainnya menolak keras ajakan Raja Gowa. Akibat penolakan itu, Raja Gowa terpaksa angkat senjata dan mengirim bala tentara ke daerah itu.

Pada 1608, beberapa pasukan gabungan Kerajaan Bugis itu mengalahkan Gowa, tetapi pada tahun berikutnya semuanya berhasil ditundukkan dan bersedia menerima Islam sebagai agama kerajaan. Sidenreng dan Soppeng pada 1609, Wajo pada 1610, dan Bone pada 1611. Perang Islam di tanah Bugis saat itu disebut Musu Assalengeng (Perang Islam). Penerimaan Islam oleh para raja itu kemudian diikuti masing-masing rakyatnya.

Derap penyebaran Islam yang dijalankan Sultan Alauddin menjadikan Kerajaan Gowa sebagai motor penyebaran Islam. Pada masa itu, hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan memeluk agama Islam, kecuali Tana Toraja. Makassar pun menjadi pusat penyebaran Islam di nusantara bagian timur. Dari Makassar, agama Islam menyebar sampai Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Meski berjuang menyebarkan Islam, Sultan Alauddin dan beberapa raja penggantinya tak melarang umat Katolik untuk mendirikan gereja di Makassar. Kehadiran misionaris Katolik di Pelabuhan Makassar yang ramai dikunjungi para pedagang dari seluruh dunia pada waktu itu tidak ditolak. Gereja tua yang dibangun sejak Sultan Alauddin berkuasa masih bisa disaksikan hingga saat ini.

Sultan Alauddin wafat pada 15 Juni 1639. Ia diberi gelar “Tumenanga ri Gaukanna” atau yang mangkat dalam kebesaran kekuasaannya. Sedangkan, sumber lainnya menyatakan, Sultan Alaudxin di beri gelar “Tumenanga ri Agamana” atau yang mangkat dalam agamanya. Pada tanggal 10 November 1965, nama Sultan Alauddin diabadikan menjadi sebuah nama perguruan tinggi agama yakni IAIN Alauddin Makassar dan sekarang lebih dikenal dengan nama UIN Alauddin Makassar.

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) semester III.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami