Jam Malam. Penilaian E Untuk Kampus

Facebook
Twitter
WhatsApp
Dok Pribadi I Ma'ruf Nurhalis

Oleh: Ma’ruf Nurhalis

E, baru saja selesai dengan urusannya. Urusan yang ia sebut sebagai ziarah kubur. Malam baru saja ingin mulai. Ia beranjak dari kampusnya untuk mendapati pagar yang selalu ia lintasi, telah tertutup. Dia membelokkan leher motornya, memutar balik dengan diringi sebuah umpatan yang tidak berhenti sampai saya tak mampu menghitung sudah berapa umpatan yang ia sebutkan dalam tiga bahasa itu. Seolah-olah kedongkolannya terhadap kampusnya tidak memiliki kecocokan dengan satu umpatan macam manapun dan dari manapun. Ia lalu diam, menatapku lekat. Ia menyadari kalau ia menyebut umpatan paling kasar, itupun sama sekali tidak cocok.

“Kosong-kosong-kosong-kosong-0000000000000000000.”

Ia lalu berteriak mengucapkan nol dan kosong bergantian dan mengarahkan suaranya ke arahku. Telingaku terasa seperti dihempas seluruh kotoran yang ia sudah simpan lama di ususnya dan itu jauh lebih banyak dari sampah plastik yang dihasilkan urbanisme. Bagi ia, aturan jam malam di kampusnya adalah kebijakan dengan nilai kosong pangkat seribu, setara dengan kalimat satir akan kekosongan yang hakiki. Ia menunjuk kepalanya dan memberiku kalimat. “Kawan, tidak ada yang mengalahkan kampus ini pada persoalan memotong pikiran.”

E dongkol begitu, sebab selama aturan itu berlaku kesialannya dirasa bertambah menjadi empat kali lipat.

Lipatan dasar kesialannya adalah, ia sudah berlaku baik sebagai mahasiswa yang pernah mengurus surat berlaku baik. Tetapi kampus tidak berlaku baik kepadanya.

Lipatan tambahan pertama: Kampus tidak membaca Undang-Undang Pendidikan, sebab kalau kampus membacanya, aturan jam malam tentu disadarinya sebagai kebijakan yang ambigu dengan tridarma perguruan tinggi. Kalau aturan itu ambigu tentu aturan itu tidak layak diperlakukan untuk semua pihak.

Lipatan kedua: Kampus selalu pandai menciptakan masalah dan sangat senang mempertunjukkan ketidakmampuannya dalam mengupas permasalahan. E sedang memikirkan nasib perjuangannya untuk KPK dan laparnya para penguasa akan kaum tertindas. Tetapi E sekarang harus mundur dan berbalik ke kampusnya mengurusi masalah yang dibikin kampusnya sendiri. Dan ia harus ikut ambivalen sebagaimana teman-temannya sesama mahasiswa dengan masalah kampusnya masing-masing.

Lipatan ketiga: E tidak tahu apa alasan kampusnya memberlakukan jam malam. Tiba-tiba saja E harus merasakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Paling dijengkelkannya adalah sebuah simpang siur akan segelintir mahasiswa yang melanggar aturan tertentu sehingga aturan larangan kegiatan di malam hari diedarkan.

Jika informasi itu benar, maka E sebagai salah satu mahasiswa dari ribuan mahasiswa di kampusnya yang tidak ikut melakukan pelanggaran itu, tidak salah. Maka E tentu saja merasa dirugikan. Tapi E tidak bisa menginterupsi kampusnya. Sebab E tidak tahu apakah kampus mengetahui hal dasar dalam berpikir, sampai harus terperangkap dalam kesalahan berpikir paling sederhana. Dan E merasa percuma jika harus menjelaskannya.

Lipatan keempat: Ketika pintu kampus tertutup tepat jam enam malam. Sekarang E harus melatih kemampuan tarinya di depan barisan ruko yang belum laku, diliput gelap dan dalam kerumunan bersama segelintir nyamuk dan ributnya kendaraan yang lewat.

Ketika E selesai membuang kotorannya ke telingaku, saya diminta merekam dan mengirim tulisan ini. Ia berjanji untuk bangun salat subuh dan berdoa agar penilaiannya dapat dibaca oleh para mahasiswa di kampusnya. Ia berharap betul kepada saya, agar kesialannya berkurang dan kembali kelipatan dasar saja. Maka saya pun menulisnya, meskipun saya agak ragu kesialannya itu bakal berkurang. E nampaknya memang dilahirkan hanya untuk mengoleksi kesialan hidup: hidup sebagai rakyat dan hidup lagi sebagai mahasiswa. Pada dua tempat: Negara dan Kampus.

Kapitalisme– saya menyebut narasi besar ini untuk meluaskan pikiran kita. Kapitalisme adalah sebuah sistem yang gemar menciptakan pintu masuk, hanya pintu masuk. Saya bisa merasakan jika suatu waktu kapitalisme rubuh dan bangkrut. Satu-satunya hal yang bakal ia tinggalkan, adalah kelupaan kita dalam mencari jalan keluar. Sebab kapitalisme tidak pernah menciptakan jalan keluar. Sekali kita masuk ke dalamnya. Di dalam sanalah kita terus menerus.

Kenyataan ini hampir mirip dengan kebijakan kampus E, menutup pagar pada jam enam sore. Mahasiswa seperti E menangkap adanya cobaan dengan nilai 0 besar dari penguasa dengan membuat sekat antara mahasiswa dengan dirinya sendiri sebagai mahasiswa. Sebab ketika waktu telah melewati jam enam sore, mahasiswa bukan lagi mahasiswa bagi kampusnya. Mahasiswa telah menjadi masyarakat biasa. Kebijakan kampus telah menegaskan Michel Foucault mengenai disiplin: “Pagar ditinggikan untuk jiwa yang sakit agar tetap di dalam. Dan siapa yang sakit jiwa di luar harus masuk ambil bagian.

Jam malam– ini merupakan istilah yang menjadi bagian dari sejarah yang gelap dan sangat hierarkis. Istilah ini memiliki hubungan dengan sejarah Nazi kepada kaum Yahudi pada peristiwa Kristallnacht atau “Malam Kaca Pecah.” Juga sangat dekat dengan sejarah bangsa kita punya, pada perlakuan Jepang “Begitu matahari tak terlihat di ufuk barat, semua lampu di seluruh kota dimatikan. Kompleks-kompleks yang dipandang strategis seperti tempat tinggal dan perkantoran tidak boleh membiaskan cahaya ke langit” (Ini dikutip dari buku otobiografi Manisnya Ditolak)

Kalau kita melakukan kontekstualisasi maka kutipan itu bisa jadi begini: “Begitu matahari tak terlihat di ufuk barat gerbang kampus ditutup, gedung-gedung yang dianggap strategis seperti gedung Unit Kegiatan Mahasiswa dan Fakultas harus kosong dari mahasiswa.” Lalu dilanjutkan lagi oleh sekutu pada tahun 1945 dengan menetapkan aturan waktu jam malam yang dimulai dari 18.00 sampai 06.00. Mirip sekali dengan aturan kampus. Nampak benarlah W.F Wertheim bahwa kolonialisme tidak pernah beranjak, yang berganti hanya warna kulitnya.

Big Brother atau Bung Besar– saya pikir istilah Orwellian ini tidak perlu diperlakukan di dalam rumah sendiri. Kalimat “Bung Besar sedang mengawasi Anda” dalam novel 1984 juga tidak perlu menegaskan bahwa kampus adalah pabrik yang memproduksi polisi-polisi pikiran bukan malah memproduksi pikiran.

Michel Foucault atau Paulo Freire terpaksa harus terus menerus disebut para aktivis, agar kampus menumbuhkan telinga untuk bisa ikut menyimak bahwa “Mahasiswa bukan objek informasi mahasiswa adalah subjek dalam komunikasi.” Lalu kita kembali kepada Jurgen Habermas, bahwa ruang publik bagi mahasiswa tidak ada di dalam kampus. Ia berada di jalan. Di sanalah konsensus berlaku. Jalanan adalah milik kita semua.

Kampus yang senantiasa menyelesaikan masalah dengan cara melebarkan masalah hanya akan menciptakan adat mengeluarkan perintah tanpa mengikutkan mahasiswa. Mahasiswa yang terbiasa dipaksa patuh terhadap perintah hanya akan menciptakan manusia hamba.

Seperti dalam pembukaan cerpen Pramoedya Ananta Toer, Jongos+Babu dalam Cerita Dari jakarta “Sejak Jan Pietersz, Coen turun-temurun memang berdarah hamba. Hamba yang tak tanggung-tanggung setia sampai bulu-bulunya… Sekiranya Tuhan masih bermurah hati seperti di jaman dulu, sudi memanjangkan keturunan hamba itu, pasti keturunan yang ketiga puluh bukan manusia lagi, tapi – cacing yang menjulur- julur di dalam tanah. Dan ini patuh menurut mantika.”

Saya ingin melakukan kontektualisasi lagi, tapi saya sadar E tahu betul bahwa mahasiswa di kampusnya tahu maksud kutipan tulisan dari Pram untuk dipakai membaca resiko kampus yang senang menutup dan membangun pagar. Jika E keliru, maka saya jelaskan, bahwa jika manusia telah menjadi budak sebab terus menerus dipaksa patuh maka manusia budak tidak akan tenang hidupnya jika tidak diperintah. Mesin, yah barangkali begitulah cara kerjanya.

Namun E beserta kesialan dan kedongkolannya, menyadarkan saya bahwa pagar yang ditutup kampusnya hanya pagar kecil dari sebuah pagar yang lebih luas dan lebih tertutup dan berlaku selama 24 jam dan kita semua telah berada di dalamnya. Dan E menutup telinganya ketika saya selesai menyebut nama pagar itu. Ia tidak ingin memulai kebiasannya untuk mengumpat. Karena kata itu bisa lebih buruk dari umpatan apapun. Namun, ia menyadari sesuatu dan berteriak ke arahku “Saya telah menemukannya. Umpatan yang paling cocok untuk kampusku. Benar katamu kawan, KEKUASAAN.”
Saya mengangguk setuju.
“Apa yang bisa lebih kasar dari itu.”

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik (FUFP).

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami