Melacak Keberadaan Widji Thukul

Facebook
Twitter
WhatsApp
Sumber : Google

Oleh : Arya Nur Prianugraha

Pada 26 Agustus silam, tepatnya 26 Agustus 1963 di Surakarta Jawa Tengah, lahir seorang lelaki cadel bernama Widji Widodo, dikenal dengan nama Widji Thukul, ia adalah seorang sastrawan dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Thukul merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim orde baru, Thukul dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer, sampai sekarang dia tidak diketahui rimbanya.

Pelarian Widji Thukul

– 27 Juli 1996, Thukul dituding salah satu pelaku penyerangan ke kantor PDI Jakarta pusat.
– Awal Agustus 1996, Thukul kabur dari rumahnya setelah digerebek aparat.
– Pertengahan Agustus, Thukul ke Jakarta dan Bogor.
– Akhir Agustus, Thukul ke Pontianak
– Januari 1997, Thukul kembali ke Solo.
– Maret, Thukul ke Jakarta dan tinggal di Pekayon, Bekasi.
– Januari 1998, Thukul berencana pulang ke Solo.
– Mei terjadi kerusuhan di Jakarta. Setelah itu Thukul tidak ada kabarnya lagi.
(Sumber: Tirto.id)

Apa Dosa Widji Thukul?

Apa sebenarnya dosa Widji Thukul? Apa yang selama ini ia perbuat? Mengapa negara sedemikian risih atas keberadaannya? Apa yang ditakutkan dari seorang yang tidak memiliki ijazah SMA? Mungkin itu yang terlintas dibenak kita saat mendengar sosok laki-laki bertubuh kurus, cadel, hidup dalam keluarga sederhana, tapi menjadi korban tindakan represif aparat hingga akhirnya dihilangkan secara paksa.

Thukul sapaan akrabnya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang menganut paham Katolik dengan kondisi ekonomi sederhana. Ayahnya adalah seorang Penarik Becak, sementara ibunya terkadang menjual ayam bumbu untuk membantu perekonomian keluarga.

Thukul mulai menulis puisi sejak duduk di Sekolah Dasar (SD), dan tertarik pada dunia teater ketika memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah mengamen puisi keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel. Pada Oktober 1989, Thukul menikah dengan Siti Dyah Sujirah alias Sipon yang saat itu berprofesi sebagai buruh. Tak lama semenjak pernikahannya, pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama yang mereka namai Fitri Nganthi Wani, kemudian pada 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir dan diberi nama Fajar Merah.

Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak Kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya tinggal. Pada 1994, terjadi aksi petani di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer.
– Pada 1992, ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo.
– Tahun-tahun berikutnya, Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker)
– Tahun 1995, ia mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex.
– Peristiwa 27 Juli 1998 menghilangkan jejaknya hingga saat ini. Ia salah seorang dari belasan aktivis yang hilang.
– April 2000, istri Thukul, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS).
(Sumber:Wikipedia)

Apakah Thukul Benar-benar Hilang?

19 tahun berlalu setelah Sipon melapor kepada KONTRAS terkait hilangnya Widji Thukul, hingga saat ini belum ada titik terang mengenai keberadaannya. Terlepas dari masalah mayor minor hilangnya Widji Thukul. Hari ini 26 Agustus 2019 (56 tahun usia Widji Thukul), saya pribadi merasa Widji Thukul tidak hilang, ia ada di mana-mana, semangat Widji Thukul ada pada masyarakat adat Kajang melawan perusahaan yang ingin menguasai tanah adat mereka. Suara Widji Thukul terdengar di antara desahan pelacur yang memperjuangkan Rencana Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, Keberanian Widji Thukul ada pada siswa siswi yang melakukan aksi demonstrasi di sekolahnya menuntut transparansi dana sekolah, Widji Thukul tidak hilang, Widji Thukul bersemayam pada jiwa mereka yang melawan.

* Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum semester II.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami