Sebenarnya saya kurang paham dengan aturan pelarangan pria berambut gondrong disekolah ataupun universitas, terlebih lagi korelasinya dengan proses belajar mengajar sehingga tidak jarang pria yang berambut gondrong sering menjadi bahan diskriminasi dari berbagai pihak baik itu masyarakat, guru, bahkan dosen turut serta dalam pelarangan rambut gondrong yang memang salah satu atau bahkan satu satunya realitas sosial yang awet diskriminasinya sejak zaman Belanda sampai dizaman milenial seperti ini. Pria yang berambut gondrong masih sulit diterima oleh pihak yang menetang hal itu.
Dengan keadaan yang terasa diasingkan, pelarangan rambut gondrong tidak patut untuk diberlakukan dalam dunia pendidikan dimana saat berambut gondrong seorang siswa atau mahasiswa dilarang masuk dalam kelas untuk mengikuti pelajaran atau mata kuliah yang menjadi hak bagi mereka yang telah melalui proses administrasi, dengan dalih melanggar aturan sekolah ataupun universitas bagi pria yang berambut gondrong harus dikeluarkan dari kelas.
Setelah memenuhi aturan yang lain dari sekolah ataupun universitas, hanya karena satu aturan yang dilanggar oleh pria yaitu berambut gondrong maka meraka tidak berhak lagi mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya. Saya kuliah disalah satu perguruan tinggi di Makassar yang juga menetapkan pelarangan rambut gondrong, sehingga tidak sedikit dosen yang melarang saya masuk dikelas karena berambut gondrong dengan alasan melanggar aturan kampus, tiba saatnya saya menuntut keadilan dalam kelas dimana, saya hanya melanggar satu aturan dikampus yang katanya peradaban yaitu berambut gondrong tapi aturan lain yang berlaku dikampus ini tetap saya ikuti.
Namun lagi-lagi saya dilarang masuk dalam kelas hanya karena berambut gondrong, jika boleh saya bandingkan dengan dosen yang melarang rambut gondrong masuk dalam kelas serta absen diatas 3 kali dalam satu mata kuliah itu nilainya error, maka bagaimana dengan dosen yang absen lebih dari 3 kali atau mempercepat mata kuliah yang tidak sesuai dengan kurikulum itu gaji tetap cair. Maka letak keadilan dikampus yang katanya peradaban ini dimana?.
“Jika ini terus dibiarkan sungguh pilu rasanya, dunia bukan lagi tempat yang aman bagi pria yang berambut gondrong terutama saya”.
Dulunya rambut gondrong merupakan bentuk perlawanan dizaman orde baru karena kediktatoran pemerintah yang semakin merjalela bahkan sampai pada rongga kehidupan, dengan adanya ketidakadilan bahkan rasa kecewa yang dirasakan mahasiswa terhadap pemerintahan Soeharto dalam melibas korupsi saat itu, maka rambut gondrong dijadikan sebagai salah satu bentuk perlawanan untuk melawan rezim yang dzalim itu, hingga pada akhirnya gerakan mahasiswa tahun 1998 berhasil menjatuhkan Soeharto.
Saya tidak ingin terlalu lama menceritakan dinamika perlawanan Pria berambut gondrong terlebih lagi saat pria yang berambut gondrong menjadi korban-korban media. Seperti yang difilm film, pria yang berambut gondrong selalu dicermikan sebagai orang yang tidak mau diatur, preman, penjahat dan sebagainya.
“Tapi apakah ada pria yang berambut gondrong melakukan korupsi?”
Jika seseorang memandang seseorang lainnya hanya dari penampilannya saja, apakah muka yang polos bisa menjamin kepolosan perilakunya juga? Inilah pentingnya mengambil berbagai sudut pandang agar nilai untuk memanusiakan manusia itu tidak hilang atau hanya untuk kepentingan pribadi, bahkan kelompok saja.
Hingga terbesit dalam benak saya “Percuma juga saya ikut atau tunduk pada aturan seperti ini. Jika pada akhirnya saya akan menghianati bangsa saya sendiri yang telah mendidik saya untuk tunduk pada setiap aturan yang berlaku tanpa harus memilah aturan mana yang pantas ditetapkan untuk kepentingan semuanya. Bahkan saya merasa sedih, mereka yang berambut gondrong selalu menjadi diskriminasi akibat korban media yang selama ini diyakini oleh masyarakat bahwa hal itu benar adanya.
Suatu kesyukuran bagi saya dengan memberanikan diri berambut gondrong, paling tidak saya bisa melihat orang orang yang terlalu tendensius terhadap apa yang tidak sesuai dengan pandangan mereka, terus ikut atau bahkan takut pada aturan yang jelas jelas tidak ada korelasinya dalam berkehidupan untuk berbuat baik kepada sesama manusia apalagi proses belajar mengajar.
Saya bukan tidak mau ikut aturan seperti ini, bahkan saya rela rambut yang saya rawat seperti malika, yang saya shampoi yang saya beri vitamin bahkan untuk membeli perawatan rambut seperti ini agak memalukan bagi saya kenapa tidak, saat berada didepan kasir berhadapan langsung dengannya hanya ingin membeli perawatan rambut seperti ini memalukan sekali bagi saya, ibaratnya membeli kondom dengan antrian yang cukup panjang yang saya tidak pernah tahu rasanya seperti apa. Saya rela memotong rambut ini, jika ada yang bisa menjamin tidak adalagi ketidakadilan yang dirasakan oleh manusia di negeri ini dan rambut pendek bagi pria akan menjamin ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh guru atau dosen lebih mudah diterima oleh akal saya sehingga tidak lagi terjadi kekeliruan dalam berpikir.
Penulis: Syahrul B (Magang)