Plato dan Negara Utopia

Facebook
Twitter
WhatsApp
Sampul buku, "Sejarah Filsafat Barat Dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang", yang ditulis oleh Betrand Russel. | Foto: Istimewa.

Oleh: Kaharuddin

Karya dialog Plato yang terpenting, berjudul Republik. Secara garis besar terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi pembentukan negara ideal, inilah konsep Negara Utopia paling awal.

Salah satu kesimpulannya, adalah bahwa pemimpinnya harus seorang filsuf. Utopia Plato mengawalinya dengan menetapkan pembagian warga negara menjadi tiga kelas; Rakyat biasa, kaum serdadu, dan golongan pemimpin. Hanya kelas terakhir yang memiliki kekuasaan politik.

Jumlahnya jauh lebih sedikit, ketimbang dua kelas lainnya. Mulanya, mereka tampaknya dipilih oleh legislator. Mereka diganti berdasarkan keturunan. Meski dalam kasusnya, seorang anak berbakat dapat diangkat derajatnya dari dua kelas lain yang lebih rendah. Sementara seorang anak atau pemuda keturunan kelas pemimpin yang tak memenuhi syarat bisa diturunkan derajatnya.

Menurut Plato, masalahnya yang utama adalah memastikan bahwa para pemimpin akan melaksanakan kehendak legislator.

Hal yang harus diperhatikan,menurut Plato adalah pendidikan. Pendidikan dibagi menjadi dua bagian, yakni; musik dan olahraga. Masing-masing mengandung makna lebih luas. Di zaman sekarang, musik berarti segala hal yang termasuk dalam bidang pemikiran. Sedangkan olahraga berarti segala hal yang menyangkut latihan kebugaran jasmani.

Sifat-sifat yang terutama ditumbuhkan lewat pendidikan adalah sikap sopan santun dan keberanian.

Anak-anak muda kita, diajar untuk berpandangan bahwa perbudakan lebih buruk daripada kematian, karena mereka tidak boleh mengenal cerita tentang orang-orang baik yang menangis dan meratap, meskipun itu karena kematian temannya.

Selanjutnya, kita tiba pada permasalahan sensor dalam musik (dalam pengertian modern). Nada-nada harmoni dari Lydia dan Lonia dilarang didengarkan. Pertama, karena musik itu berisi duka. Kedua, karena iramanya yang lembut.

Hanya musik Doria (karena berisi keberanian), dan Phrygia (karena mencontohkan kesederhanaan), yang dibolehkan. Irama -irama yang didengarkan harus sederhana, dan yang mengungkapkan keberanian serta kehidupan yang sesui.

Latihan jasmani, harus benar-benar keras. Tak seorang pun boleh menyantap ikan, atau daging yang dimasak selain dengan cara yang dipanggang. Tidak boleh diberi bumbu atau pemanis. Orang yang mematuhi aturan makan yang ia anjurkan, ujarnya akan luput dari penyakit.

Hingga umur tertentu, anak-anak dijaga, jangan sampai melihat keburukan atau kejahatan. Namun, pada saat yang tepat, mereka harus dihadapkan pada “ujian-ujian”, baik dalam bentuk teror yang tidak harus mengerikan. Kenikmatan-kenikmatan rendah yang tak harus melumpuhkan kemauan. Hanya sesudah lulus dari ujian-ujian itu mereka dinilai pantas jadi pemimpin.

Perihal ekonomi, Plato menyarankan sistem komunisme sepenuhnya bagi kelas pemimpin. Para pemimpin hendaknya menempati rumah kecil dan mengonsumsi makanan sederhana mereka hendaknya hidup dalam asrama. Makan bersama-sama secara berkelompok; mereka dilarang memiliki barang pribadi kecuali yang benar-benar diperlukan.

Definisi “keadilan”, yang disebut sebagai sasaran dari seluruh pembahasan. Disimpulkan dalam buku empat, dikatakan bahwa keadilan terwujud pada kenyataan, di mana setiap orang menjalankan tugasnya masing-masing, tidak suka membuat masalah.

Suatu negeri dikatakan adil jika para pedagang, pembantu, dan pemimpin, melaksanakan tugasnya, masing-masing tanpa mencampuri urusan kelompok lain.

Istilah keadilan, seperti yang masih dipakai dalam bidang hukum, lebih dekat pengertiannya dengan konsep Plato. Dari istilah serupa yang dipakai dalam bidang politik, di bawah pengaruh teori demokrasi, kita cenderung menyamakan keadilan dan kesetaraan.

Bagi Plato, pengertian keadilan tak mengandung implikasi seperti itu. Keadilan dalam pengertian yang hampir sepadan dengan hukum. Seperti ketika kita bicara tentang sidang pengadilan. Terutama yang berkaitan dengan hak kepemilikan, yang tak ada sangkut-pautnya dengan kesetaraan.

Definisi keadilan, mengandaikan bahwa negara harus diselenggarakan menurut cara-cara tradisional, atau menurut cara yang ia dianjurkan, untuk dapat merealisasikan sejumlah cita-cita etis seutuhnya. Dikatakan bahwa keadilan terwujud pada kenyataan dimana setiap orang menjalankan tugasnya masing-masing.

Lantas, apa yang hendak dicapai oleh republik Plato? Jawabannya agak mengecewakan. Yang hendak dicapai adalah keberhasilan dalam perang melawan masyarakat yang kurang lebih punya kesetaraan derajat, dan menjamin kesejahteraan segolongan kecil masyarakat tertentu.

Nyaris bisa dipastikan bahwa sistem itu, tak akan menghasilkan seni atau ilmu pengetahuan, karena sifatnya yang kaku dalam aspek ini atau lainnya, republik ini akan mirip Sparta.

Apa yang dimaksud sebagai ideal? Pada mulanya ideal, itu didambakan oleh mereka yang menyakininya. Namun ideal itu tidak didambakan dengan cara yang betul-betul serupa dengan orang yang mendambakan kenyamanan pribadi, seperti pangan dan papan.

Yang membedakan suatu ideal dengan objek keinginan, pada umumnya adalah bahwa ideal itu bersifat impersonal; Ia adalah sesuatu yang tidak mengandung ikatan khusus dengan ego seseorang yang mendambakannya, dan dengan demikian, secara teoritis, bisa didambakan pula semua orang.

Jadi, kita bisa mendefinisikan ideal, sebagai sesuatu yang didambakan, tidak bersifat egosentris, dan bahwa orang yang mendambakan mengharapkan agar orang-orang lain mendambakannya pula.

Socrates berdiskusi ringan tentang keadilan dengan seorang tua bernama Cephalus dengan dua saudara Plato, Glaucon, dan Adeumantus. Thrasymachus melontarkan protes keras terhadap pemikiran muskil yang kekanak-kanakan itu. Dengan tegas ia mengatakan bahwa “keadilan tak lain adalah kepentingan golongan yang lebih kuat”.

Pandangan itu disanggah Sokrates . Lalu mengungkapkan persoalan fundamental dalam etika dan politik: Adakah tolak ukur standar bagi kebaikan dan keburukan?

Selain ukuran masing-masing orang yang menggunakan istilah itu? Jika standar itu tidak ada, maka berbagai konsekuensi yang ditarik oleh Thrasymachus tampaknya memang tak bisa dihindari. Lantas bagaimana kita akan mengatakan bahwa standar itu ada?

Dalam hal ini, agama tampaknya punya jawaban sederhana. Tuhan yang menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. Sedangkan manusia yang kehendaknya sesuai dengan kehendak Tuhan adalah orang yang baik.

Data Buku

Judul Buku: Sejarah Filsafat Barat
Dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang

Penulis buku : Betrand Russell

Penerjemah: Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, dan Muhammad Sodiq

Penerbit: Pustaka pelajar

*Penulis Merupakan Mahasiswa Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami