Oleh: Abab
Bukankah puasa adalah seruan Tuhan untuk memahami kepedihan dan penindasan?! Bukan sekadar melaksanakan ritus keagamaan, tapi juga menjalankan syariatnya.
Sebelum zuhur datang, sejumlah kawan yang bersolidaritas kepada Aldi, telah berdiri berpuasa di muka gedung Rektorat, dengan mulut tersumpal plester hitam sambil menenteng petaka, Senin (10/03/24).
Aldi dibiarkan naik ke lantai 4 Rektorat, memenuhi panggilan Dewan Kehormatan Universitas (DKU), Prof Marilang. Sebelumnya, Aldi telah dilaporkan oleh pimpinan di fakultasnya (Fakultas Tarbiyah dan Keguruan) atas tuduhan pemalsuan tanda tangan KKN.
Di ruang DKU, Aldi ditemani dua rekan pendamping hukum dari LBH Makassar. Namun kedua kawan pendamping itu tak diterima oleh Marilang. Hanya Aldi yang diperbolehkan.
Kata Marilang, “saya ini ahli hukum.” Tak ada yang menyangkal. Marilang memanglah ahli. Ahli hukum yang berpihak pada penindasan!
Aldi pun disidang oleh Marilang. Sebuah sidang yang lebih layak disebut penghakiman. Tak ada prosedur pembuktian yang dilakukan. Hanya tuduhan dan tuduhan.
Aldi disudutkan. Ia dijadikan seperti tikus percobaan oleh Marilang untuk menguji kepakarannya sebagai ahli hukum.
Aldi dianggap menyalahi aturan administrasi, karena menjalani KKN sebelum masa skorsingnya berakhir. Padahal, dalam mekanisme pendaftaran KKN, data-data yang diinput Aldi telah melalui verifikasi fakultas dan kampus.
Soal skorsing sendiri, Aldi sama sekali tak menyalahi aturan manapun, kecuali aturan serampangan yang dibuat oleh kampus: Surat Edaran (SE) 2591/3652. Sebuah aturan yang menyalahi undang-undang.
Siapa yang menyalahi aturan? Jelas bukan Aldi!
Apapun bukti dan keterangan yang diajukan Aldi kepada DKU, hanyalah formalitas yang dibuat-buat oleh pihak kampus, untuk menakut-nakuti Aldi. Tujuannya, tak lain-tak bukan agar Aldi mencabut gugatannya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Tercium sudah aroma-aroma busuknya. Penguasa Kampus sedang gelagapan mencari celah dari ancaman kehancuran mereka lewat gugatan di PTUN.
11 mahasiswa lainnya sudah mereka selesaikan lewat jalan “damai.” Gugatan mereka telah dicabut. Tapi Aldi adalah jenis lain. Benteng keadilan terakhir di UIN Alauddin Makassar!
Persidangan Aldi di DKU pun usai. Aldi kemudian bergabung bersama kawan-kawan lainnya yang sedari tadi menunggunya sambil melakukan aksi bisu di pelataran Rektorat UIN Alauddin Makassar.
Zuhur mulai memanggil-manggil lewat pengeras suara masjid. Membikin beberapa pimpinan kampus keluar dari sarangnya. Salah duanya adalah Wakil Rektor III bidang kemahasiswaan dan Biro AAKK. Keduanya menaungi bagian kemahasiswaan.
Mereka melewati massa aksi yang masih bergumul di pelataran Rektorat. Petaka dan tuntutan massa aksi tak dihiraukan oleh keduanya. Mereka hanya mengajak beribadah ke masjid.
Sudah mulia dan betul cara keislaman pimpinan kampus kita. Apalagi di tengah waktu puasa seperti saat ini. Hanya saja hati mereka sudah kehilangan kemanusiaan dan keadilan. Lenyap tak bersisa.
Bukankah puasa adalah seruan Tuhan untuk memahami kepedihan dan penindasan?! Bukan sekadar melaksanakan ritus keagamaan, tapi juga menjalankan syariatnya.
Begitu pula dengan Rektor, Hamdan Juhannis, ia berseru serupa kepada massa aksi, bubar dan pergi ke masjid. Bedanya, Hamdan berlaku lain. Ia meminta video di ponsel dan kamera yang merekam dirinya untuk dihapuskan.
Lebih parah lagi, permintaan itu diperintahkan kepada pihak satpam yang mengawasi massa aksi. Bahan liputan beberapa jurnalis pun dihapuskan karenanya. Gelap gulita. Hak dan kebebasan habis dibatasi.
Esok dan seterusnya, Penguasa Kampus akan mencari-cari kesalahan Aldi. Apapun akan dipersoalkan. Cara Ad Hominem dan doxing bukan tidak mungkin akan mereka lakukan. Karena mereka sudah sedari kandungan berwatak penguasa yang anti demokrasi.
Sebab mereka adalah ABAB. All Birokrat Are Bastard!
*Penulis merupakan mahasiswa yang mencintai kemanusiaan