Oleh: Rahmat Rizki
Benarkah jatuh cinta itu biasa saja? Bukannya harus menggebu-gebu?
Seorang kawan yang sedang jatuh hati pada seorang gadis, sekali waktu bertanya tentang perasaannya: “Inikah yang dinamai cinta? Bagaimana menyikapinya?” Kawan itu jelas kebingungan. Pengalamannya yang tak seberapa itu menjadi guru baginya. Guru yang tak tahu menahu ingin mengajarkan apa.
Sedang yang ia tanyai, jelas bukan guru yang baik. Filsuf juga bukan. Ustadz, apalagi. Jadilah kebingungannya tambah meradang. Barang sejenak, ia lalu pergi mencari guru yang lain, pastinya lebih handal, berpengalaman dalam persekongkolan menggerayangi kepuasan. Semoga saja ia tak tenggelam dalam pelayarannya mencari makna cinta.
Di hari lainnya, kawan lain juga bertanya hal serupa. Jelas yang ditemuinya tak jauh berbeda dengan kawan sebelumnya. Para kekawan itu gemar betul bertanya tentang cinta. Demikian buntukah kepala mereka ingin menghadapi cinta.
Namun paling tidak, kawan satu itu pulang dengan bingkisan sebuah lagu berjudul “Jatuh Cinta itu Biasa Saja” oleh Efek Rumah Kaca. Lagu itu akan ia renungkan ketika pulang, mendengarnya berulang-ulang, bahwa jatuh cinta itu biasa saja dan bukan berarti cinta itu biasa saja.
Sesuatu yang ia bawa pulang bukanlah jawaban yang paling tepat. Untung baik jika ia dapat memahaminya. Kalau tidak, maka ia akan berakhir kebingungan seperti orang yang telah memberinya sebuah jawaban berbentuk lagu. Semoga saja kawan itu tidak mengumpat.
Sebenarnya tidak ada yang betul-betul benar dalam menyikapi cinta, apalagi jatuh cinta. Tak ada pula jawaban dengan kesalahan yang kekal. Siapapun berhak untuk mengartikan sekenanya, boleh juga untuk tidak sepakat pada siapa pun. Demikianlah cinta, ia dapat membebaskan sekaligus membinasakan.
Namun haruskah seorang pecinta menjatuhkan dirinya dalam lubang gelap yang ia sendiri tak mengerti, ingin ke mana dan hendak mencari apa? Kegelapan yang tak seorang pun khatam mempelajarinya, bahkan oleh seorang ahli dengan teori-teori peradaban paling maju sekalipun. Ruang itu tak pernah selesai terjelaskan oleh logika dan ilmu mekanika, meskipun peradaban melaju kencang menggandeng segala kemustahilan bersamanya.
Orang-orang di berbagai peradaban dunia terus mencoba menyalakan pelita dalam ruang gelap itu. Dalam usaha memahaminya, barangkali mereka telah terbentur berulang kali. Memunculkan lebam tak terhitung di sekujur kewarasannya. Sekalipun sulit, mereka terus mencari, mempelajari lorong peradaban itu sebisa mungkin.
Lewat berbagai macam cara—lagu, sajak-sajak, hingga cerita tentang segala makna cinta dijelaskan sebisanya—dari yang paling pedih, membingungkan, juga hal-hal yang menyenangkan sampai membuat lupa diri dan kewarasan.
Pastinya, banyak korban berjatuhan. Meregang nyawa karena pertempuran mencari penjelasan tentang cinta. Cinta sungguh menjadi ciptaan Tuhan yang paling membingungkan.
Maka tak heran jika setiap orang mempunyai pemaknaannya sendiri. Entah dari pencarian menyelami makna cinta yang dijelaskan oleh para filsuf, psikolog, ahli matematika, budayawan atau penjelajahan spiritual dari pengalaman hidup yang dilewatinya.
Ruang tak masuk akal yang kita namai cinta, telah membikin manusia bermusuhan, berperang, saling membunuh, bersenang-senang, sekaligus menjadikannya sebuah harapan dan tujuan menjalani hidup sebagai manusia. Setidak-tidaknya, mempelajari makna cinta adalah belajar menjadi manusia.
Efek Rumah Kaca, dalam lagunya, “Jatuh Cinta itu Biasa Saja,” memang patut direnungkan. Mengartikan cinta tidak sebatas perasaan seksual, apalagi hanya main-main. Makna cinta tentu tidak sekadar “biasa saja.” Peradaban ini tercipta olehnya.
Bukan pada pemaknaannya yang dianggap “biasa saja,” melainkan cara menyikapi perasaan jatuh cinta yang selalu klise. Pemaknaan ini lebih jauh dijelaskan oleh Muhidin M Dahlan dalam bukunya, “Terbang Bersama Cinta.” Terbang bersamanya. Tidak terjebak. Tidak memenjarakan. Tidak memperbudak.
Sekali lagi, jika seorang kawan datang dan bertanya tentang cinta, maka jawaban yang sudah tentu ia dapatkan adalah “tumbuhkan sayapmu, kawan. Terbanglah bersama cinta.”
Terbang sampai jauh, jauh ke arah tanpa penindasan.
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Alauddin Makassar