Washilah – Alauddin Debate Association (Aldeba) UIN Alauddin Makassar mengadakan Bazar dan Dialog dalam membahas tentang langkah preventif menghadapi problematika fundamental di kampus peradaban, di Warung Kopi (Warkop) Bundu Hertasning, Jumat (20/9/2024).
Kegiatan ini menghadirkan 4 nasumber, yaitu Sekertaris Jenderal Dewan Mahasiswa (Dema) UIN Alauddin, Muh. Riski, Ketua Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sekaligus Demisioner Ketua Aldeba, Asrullah Dimas, Ketua DPC Permahi Makassar, Ridwan, dan PBH Lembaga Bantuan Hukum Makassar, Abdul Razak.
Narasumber, Muh. Riski mengatakan bahwa Surat Edaran (SE) 2591 yang diterbitkan pada 25 Juni mengatur mekanisme penyampaian aspirasi mahasiswa yang dianggap membatasi. Ia sebut, jika gerakan mahasiswa mengancam status hukum atau kedudukan rektor dan jajarannya, sehingga gerakan tersebut tidak akan diizinkan.
Lebih lanjut, Riski menjelaskan minimnya suara dari ribuan mahasiswa UIN Alauddin Makassar yang seharusnya turut menyuarakan aspirasinya.
“28 ribu mahasiswa, berapa yang bersuara? Dari 8 fakultas, berapa yang bersuara? Dari 53 HMJ, berapa yang bersuara? Padahal, SE ini menyasar seluruh mahasiswa aktif di UIN Alauddin Makassar,” ungkapnya.
Senada dengan Riski, Asrullah Dimas juga menyatakan, SE yang dikeluarkan biasanya harus memiliki konsideran, seperti mengingat, menimbang, hingga memutuskan. Namun, SE yang dikeluarkan tampaknya hanya merupakan kebijakan biasa tanpa konsideran tersebut.
Ia juga menjelaskan bahwa Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan diduga sebagai kebijakan rektor yang mengacu pada aturan Kementerian Agama (Kemenag). Karena aturan Kemanag berada di bawah undang-undang, maka kebijakan ini bisa dibawa ke Mahkamah Agung (MA).
“Segala peraturan yang dikeluarkan dibawah undang-undang itu dapat digugat ke MA,” tambahnya.
Di sisi lain, Abdul Razak juga mengatakan bahwa langkah preventif yang bisa dilakukan mahasiswa dalam melihat SE ini adalah menumbuhkan kesadaran kritis bagi mahasiswa. Dirinya melihat mahasiswa UIN saat ini daya kritisnya tidak ada, bahkan untuk berpihak kepada teman atau terketuk saja hatinya pada saat kebijakan tersebut yang tidak sesuai mereka hanya diam.
“Kenapa mereka diam? Karena kesadaran kritis tidak tertanam dalam diri mereka,” pungkasnya.
Penulis: Mochtar Luthfi Alanshari (Magang)
Editor: Sriwahyuni