Washilah – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Adab dan Humaniora Cabang Gowa Raya menyelenggarakan Dialog Publik dengan tema “Mendaras Surat Edaran Rektor Nomor 259: Ancaman Bagi Demokratisasi di Kampus Peradaban, Benarkah?” yang dilaksanakan secara daring melalui aplikasi Zoom, Minggu (11/8/2024).
Dialog ini menghadirkan dua narasumber, yakni Anggota KIKA dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, serta Akademisi UIN Alauddin Makassar, Muhammad Ridha.
Dalam pemaparannya, Herdiansyah Hamzah mengatakan bahwa adanya Surat Edaran (SE) ini adalah upaya pembungkaman kebebasan berekspresi dalam kampus, karena untuk menyampaikan aspirasi, harus mendapatkan izin dari birokrasi.
“Kalo kita baca baik-baik ini SE, mandatorinya darimana gitu, bisa-bisanya hak fundamental kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum hanya sekelas SE, dan tiba-tiba menegasikan hak-hak fundamental tersebut,” ucapnya.
Ia juga mengatakan bahwa yang dialami birokrasi kampus pada lazimnya sepertinya tidak paham akan hak-hak dasar kebebasan akademik.
“Jadi kenapa kemudian SE itu memiliki pembatasan terhadap kebebasan akademik itu karena memang ada semacam ketidakpahaman birokrasi kampus terkait dengan hak-hak fundamental itu,” katanya.
Dosen Hukum tersebut menyarankan bahwa UNESCO bisa menjadi referensi dalam persoalan kebebasan akademik. Karena jika menerapkan standar UNESCO, maka kebebasan bagi setiap aktivitas akademik bukan hanya dosen tetapi juga termasuk teman-teman mahasiswa.
“Jadi, warga kampus itu jangan dibuat semacam sekat, seolah-olah yang punya klaim soal aktivitas akademik itu hanya dosen ataupun birokrasi tetapi mahasiswa juga termasuk di dalamnya,” jelasnya.
Sementara itu, pemateri kedua, Muhammad Ridha mengatakan setiap orang berhak untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat, hal tersebut dijamin oleh UUD kebebasan berserikat Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
“Karena melihat di SE, dilarang untuk menyampaikan pendapat kecuali izin kepada birokrasi, dan seolah-olah birokrasi ini lebih tinggi daripada UUD kelihatannya,” ucapnya.
Lebih lanjut, Akademisi UIN Alauddin tersebut juga mengatakan ia sudah menyadari bahwa mahasiswa yang ikut aksi akan menghadapi suatu ancaman represif, maka dari itu sebagai akademisi ataupun intelektual memang harus siap menghadapinya.
“Apabila dibiarkan begitu saja maka kebijakan ini sudah ditindak lanjuti, tetapi perubahan itu bisa lahir dari orang-orang yang melawan ketakutan tersebut dan mengelola ketakutan itu menjadi keberanian,” tutupnya.
Disisi lain, Ketua Umum HMI Komisariat FAH, Risal Sannai mengatakan tujuan dari diskusi ini adalah membuat orang-orang atau peserta diskusi bisa lebih paham akan kebijakan kampus yang sedang marak akhir-akhir ini.
“Saya berharap agar kegiatan diskusi ini bisa menjadi pemantik untuk bagaimana agar kita sama-sama bisa menjadi mahasiswa yang kritis terhadap isu yang tengah terjadi saat ini di UIN.
Penulis: St. Mardiah Rezky Andini (Magang)
Editor: Sriwahyuni