Oleh : Nurwahdania
Washilah – Hari itu seperti biasa, hujan turun membasahi entah seluruh atau hanya sebagian daerah Gowa. Aku yang kala itu sedang menatap layar laptopku untuk mengerjakan tugas, teralihkan oleh satu notifikasi. Namun tak langsung kubaca, hanya kulirik sekilas dan terpampang sebuah nama “Hilda” di sana.Â
“Oh Hilda. Palingan cuma manggil buat ikut galdan,” gumamku.Â
Saat ini memang angkatanku sedang disibukkan dengan galang dana (Galdan) untuk perayaan milad Washilah sekaligus menjadi kepanitiaan pertama untuk kami setelah tiga bulan mengikuti proses pemagangan.
Tak berselang lama, ada satu notif lagi yang menyusul. Kembali kuintip karena rasa penasaran kembali mencuat, dan yang tampil masih nama “Hilda”.Â
“Kalau sudah begini, kayaknya ini penting deh,” tebakku sembari membuka pesan dari Hilda. Terhitung ada dua pesan beruntun yang dikirim temanku itu. Dia mengirimkan satu link tulisan karya salah satu senior di Washilah, dan disusul dengan chat bertuliskan “Wahda sempat mau wakili angkatanta buat surat cinta untuk Washilah”.
Aku yang saat itu juga refleks mengerutkan kening, merasa heran dan berusaha mencerna apa yang barusan aku baca. Tanpa ragu kuklik link tulisan yang dikirim Hilda tadi dan mulai membacanya secara keseluruhan.Â
“Aduh. Susah juga ini. Bisa tidak ya?” Pikirku meragukan diri sendiri. Bagaimana tidak, aku yang baru belajar menulis tiba-tiba saja ditawari untuk menggarap karya feature yang menurutku susah susah gampang.
Sejenak aku mengingat dan menebak hal apa kira-kira yang menjadi alasan Hilda hingga begitu yakin padaku sedangkan menurutku ada banyak teman-teman lain yang lebih jago dalam hal ini.
Belum sempat membalas, notifikasi dari Hilda muncul kembali “Because tulisanmu bagus,” tulisnya. Dengan rasa heran yang kali ini mencuat bahkan dua kali lipat, keningku kembali mengkerut. Perasaan heran, bingung, sekaligus aneh menyelimuti pikiranku kala itu, kenapa bisa anak ini menebak isi pikiranku yang sedari tadi bertanya-tanya.Â
Tak begitu kupedulikan rasa heranku karena dengan cepat berubah menjadi rasa bangga sebab tulisanku yang terbit beberapa hari yang lalu secara tidak langsung diapresiasi. Aku yang tadinya berniat untuk menolak, dengan perasaan yang sebenarnya belum begitu yakin segera membalas pesan dari Hilda. “Nanti kucoba ya,” tulisku.
Hari demi hari berlalu, aku sama sekali belum memulai menuliskan satu kata pun. Bukan karena malas atau sibuk, aku betul-betul belum punya ide untuk memulainya. Jangankan konsep, judul pun sama sekali belum terlintas.
Sampai tiga hari kemudian, kala itu waktu menunjukkan pukul enam pagi. Masih sangat sepi dan hening. Aku yang sudah bangun di antara teman-temanku yang masih terlelap dengan pulasnya, tiba-tiba saja tergerak untuk mulai menulis. Entahlah mungkin karena waktu itu suasana kos sedang tenang-tenangnya atau memang rasa produktifku tiba-tiba meronta.
Kubuka aplikasi catatan bawaan dari handphoneku. Dengan pelan kuketikkan beberapa pilihan judul yang sempat terlintas di pikiranku.
“37 Tahun Washilah” merupakan judul yang pertama kali kutuliskan. Namun belum memulai menulis isinya, aku merasa judul itu kurang pas untuk konsep tulisan yang kala itu tiba-tiba saja muncul di pikiranku.
Hanya sepersekian detik, aku kembali menuliskan judul yang menurutku pas untuk tulisanku kali ini. Sangat pas sebagai sebuah kado dari aku dan teman-temanku untuk Washilah tercinta, “Kado Untuk Washilah”.
Dengan segala cerita yang tercipta selama 37 tahun berkiprah, Washilah tidak sama sekali goyah digempur rintangan apa pun. Sejak tahun 1985 melewati semua fase dan proses sampai dengan tahun ini dengan tetap merawat asa menentang masa.
37 tahun tentu bukan waktu yang singkat. Sejauh ini, Washilah berhasil menjadi tempat untuk orang-orang yang mau belajar dan berkarya. Bukan hanya menyediakan tempat, orang-orang disana pun dengan sukarela membagi ilmunya.
Mencari teman, memperluas relasi, menambah wawasan yang menjadi tujuan awal mendekati Washilah ternyata justru hanya menjadi bonus. Kekeluargaan dan kebersamaan, justru sangat terasa di Washilah bahkan untuk kami yang terbilang masih tiga bulan bergabung.
Washilah menjadi tempat yang menurutku sangat komplit. Teori, praktek, cinta, persaudaraan, semua menyatu menjadi satu. Tiga bulan bergabung di Washilah, menjadi tiga bulan yang bisa kusebut produktif. Â
Dengan tulisan yang sederhana ini, dengan rasa bangga bisa menjadi bagian dari Washilah, dengan mewakili teman-teman angkatan 21. Kuucapkan terima kasih sedalam-dalamnya telah menjadi tempat untuk kami menuangkan isi pikiran menjadi sebuah karya tulisan.Â
Tetaplah berkarya bahkan sampai berpuluh-puluh tahun kemudian dan tetaplah menjadi tempat pulang bagi orang-orang yang mencintaimu, Washilahku.Â
Selamat 37 tahun Washilah.
Dari kami yang bangga menjadi bagian darimu.
*Penulis Merupakan Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar